Perpisahan anak-anak kelas XII SMA Ganesha kali ini benar-benar berkesan.
Aini Nurbaina, yang biasa dipanggil ”Ainun” duduk diam. Acara ini benar-benar
dirasa merupakan
pertemuan terakhir dengan sahabat sekelasnya yang tergabung dalam 5G (5 Girls), yang beranggotakan Ainun, Erika, Ayu,
Herlin, dan Tamia. Juga dengan teman-teman lain.
Apalagi guru-guru. Perlahan ia melihat ke arah guru-gurunya. Ia melihat betapa
mereka telah hampir tiga tahun bersama-sama. Ainun mendesah.
Gadis itu terhenyak ketika hadirin bertepuk tangan. Gadis itu
melihat ke panggung. Hati Ainun berdetak ketika melihat ke panggung. Alwiiii ……, gumamnya. Gadis itu
mengamati mantan ketua OSIS yang siap mempersembahkan lagu. Di sebelahnya
pembawa acara tengah menyampaikan kata pengantarnya.
“Hadiriiin yag berbahagia. Perpisahan kadang menyakitkan, tapi
kadang membawa kenangan. Mungkin itu awal yang baik. Namun ….. aaahhh…. Perpisahan,
kadang menjadikan kita sentimental, kadang membawa kita menjadi dewasa! Kita
sambut mantan ketua OSIS kita, Alwiiiiii Komaraaaaa!”
Riuh rendah tepuk tangan anak-anak kelas XII yang baru menempuh
ujian nasional melihat mantan ketua OSIS yang tampan itu melampaikan tangan.
“Lagu yang akan dibawakan adalah Sampaiiii … menutup …..
mataaaaaa!”
Ssstt! Bisik Tamia, sahabat Ainun seraya mencubit lengan Ainun yang
tenah terbengong-bengong.
“Apa?”
“Relakan. Kamu nggak usah bengong kayak gitu. Norak tahu!”
“Tapi dia tampan bangeeet Taaam…… “ kata Ainun sambil memegang erat
lengan Tamia sambil mengguncang-guncangkannya.
“Tapi dia milik orang lain.”
“Haa…aaakh… jangan ngomong gitu!”
“Memang dia ada perhatian sama kamu?”
“Ada, waktu aku duduk sendirian di depan kelas, dia lewat. Dia
bilang punten teteh!”
“Oooomaigaaad! Itu bukan perhatian, itu namanya unda usuk! Sopan santun
tahu!” kata Tamia dilanjutkan dengan tawa terkekeh-kekehnya. Dalam hati merasa
kasihan juga melihat Ainun yang tampak kehilangan kesadaran ketika bicara
matanya sambil tertuju kepada Alwi.
Ketika intro lagi mulai dimainkan anak-anak band, aplaus awal mulai
membahana. Ainun terkesima. Kedua tangannya yang mengepal ditempelkan ke
dadanya.
semua kenangan (yang) silam
yang penuh dengan
khayal dan impian
kini tlah musnah sudah
Ku tau pasti cintaku yang murni
t'lah kuberikan padamu
Tak mungkin lagi dapat kualihkan
hatiku kepada yang lain
Entah bagaimana kelak kan jadinya
hidup tanpa kasih mesra
Kan kutempuh juga walau penuh duka
Ketika lagu usai, aplaus bertambah meriah.
Semua tahu itu lagu perpisahan. Sebuah lagu yang sangat pas dengan
suasana perpisahan. Demikian pula Ainun, lagu itu dirasakan sangat indah. Indah
karena sakit oleh cinta, oleh kecewa karena cinta. Entah cinta yang mana.
Sejak Ainun mengenal Alwi, ia sama sekali tak berani mengungkapkan
apa yang ia rasakan. Sama-sama menjadi pengurus OSIS, ia sering dekat dengan
pemuda itu. Tapi apa? Ia tak pernah melihat sebuah tanda-tanda aneh, semacam
perhatian atau ketertarikan si ketua OSIS itu kepada dirinya.
“Ooooohh…. Tamiiii…… aku pingsan! Taaaam…”
“Hei jangan pingsan! Norak kamu ah! Lihat gitu saja pingsan.”
“Kita pulang saja Tam!”
“Ainuuuun …… tahan laah! Alwi itu kan bukan apa-apamu! Biarkan saja
kenapa?”
