Purbaya keluar kantor.
Di luar tinggal Satpam Jaman yang masih ada di
ruang jaga dekat gerbang. Laki-laki itu melihat kunci kontak yang digenggamnya.
Huuh!
Purbaya mendesah. Mobilnya tinggal sendirian.
Nur, istrinya pasti belum mau dijemput. Sejak sebulan lalu perempuan itu
konsentrasi ke pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pulang ke rumah
rata-rata pukul 20.00-an. Seringnya menyewa taxi. Purbaya menjemput hanya
sesekali, jika ditelpon.
Kantor redaksi Majalah Keluarga Samara bagi
Nurjanah adalah rumah keduanya. Namun kantor majalah yang punya visi Sakinah,
Mawaddah, dan Rahmah, akhir-akhir ini justru seperti menjadi rumah utamanya.
Purbaya sebagai suami mencoba memakluminya. Majalah Samara berdiri atas
perjuangan istri dan rekan-rekan satu pengajian di kampus dulu.
Sebagai orang yang merasa membidani lahirnya
Majalah Samara, tentu ia merasa punya tanggungjawab yang sangat besar. Apalagi
di dalamnya visi yang dipilih memiliki misi mengimplementasikan ajaran Islam di
dalam keluarga, demi kebahagiaan sebuah keluarga.
Pertengahan bulan depan adalah perayaan Ulang
Tahun ke-7 Majalah Samara. Sebuah angka yang menurut pendapat sebagian orang
adalah angka yang bagus. Sebagaimana angka 1, 3, 4, 7, 8, 10, 25, 50. 1 berarti
ulang tahun sawarsa, 3 ulang tahun triwarsa, 4 ulang tahun catur warsa, 7 ulang
tahun saptawarsa, 8 ulang tahun windu mustika, 10 ulangtahun dasawarsa, 25
ulang tahun perak, 50 ulang tahun emas dan sebagainya.
Kadang-kadang orang menyemangati dirinya dengan
angka-angka yang berkaitan dengan tanggal kelahirannya sendiri. Kadang-kadang
sebagian orang Jawa menyemangati diri dengan ulang tahun neptu. Kelahiran
Selasa Pon, Selasa 3, Pon 7, neptunya 10, maka ia akan menyemangati dirinya
pada ulang tahun kelipatan angka 10. Ulang tahun disebutnya tanggap warsa, 10
tanggap warsa neptu kasiji, 20 tanggap warsa neptu kaloro, 30 tanggap warsa
neptu katelu dan sebagainya.
Para ayah atau orang kita mungkin sebagian
masih menyimpan jimat berupa buku
primbon. Entah dengan judul apa. Tetapi bagi para generasi mudanya jika
penasaran, biasanya lari ke toko buku adalah Kitab Primbon Betal Jemur Adam
Makna, atau bahkan di pedagang eceran di trotoar-trotoar.
Purbaya sendiri heran.
Sebagai landasan visi majalahnya adalah nuansa Islam,
tetapi mengapa istrinya masih bersikukuh bahwa angka 7 adalah angka istimewa.
Tapi laki-laki sebenarnya tidak terlalu menggubrisnya. Yang menjadi fokus
perhatiannya adalah ketidakadaan Nur di rumah menjadikan rumah sepi. Kadang ia
pulang jam lima sore. Nur tidak ada. Setelah mandi ia menyeduh teh sendiri,
kemudian mencari makanan kecil sendiri di kulkas atau di lemari makan.
Akan halnya kedua anaknya, Syifa dan Taufik,
Purbaya dan Nur mengalah kepada keinginan kedua orang tuanya. Lagi-lagi urusan
dengan angka 7. Kata orang tuanya pada tahun ke-7 pernikahannya dengan Nur,
kedua anak itu harus pindah sekolah dulu. Nanti setelah satu tahun sekolah di
neneknya, barulah kedua anaknya itu dikembalikan lagi. Dulu Purbaya dan Nur
tidak memahami permintaan orang tua Nur, tapi karena itu nadzar ketika keduanya
akan menikah, maka dengan berat hati, Purbaya dan Nur melepas kedua anaknya.
Sekarang Syifa dan Taufik bersekolah di rumah kakek neneknya di Purwokerto. Ya,
sebuah jarak yang cukup jauh dari Majalengka jika keduanya kangen kepada
anaknya.
Purbaya mendadak menghentikan lamunannya ketika
satpam tergopoh-gopoh mendekat.
“Bapak….. maaf ada telpon dari Ibu.” Purbaya
kaget oleh kata-kata satpam Jaman.
“Ohh… telpon di mana? Wah iya, HP-ku
ketinggalan.”
“Di line
ruangan saya Pak. Katanya hubungi Ibu.”
“Oh ya sudah….”
Purbaya bergegas masuk ruangan. Benar, hand-phone miliknya tergeletak di meja.
Bergegas mengambil HP yang masih kelihatan log
masuknya.
“Assalamu’alaikum Jeng, tadi nelpon ya?” tanya
Purbaya pelan.
“Iya. Mas dimana?”
“Mau pulang. Tadi ini juga diberi tahu Pak
Jaman, makanya saya kembali ke ruangan. HP ketinggalan.”
“Ooochhh…..”
“Mau dijemput?”
“Ah enggak Mas. Editing kali ini lumayan rumit
Mas. Mohon pengertiannya ya. Aku pulang sekitar pukul 21-an.”
“Malam sekali?”
“Maafkan saya Mas. Di rumah sepertinya tak ada
makanan. Mas makan saja di mana saja…..”