Usai shalat ‘Isya, Haryo membuka tas kerja. Tangannya mengambil kotak ballpoint Parker yang baru dibelinya tadi siang di Grage Mall Cirebon tadi siang. Ia tatap sejenak ballpoint seharga setara sepatu nike serie Kevin Durant miliknya. Haryo tersenyum. Kepalanya menggeleng dan alis diangkat. Sejurus kemudian ia masuk ke bilik kerja.
“Belum beres sayang?” tanya Haryo sambil duduk di
samping Ningtyas, istrinya.
“Belum. Baru juga mulai. Sudah makan Mas?”
“Malas makan sendiri.”
“Jangan kayak anak kecil. Makan untuk kesehatan.
Ayolah Mas.”
“Kamu sendiri sudah makan?”
“Belum.”
“Kalau begitu ayo makan bareng!”
“Tanggung Mas.”
“Hmh …. aku suka
nggak paham apa maksudnya makan untuk kesehatan ….. “ Haryo bergumam.
“Apaan?”
“Nggak…. nggak
apa-apa….” kata Haryo seraya tertawa.
“Pinjam ballpoint Mas, punyaku habis….” kata Ningtyas
sambil menyorongkan telapak tangan.
“Naaaahhh……. kebetulan …… ini!” kata Haryo girang
sambil meletakkan kotak ballpoint Parker di depan istrinya.
“Apa ini?”
“Ballpoint.”
“Ballpoint mahal.”
“Kamu tahu ini ballpoint mahal?”
“Tahu laaah ….. aku butuh yang murah, yang seribuan
gitu kok!”
“Tapi tahu nggak aku beli di mana?”
“Seingatku di Grage Mall Cirebon.”
“Tepat. Terima dulu.”
“Aku butuh ballpoint yang murah saja, biar aku cari
sendiri ……” kata Ningtyas sambil bangkit dari duduknya keluar bilik kerja
mencari ballpoint plastik murah.
Melihat itu Haryo
mendesah dalam. Bibirnya terkatub. Ia heran mengapa Ningtyas tak mempedulikan
dirinya. Ketika Ningtyas kembali lagi, Haryo masih belum selesai berfikir.
“Niiiih …. Ballpoint kayak gini yang aku butuhkan
sekarang Mas.” Katanya sambil menunjukkan ballpoint biasa harga
seribuan.
“Kalau yang ini?” pancing
Haryo sambil menyorongkan kotak ballpoint Parker.
“Taruh dulu di rak. Tapi kalau Mas mau pakai, ya pakai
sajalah. Mungkin akan lebih cocok dipakai Mas Har.”
“Beneran nih?”
“Iya.” kata Ningtyas tanpa melihat Haryo.
“Aku ambil saja ya?”
“Kan aku sudah bilang.”
“Ya sudah …… “
Dengan perasaan kecewa Haryo membawa ballpoint yang
sedianya ia harapkan dapat memberikan kegembiraan istrinya. Perlahan ia
meninggalkan bilik kerja. Sebelum meninggalkan ruang, ia tengok sejenak meja
kerja miliknya. Malas. Apalagi rasanya tak banyak yang harus dikejakan lembur.
Perlahan Haryo ke ruang makan. Dengan malas ia
mengambil nasi sendiri. Menyendok sayur sendiri. Ia makan hanya untuk membuat
perut terisi. Tak seperti banyak pasangan yang lain ketika makan bersama
digunakan sebagai ajang untuk berbahagia bersama.
Usai makan laki-laki itu menonton televisi sendiri.
Sekitar pukul 22.00-an mata mulai mengantuk. Ia tengok kembali Ningtyas di
bilik kerjanya.
“Sudah malam, istirahatlaaah ….. “ kata Haryo
perlahan.
“Mas tidur duluan saja ….” kata Ningtyas sambil tetap
fokus pada pekerjaannya.
“Aku tidur duluan.”
“Bukannya aku sudah ngomong….”