“Tapi aku sakiiit…. sakiit banget tuh di sini!” kata Ainun sambil
menunjuk dadanya.
Pukul 14.30.
“Nuun! Ini berapa?” tanya Tamia sambil menunjukkan dua jari di depan
mata Ainun.
“Dua….” kata Ainun dengan loyo.
“Naah… masih waras! Ayo senyum ah! Ini masa-masa akhir kita
berpakaian mahal, nyewa di salon! Sayang kalau dilewatkan begitu saja!”
Akhirnya dengan menyuruh orang lain, kelima anggota G5 berfoto
bersama-sama. Beberapa kali Ainun diteriaki karena wajahnya cemberut, manyun,
atau kuyu. Akhirnya usai sudah sesi berfoto di taman gerujukan ruang lobby .
Mereka berlima hendak melanjutkan berfoto di tempat lain, namun
langkah mereka terhenti ketika ada seseorang mendatangi. Kelima anggota 5G itu terkesima ketika
seorang pemuda ganteng menganggukkan kepala dengan sopan.
“Emmm maaf, mau tanya , acara perpisahan sudah selesai?”
“Emm… su…. sudah. Ini baru saja selesai.” yang menjawab adalah ketua kelompok, Erika.
“Em maaf …. ini Erika ya?” tanya pemuda itu ke arah Erika. Gadis
yang disebut tampak girang.
“Iiii… iya… saya Erika …” katanya sambil tertawa sumringah.
“Erikaaaa! Ingat Ilham Erika, ingat bunga Amarylis Kembar!” Herlin
nyelutuk.
“Huuuuh, kaliah nggak bisa lihat orang lain seneng!” kata Erika
merengut diingatkan sahabatnya.
“Maaf, kalian jadi bertengkar! Ilham itu siapa?”
“Pacarnya Erikaaa!” kini yang menimpali Ayu. Erika benar-benar mati
kutu.
“Maaf ya, aku tahu ini Erika, dulu kelasnya dekat Multimedia."
"Woow!"
"Sering juga lewat depan Graha OSIS!”
“Kakak tahu? Kakak alumnus sini ya?”
“Heheeee.... iya. Dua tahun yang lalu.”
“Tahu Erika kenapa?”
“Dulu agak hafal, ya itu tadi sering lewat. Dulu kayaknya ada
kelompok. Semacam gank gitu.. Erika cs!"
"Haaah, kita dianggap gank?"
"Bukan begitu, bercanda... maaf... mmm ... rasanya hari ini
wajah Erika kayaknya belum berubah.”
“Masak sih? Kakak mengenal saya?” Erika heran. Ada sebersit harapan
yang ditampakkan di wajahnya.
“Iya, kayaknya salon Erika beda ya? Kalian yang berempat, aku lupa,
nggak tahu siapa saja, make-up nya benar-benar menutupi wajah
aslinya!”
“Hahaaaa…. tuuuh teman-teman, wajah kalian munafik, tidak dikenal
orang. Aku? Anak jujuuur….. ke salon, tiga jam dipoles, oiii ...... wajah tetap
Erika!” seru Erika.
“Iiiih… kamu Ka! Tiga jam di salon ikut ngerias sih! Dandan Cuma
bedakan tiga menit! Lah ya pantas, keluar salon ya tetap Erika!”
Mendengar celutukan teman-temannya, teman lainnya tertawa. Erika
ikut tertawa. Namun tampak ada rasa malu diejek oleh anggota kelompoknya.
Ketika itu pemuda yang baru datang mengedarkan pandangan satu-satu ke arah
teman Erika yang lain. Semuanya memakai baju daerah.
“Emmm.. maaf semuanya ya. Dulu waktu saya di sini, kalian masih
kelas X.”
“Oooo….. “
“Nggak ada yang ingat aku?”
“Enggak. Kakak siapa ya?”
“Sudahlah, aku bukan siapa-siapa. Aku ke sini hanya ada sedikit
perlu, mau ketemu anak sini. Kalau nggak salah sih dulu suka bareng dengan
Erika, namanya Aini … ya Aini.”
“Ainiiii? Ainuuunnn!” hampir bersamanaan keempat teman Ainun
berteriak sambil melihat ke arah Ainun. Pemuda itu mengarahkan pandangannya ke
arah Ainun. Yang dilihat salah tingkah.
