Cerpen : CINTA DI RUMAH LELUHUR
Haryanto pulang kampung. Tak banyak yang ia inginkan ketika kakinya menginjakkan kembali desa Mrenek. Hanya satu : menjual rumah ayahnya. Laki-laki tak berfikir panjang apa akibatnya jika ia menjual rumah itu. Menurut perhitungannya, ia telah merawat ayahnya lima tahun terakhir. Manusia yang mengukir jiwa raganya itu telah ikut bersamanya di kota. Dengan imbal jasa semacam itu, tentu ayahnya akan mengijinkan ia menjual rumahnya. Namun laki-laki ini tertahan langkahnya sejenak. Bibirnya dikatubkan. Nafasnya dihela dalam. Benar, rumah leluhur itu sepertinya sudah ada yang menempati. Kemarin ia ingat kata-kata ayahnya.
“Kamu tak perlu pulang kampung To. Sudah tak ada siapa-siapa di sana.” kata ayah Haryanto ketika anaknya mengutarakan keinginannya.
“Satu tinggalan ayah. Rumah leluhur itu.”
“Rumah itu sudah jadi milik orang lain.”
“Ayah bercanda.” kata Haryanto mendengus sambil membuang puntung rokok.
“Ayah serius.”
“Saya tetap akan pulang ke Mrenek.”
“Kamu akan kecewa.”