“Hmhh…..”
***
Pagi hari di tempat kerja Haryo sibuk seperti
biasanya. Di lingkungan kerjanya justru Haryo lebih banyak memperoleh
keceriaan. Bekerja bersama, namun kadang suasana menyenangkan. Apalagi saat
istrahat, canda dan tawa yang ada sangat membuat suasana kantor menjadi
semarak.
“Pak Haryo, maaf sekali, mau pinjam ballpoint boleh?”
Haryo terhenyak ketika ada suara di depan meja kerjanya.
“Oo … Mbak Tari. Apa tadi?”
“Mau pinjam ballpoint.”
“Memang kenapa ballpoint Mbak Tari?”
“Ketinggalan.”
“Kalau aku kasih saja mau ….. “ kata Haryo iseng.
“Beneran Pak?”
“Bener. Sebentar ….. “ kata Haryo sambil membuka laci
meja. Sejenak kemudian ia mengambil kotak ballpoint Parker , “ …… ambillah….. “
“Apa? Ballpoint apa ini Pak?”
“Parker.”
“Maksudnya apa? Ini ballpoint mahal.”
“Lhooo …. Katanya tadi mau saya kasih ballpoint, ini
dikasih malah kaget.”
“Nggg…. nggg…. tapi ini ballpoint mahal.”
“Daripada di saya nggak berguna …. Barangkali kalau
Mbak Tari yang pakai lebih bermanfaat…”
“Jadi beneran nih Pak?”
“Iya lah beneran, tapi jangan sampai orang lain tahu
aku yang ngasih. Kalau ada yang tanya, bilang saja beli sendiri.”
“Harganya Pak?”
“Limaratus-an.”
“Hah?!”
“Beli di Grage! Oke Mbak….cukup ya …… “
“Iya ….iyaa…. aduuuuh …. terima kasih Pak ….. “
Tari benar-benar kegirangan. Tak sadar perempuan itu
berjingkrak-jingkrak. Haryo hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia sangat
puas melihat tingkah Tari yang seperti anak kecil.
“Tapi Pak, kayaknya ballpoint Parker ini sayang kalau
dipakai. Bagusnya untuk disimpan saja.”
“Maksudnya?”
“Bapak punya ballpoint yang biasa nggak?”
“Ada nih …. yang lima belas ribuan. Mau?”
“Mau. Pinjam ya Pak.”
“Ambil saja.”
“Bener Pak?”
“Iya bener …..”
Haryo benar-benar suka melihat pemberiannya membuat
orang kegirangan. Sampai-sampai laki-laki itu kaget ketika Tari menyalaminya
kemudian menciumi tangannya hingga berulang-ulang.
***
Dua hari berselang. Malam hari Ningtyas duduk merapat
ke Haryo. Laki-laki itu merasakan ada yang aneh. Tak biasanya Ningtyas seperti
itu. Biasanya ia mementingkan pekerjaan.
“Mas ….. Ningtyas mau minta maaf.”
“Lah? Ada yang salah rupanya?”
“Ningtyas baru ingat, kalau hari ini butuh ballpoint.”
“Kan bisa cari sendiri.”
“Jangan begitu. Aku butuh ballpoint Parker.”
“Buat apa?”
“Buat punya-punya. Buat saya geletakan di dekat
laptopku kalau di kantor.”
“Beli saja sendiri. Bukannya kemarin kamu nggak suka.”
“Suka.”
“Beli saja sendiri, besok minggu aku antar. Pilih
sendiri, ambil yang harganya lebih mahal.”
“Nggak mau. Yang kemarin saja.”
“Sudahlah ….. ballpoint itu sudah aku buang.”
“Benarkah? Dibuang atau dikasihkan teman sekantor?”
“Apa maksudnya?”
Tak menunggu jawaban, Ningtyas masuk bilik kerja.
Beberapa jenak kemudian ia datang membawa laptop, ia sodorkan di hadapan Haryo.