“Oooo.... ini Aini? Benar Erika?” tanyanya kepada Erika yang
wajahnya tampak kecewa.
“Iya… iya … dia Aini Ainun kak! Pacarnya mantan ketua OSIS yang tadi
nyanyi di panggung!”
“Oooo… begitukah? Emm, bisa bicara dengan Aini saja?” tanya pemuda
minta ijin.
“Nuuun! Tuh si kakak mau bicara! Kita pergi yooo…..” Ayu celutuk
sambil mengajak lainnya pergi.
“Maaf, aku tidak mengusir kalian.”
“Nggaaak… nggaak apa-apa, Nun, temanin tuh si kakak!” kata Erika
sambil menggelandang teman-temannya pergi.
“Erikaaa…. Yuu…. aduuh Taaam! Jangan pergi!”
“Huuuihhh…. ke kantin sebentar kok!”
“Aini? Benar ini Aini?” tanya pemuda itu sambil mengernyitkan dahi.
“Iya, saya Aini.”
“Duduk, ayo duduk ….”
Kebetulan sofa di ruang lobby kosong, pemuda itu mempersilakan Ainun
duduk. Bagaikan besi tersedot magnet, perlahan Ainun memenuhi permintaan pemuda
itu. Pemuda itupun duduk. Namun masih beberapa saat, pemuda itu melihat wajah
Aini serasa tak percaya.
“Seandainya bukan saat acara perpisahan, aku tentu mengenali wajah
Aini.”
“Oooh …. “
“Make up kadang
membuat bingung orang lain. Tapi benar ini Aini ya?”
“Iya, iya … benar Aini. Teman Erika, teman Ayu , juga Herlin dan
Tamia yang tadi itu.”
“Ooo…. emm. …. maaf, Aini mengenal aku nggak?” tanya pemuda itu
menyelidik.
“Iya, masih ingat. Kak Latif kan?” kata Ainun pelan.
“Hah? Aini masih ingat aku?” pemuda itu terkejut. Namun wajahnya
sumringah melihat tajam mata Aini.
“Masih.”
“Alhamdulillaaaaaahh…….. “ kata pemuda yang disebut Aini bernama
Latif dengan wajah sumringah. Pemuda itu bersandar ke punggung sofa sambil
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aini menggigit bibir. Ia heran
melihat rona perubahan di wajah Latif. Beberapa saat kemudian Latif menata
duduknya. Ia tersenyum.
“Kita nggak perlu kenalan ya? Aini Nurbaina kan?"
"Iya Kak. Kakak tahu namaku?"
"Panjang certanya. Ntar ah! Aini mengenalku. Apa lagi yang Aini
tahu?” tanya Latif memancing.
“Ada Kak.”
“Aini mengenalku banyak nggak?”
“Banyak, lumayan banyak.”
“Oooo…. misalnya apa?”
“Kak Latif mantan Ketua OSIS kan?”
“Alhamdulillaaaah… Aini masih ingat. Syukur ... syukur .... Aini
masih mengenalku sebagai mantan ketua OSIS dulu. Alhamdulillah Aini .... tapi
tadi di hadapan teman-temanmu, aku tanya katanya nggak ada yang tahu siapa aku.
Tapi Aini tahu. Kenapa nggak bilang tadi?"
"Tahu,
mau ngomong tapi malu, Nanti dibully sama sahabat-sahabat
tadi."
"Jadi
bener ingat?"
“Ingat.
Waktu itu saya masih kelas X, kakak sudah kelas XII.”
“Tahunya
dari mana?”
“Ah
nggak tahu dari mana ya? Ooo, itu, dari itu Kak, dulu waktu MOS kan
anak-anak baru disuruh mencari kenalan. Nah salah satunya kak Latif.“
“Ooo….”
“Kak
Latif nulis di buku MOS Aini
mau sukses? Ingat jalur nilai rapor membawamu masuk Smansa! Pertahankan itu!”
“Aini
masih ingat tulisanku?”
“Yah,
kan dulu kak Latif sambil bentak-bentak saya suruh ini itunya. ”
“Oooo….”
“Saya
takut, karena seumur-umur baru kali itu saya dibentak orang. Jadi ingat terus
wajah orang yang pertama membentak dalam hidup saya.”
“Oooohh….
aduuuh …. kalau begitu aku minta maaf ya.”
“Nggak
apa-apa.”
Hingga
kalimat itu Latif diam sejenak. Wajahnya tampak ragu hendak memulai kalimat
berikutnya. Aini juga diam. Namun dalam hitungan detik gadis itu melihat ke
arah Latif. Jantung Aini berdetak keras ketika ternyata Latif juga sedang
melihat ke arah dirinya. Keduanya membuang pandang. Aini mengutuki dirinya
sendiri ketika curi pandangnya ternyata bersamaan dengan pandangan Latif.
“Aini
….” kini Latif yang mendahului memecah suasana.
“Ya
Kak…” kata Aini sambil menoleh.
“Aku
ke sini sebenarnya ada perlu. Maaf, barangkali aku salah ….”
“Perlu
apa Kak?”
“Emmmm….
Aini punya kartu OSIS?”
“Kartu
OSIS? Punya. Ada apa ya?”
“Aku
mau lihat.”
“Emm….
mana yaa.. ooo…. nah ini.” kata Ainun sambil menunjukkan kartu OSIS yang
diambil dari dompetnya.
“Ooo
iya, yaa... aku juga punya Aini ….. ini…. “ kata Latif sambil mengeluarkan
kartu OSIS dari sakunya.
“Memang
itu kartu Aini.”
“Kok
ada di Kakak?" tanya Aini heran.
"Pernah
hilang nggak?"
"Iya,
dulu kartu OSIS-ku pernah hilang, waktu pertengahan kelas X.”
“Dulu
aku yang menemukan. Aku melihat waktu kartu ini jatuh dari saku Aini, waktu
jajan di Kopgur. Kartu itu aku ambil. Tapi entah kenapa, waktu itu aku tidak
ingin mengembalikan.”
“Kenapa
Kak?”
“Nggak
tahu kenapa Aini, tapi rasanya aku ingin menyimpannya. Aku jahat Aini, aku tahu
itu salah. Tapi aku nekad. Ada bagusnya juga sih, suatu saat memang aku berniat
mengembalikannya. Sekarang saatnya.”
“Oooo…”
“Dari
kartu inilah aku tahu kapan tanggal kelahiran Aini. Waktu …. nggg... waktu Aini
kelas XI, pernah nggak terima SMS ucapan ulang tahun yang aneh?”
“Ooo…
oooo…. yang …. “ kata Aini sambil membuka HP-nya. Beberapa saat kemudian gadis
itu membuka SMS kemudian ditunjukkan kepada Latif.
“Yang
ini Kak?” kata Aini sambil menyodorkan HP-nya.
“Astaghfirullah,
Aini. Kamu belum menghapusnya?”
“Belum
Kak. Rasanya sayang, ini SMS unik, terpanjang dalam sejarah SMS yang aku
terima. Katanya short,
tapi panjangnya minta ampun.”
“Tutup
dulu Aini…..”
Ketika
SMS ditutup, Ainun mendengar ada nada panggil. Ternyata nomor dengan ujung 48.
Gadis itu menoleh ke arah Latif.
“Ini
nomor Kakak?”
“Iya
itu nomorku. Dari dulu nggak berubah. Dulu saja Aini nggak membalas
SMS-ku."
"Takut,
habisnya nomor nggak dikenal sih!"
"Nah
ini nama Aini di HPku….. “ kata Latif sambil menunjukkan HPnya.
“Ainun
Netima?” Aini terbengong-bengong.
"Boleh
ya aku panggil Aini dengan Ainun?"
"Iya,
iya boleh Kak."
“Netima,
ya netima. Kita sama-sama alumnus Netima, SMP Negeri Tiga Majalengka.”
"Terus
darimana kakak tahu saya dipanggil Ainun?"
“Aku
tahu panggilan Aini itu Ainun dari ibu kepala perpustakaan Ganesha di SMA ini.
Aku sering melihat daftar kunjungan Ainun lho! Kadang-kadang juga di
perpustakaan aku suka membaca dekat Aini, tapi Aini nggak tahu didekati
ya?"
“Och….”
“Kak
Latif dapat nomorku dari siapa?”
“Sudahlah
…. Ainun, lain kali aku ceritakan. Lain kali , boleh ya? Mungkin lewat
telephon, atau mungkin kita ketemu lagi. Boleh Ainun ?” tanya Latif yang tak
segera dijawab Ainun.