“Justru aku mau tanya, apakah ballpoint Parker itu Mas
berikan kepada Tari?”
“Apa?”
“Bukannya ini facebook Mbak Tari, Tari Sulastri? Iya
kan?”
“Bahkan kamu belum melihat isinya seperti apa bukan?”
“Tapi katakan iya, kalau memang Mas berikan ballpoint
itu ke Mbak Tari!”
Sejenak Haryo tak bisa bicara. Hatinya gelisah.
Setengahnya ia mengutuki Tari, padahal ia sudah wanti-wanti untuk tidak bilang
ke siapa saja. Ini malah disebar di medsos. Namun Haryo merasa, di sinilah
semuanya harus jelas.
“Kalau iya ballpoint itu saya berikan ke Mbak Tari
kenapa? Itu ballpointku.”
“Tapi Mas sudah berikan kepadaku.”
“Istriku tak peduli pemberianku.”
“Aku sibuk Mas …..”
“Makan bersamapun kau tak mau ….. “
“Hmh ….. “
“Tidurpun kau suruh aku duluan.”
“Mas harus maklum.”
“Lalu kapan kau
maklum sebagai istriku Jeng? Ningtyas yang dulu aku kenal orangnya baik, penuh
perhatian. Setelah setahun kita menikah, justru yang dulu aku harapkan tak
pernah tercapai. Bahkan hanya untuk sekedar makan bersama nggak mau. Sekedar menerima
pemberian kecil …… juga diabaikan! Ketika sekarang kau jarang memperhatikan aku, salahkah
kalau aku mencoba melarikan kekecewaanku kepada orang lain?”
“Mas selingkuh!”
“Apakah memberikan
barang ke perempuan lain itu selingkuh? Apakah kekecewaan yang aku rasakan selama
ini tak kau anggap sebagai sesuatu yang menyakitkan sebagaimana diselingkuhi
pasangan?”
“Tapi jangan berikan ballpoint itu ke perempuan!”
“Jeng, kamu tahu
nggak, betapa Mbak Tari bejingkrak-jingkrak ketika aku berikan ballpoint itu.
Ia sangat senang, bahkan ia berlaku seperti anak kecil dengan kegembiraannya
itu. Itu, ituuuuuu….. itu yang aku harapkan darimu Jeng. Seharusnya kau bergembira, kau
berterima kasih atas bentuk perhatianku . Aku tidak tahu kenapa kita jadi
begini …. hidupku hambar Jeng!”
“Aku banyak
pekerjaan Mas….. “
“Pekerjaan!
Pekerjaaaan! Pekerjaaaaan! Ngurus pekerjaaan nggak ada selesainya!”
“Benar, aku banyak
pekerjaan…. “
“Okelah, terserah
Jeng Ningtyas. Mungkin Ningtyas yang dulu sudah hilang. Tapi perlu diingat,
bahwa aku memberikan ballpoint itu bukan karena selingkuh. Tetapi karena kesal.
Kalau ballpoint itu tetap aku simpan, aku akan selalu kesal setiap aku melihat
ballpoint itu ……. Bersyukur sampai sekarang aku masih mencintaimu. Paling tidak
sampai ketika saat aku berikan ballpoint itu kemarin-kemarin itu. Tak tahulah
bila ajeng lebih mementingkan pekerjaan ….. mungkin aku akan memutuskan hal
lain yang lebih penting bagiku. Yang penting bagiku adalah : Perhatian istri.
Hanya itu, tak lebih. Entah siapa istri yang kumaksud! Apakah ajeng, atau yang
lain!”
Air mata Ningtyas
berlinang. Haryo menghela nafas dalam. Perlahan ia bangkit. Berjalan perlahan
ke luar. Laki-laki itu duduk di gazebo. Tempat yang telah lama sepi tanpa canda
tawa berdua dengan Ningtyas seperti dulu. ***
Majalengka, 15
September 2015
6431