“Iya..”
kata gadis itu perlahan sambil mengangguk.
“Sekarang
kartu OSIS ini aku kembalikan Ainun…. maaf, aku jahat banget. Terima kasih ,
aku sangat suka menyimpan ini cukup lama, walau tanpa seijin pemiliknya.”
“Oooh…
enggak. Kakak saja yang simpan…. “ kata Ainun reflek. Namun setelah itu ia
kaget.
“Benar
Ainun? Aku yang simpan?” tanya Latif mengagetkan gadis itu.
“Aaa….
aaa…. Aku ngomong apa tadi Kak?”
“Ainun
bilang kakak saja yang simpan…. “
“Och…..
tapi …..”
“Terima
kasih Ainun, tapi aku takut pacar Ainun marah.”
“Pacar?
Pacar yang mana?”
“Kata
Erika tadi, itu yang namanya Alwi mantan ketua OSIS yang sekarang kelas XII
ya?”
“Oooh….
enggak, ngawur Erika tuuuh…..”
“Oya
syukurlah kalau begitu.”
“Och…
apa maksudnya?”
“Enggak,
emmm…. Ainun, aku minta maaf sekali lagi atas kesalahanku. Kartu, nomor
telephon! Nanti sore aku harus berangkat ke kost-an. Besok ada kuliah.”
“Ooo…
iya… iyaaa…. Mmmm Kak Latif kuliah di mana?”
“IPB.”
“IPB?
Prodi Meteorologi Terapan? Benar?” Ainun terhenyak.
“Apa
Ainun?”
“Och
…. aku…. akuu ngomong apa ya?”
“Pengin
ke IPB juga ya? Mau nyusul? Ditunggu di Bogor. Aku di Statistik kok!"
"Oh
anu... anuu....ngg..."
"Aini
pasti sedang ingin ke Meteorologi Terapan IPB ya? Tadi kan kelepasan
ngomongnya. Kayaknya Aini gadis yang sangat respect mengamati perubahan iklim global ya?”
***
Tiga tahun berselang.
Sore itu kota Bogor tak ada hujan seperti biasanya. Di bulan-bulan
dengan curah tinggi, ada kalanya cuaca seperti wujud Tuhan mengabulkan doa
seseorang. Desember, tanggal 9 tahun 2019 tampaknya Latif telah mengawali
doanya di tengah tahajud tadi malam agar dikarunia waktu yang indah. Benar,
tampaknya itu yang dirasakan Aini.
“Selamat ulang tahun adindaku Aini Nurbaina…… “ kata Latif sambil
tersenyum.
“Terima kasih kakanda …. “
“Bahagia De?”
“Nggak tahu Kak. Nggak ada hadiah.”
“Sekali-sekali ulang tahun tanpa hadiah kan boleh. Setuju nggak?”
“Berat sih Kak. Minimal doa dong Kak.”
“Oh, doa? Doa Kakak setiap saat kok. Termasuk ketika dulu di hari
perpisahan De Ainun di Smansa, malamnya kakak berdoa semoga dipertemukan dengan
gadis cantik, yang kehadirannya dalam hati kakak sudah kakak rasakan sejak SMP
dulu.”
“Kakak berdoa seperti itu?”
“Iya. Dan dikabulkan Allah. Aku bertemu Ainun waktu itu …..”
“Hmh, bohong!”
“Untuk De Ainun kakak nggak pernah bohong.”
“Untuk yang lain?”
“Untuk yang lain? Kalau bisa nggak bohong, ngapain harus bohong! Setuju nggak?”
“Setuju laaah. Tapi kalau yang ke aku, nggak terlalu lah. Nggak ada
bukti!”
Latif tersenyum. Pemuda itu mengeluarkan HP, diletakkan di atas
meja. Ainun melihat paripolah Latif dengan heran. Tak berapa lama Ainun
terhenyak kaget. Dari HP itu terdengar suara rekaman :
“Sudahlah …. Ainun, lain kali aku ceritakan. Lain kali , boleh ya?
Mungkin lewat telephon, atau mungkin kita ketemu lagi. Boleh Ainun ?”
“Iya..”
“Sekarang kartu OSIS ini aku kembalikan Ainun…. maaf, aku jahat
banget. Terima kasih , aku sangat suka menyimpan ini cukup lama, walau tanpa
seijin pemiliknya.”
“Oooh… enggak. Kakak saja yang simpan…. “
“Benar Ainun? Aku yang simpan?”
“Aaa…. aaa…. Aku ngomong apa tadi Kak?”
“Ainun bilang kakak saja yang simpan…. “
“Och….. tapi …..”
Klik! Latif mematikan rekaman. Ainun memerah mukanya. Gadis itu
menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Latif tertawa.
“Aaaaaaaaaah Kak Latif nakaaaalll…. merekam nggak ngomong-ngomong!”
“Aku suka sekali kalimat itu De, kakak
saja yang simpan. "
"Iiiihhhh..... maluuuuu!”
"Benar, itu sebuah perintah De. Akhirnya kartu OSIS beserta
yang punya aku simpan di dalam hati, Insya Allah selamanya.”
“Iiiihhhh…. Kakaaak…. “
“Nah rekaman inilah hadiah untuk ultah De Ainun. “
“Oooh…. aaahhh terima kasih Kak.”
“Suka nggak?”
“Suka. Iya suka, suka banget, Kakak kreatif banget.”
“Syukurlah sudah mengapresiasi dengan kata kreatif. Mmmm…. O ya De
Ainun sekarang tingkat berapa ya?”
“Tingkat tiga.”
“Aku?”
“Kakak hampir lulus magister.”
“De, kalau aku lulus, De Ainun siap-siap ya?”
“Siap-siap apa? Mendampingi waktu wisuda?"
"Aaaah itu sih biasa.... ini lebih penting."
"Apaan Kak?"
“Setelah aku lulus nanti, setengah tahun kemudian mmm.... De Ainun menjadi …. menjadi…..
menjadi …..”
“Menjadi apa Kak?”
“Aaaaah malu mau ngomong De… “
“Menjadi apa?”
“De Ainun menjadi .... menjadiiii..... nggg..... menjadi Nyonya
Latif …..”
Berdesir hati Ainun mendengar kalimat Latif. Kalimat yang yang
begitu indah akhirnya datang dari pemuda yang ia cintai. Bulu-bulu halus di
lengannya dirasakan meremang. Matanya berkaca-kaca. Beberapa saat Latif
membiarkan Ainun menerjemahkan sendiri kalimat yang baru saja diucapkan.
“Kakak serius?” tanya Ainun hampir tak percaya.
“Meniti ribuan istikhoroh, rasanya Allah memberi petunjuk dan
keyakinan pada kakak.”
“Ochh….”
“Ini hadiah kedua ulang tahun De Ainun, hanya kata-kata …..”
“Kakaak…… terimakasih.”
“De Ainun tidak boleh menolak.”
“Kata-kata tidak
boleh aku nggak suka
Kak, itu diktator Kak. Kakak tidak boleh bicara seperti itu!”
“Kalau De Ainun menolak, berarti durhaka kepada orang tua.”
“Kak?! Apa maksudnya?”
“Sebab kedua orang tua De Ainun telah menerima niat baik kakak.”
“Kak?! Apa maksudnya?”
“De Ainun, maafkan Kakak ya. Dua minggu lalu, ketika ada libur dua
hari kakak pulang ke Majalengka. Kemana? Kakak menemui orang tua tua De Ainun.
Yaah, tanpa sepengetahuan De Ainun, kakak sampaikan niat kakak yang baik itu.
Dan orang tua De Ainun menerimanya……”
“Kakaaak…… kkkaaak ….. kakak bohong!”
“Bohong? Telponlah ayahanda. Silakan tanyakan.” kata Latif perlahan.
Ainun melongo. Gadis itu tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
Dilihatnya tak ada sinar mata kebohongan di mata pemuda itu. Ia melihat senyum
Latif begitu meyakinkan hatinya.
“Enggak….enggak ….. kakak , aku tak perlu menelpon ayah. Ainun
percaya.. Ainun percaya ….. kata-kata kakak....” kemudian gadis itu mengatubkan
bibirnya menahan gejolak dalam hatinya. Tubuhnya berguncang. Ditahannya air
mata yang menekan keluar. Namun ia tak sanggup. Akhirnya gadis itu menangis
terisak. Ia menelungkupkan wajahnya di meja. Latif membiarkan gadis itu
menangis beberapa lama.
“De Ainun …… “ akhirnya Latif memanggil perlahan.
“Ya Kak…” kata Ainun sambil menyeka air mata dengan punggung
tangannya.
“Ini hadiah ulang tahun yang ketiga.”
“Iya Kak, terima kasih. Ainun terima semua hadiah dengan sepenuh
hati kak …”
“Terima kasih juga De. Tapi…… tapi…….”
“Tapi apa kak?”
Lama Latif diam. Ia tampak enggan untuk memulai bicara. Berkali-kali
ia mengambil nafas panjang, kemudian dihembuskan.
“De, sebelum semua yang nanti kita rencanakan terlaksana, kakak mau
bicara terus terang. Boleh ya?”
“Terus teranglah Kak, katanya kakak nggak pernah bohong.” kata Ainun
dengan jelas, namun dalam hatinya tiba-tiba dihinggapi raga khawatir.
“Ini menyangkut masa lalu De.”
“Och…”
“Tidak marah ya?”
“Kalau masa lalu seharusnya kakak simpan saja. Sebaiknya aku tidak
tahu saja. Takutnya itu akan menjadi pengurang keikhlasan berumah tangga
kelak.”
“Tapi rasanya kakak harus katakan pada De Ainun. De Ainun harus
tahu.”
"Hmhhh..."
“Tapi jangan tersinggung.”
“Nggak tahulah Kak.”
“Jangan marah ya.”
“Nggak tahu juga.”
Kebahagiaan yang belum lama dirasakan Ainun, tiba-tiba menghilang.
Dan ia merasakan akan semakin hilang. Kalimat Latif benar-benar telah merusak
suasana hatinya. Namun tampaknya pemuda itu memaksa dirinya untuk mendengarkan
kata-katanya.
“De Ainun …… memang kakak mencintai De Ainun, tahu kan sedalam apa
cinta kakak pada De Ainun. Tapi …. Sebenarnya …. sebenarnya …… hhhmh…..”
“Sebenarnya apa kak?”
“Hhhh… sebenarnya …. see… benar …..”
“Katakan kak! Ada apa?”
“Sebenarnya De Ainun adalah cinta ketigaku!”
Mendengar itu Ainun merasa melayang kepalanya. Hampir saja matanya
berkunang-kunang jika saja tangan Latif tak memegang jemarinya. Pegangan tangan
Latif mengagetkan dirinya. Namun ia kemudian menarik tangannya dari pegangan Latif.
“Kenapa kakak katakan itu. Mestinya kakak simpan sendiri rahasia
ini.”
“Aku tak bisa memegang rahasia ini De Ainun. Maafkan kakak….”
“Hmh …..”
“De Ainun, De Ainun adalah cinta ketigaku. Kalau mau tahu cinta
pertamaku, cinta pertamaku adalah …….”
“Jangan katakan Kak! Aku mohon jangan katakan ....”
“Cinta pertamaku adalah …… adalah …..”
“Jangan Kak….”
“Cinta pertamaku adalah Aini.”
“Aini siapa Kak?”
“Cinta keduaku adalah Nurbaina …… dan Ainun adalah cinta ketigaku
…….”
Terbelalak mata Ainun. Ditatapnya mata Latif hingga lama. Gadis itu
benar-benar sedang dipermainkan hatinya. Letupan-letupan yang dimunculkan Latif
sama sekali tak terduga. Latif tersenyum. Latif mengangguk. Perlahan Ainun
menghela nafas dalam.
“Kakaaak ……..”
“De Ainun, cinta pertamaku adalah Aini, Ainun adalah cinta ketigaku,
mudah-mudahan cinta terakhirkuuu....... Insya Allah “
Ainun tak bisa berucap apa-apa lagi. Sejuknya sore kota Bogor sangat
ia rasakan. Hatinya sejuk. Tiga hadiah ulang tahun dari Latif benar-benar
sangat indah. Kata-kata, bukan benda. Tak ada yang tahu. Bagi Ainun, cukuplah
itu sebagai hadiah yang tak akan terlupakan seumur hidupnya.
Kak Latiiif …… perlahan bibir gadis itu bergumam menyebut nama
kekasihnya. Latif memandang gadis cantik di hadapannya sambil tersenyum. Ia
berdoa, dalam diri Ainun lah pelabuhan terakhir hidupnya.***
Majalengka, 13 Maret
2016
*Request Aini Nurbaina – XII MIPA 4
5044