Sore hari pulang kerja Sarjito merasa badannya tidak enak.
Tengkuk
terasa kaku. Kepala nyut-nyutaan. Makanya setelah meletakkan tas, pemuda itu
tidak langsung ke kamar mandi seperti biasanya, tetapi langsung berbaring di
kamar. Melihat anaknya berbaring pulang kerja, perempuan itu menggelengkan
kepala.
“Jitooo….
badanmu kotor, mandi dulu.”
“Ada
air panas Bu?”
“Ada.
Buat mandi? Di termos ibu baru menjerang. Ayo!”
“Ya
Bu.”
“Kamu
sakit?”
“Mungkin
Bu. Badan tidak enak, kepala ini ….hhhh…… nyut-nyutan!”
“Ya
sudah, mandinya cepetan, asal menghilangkan keringat, jangan lama-lama. Ntar
selimutan yang rapat, biar hangat, ntar bangun sudah enak.”
“Iya
kalau enak. Kalau keterusan bagaimana Bu? Besok aku harus mendampingi Pak
Bupati ke Srandil, peresmian sentra industry kecil. Malu Bu!” Kata Sarjito
sembari bangkit dari rebahan.
“Ya
sudah, mandi cepet, ntar habis mandi langsung ke dokter Prayit! Mumpung masih
siang!”
Pemuda yang bekerja sebagai ajudan bupati itu
menuruti kata ibunya. Selesai mandi ia mengeluarkan motor besarnya. Sakit
kepala yang dirasa masih bisa ditolerir kalau hanya sekedar naik motor. Lagi
pula jarak rumah ke dokter langganannya itu tidak terlalu jauh. Hanya lima
menit kecepatan empat puluh kilometer per jam.
Sampai
di tempat praktek antrian sudah dimulai. Sarjito mengambil nomor antrian. Angka
13 ia pandangi sejenak, kemudian bertanya ke pasien lain yang duduk di ruang tunggu. Ketika dapat
informasi baru nomor urut delapan, ia keluar ruangan tunggu.
Kakinya melangkah ke dekat kolam kecil di halaman rumah dokter. Sementara
pasien yang datang sore itu lumayan banyak. Kebanyakan dari mereka terdengar
batuk. Sepertinya di musim pancaroba menjelang kemarau, batuk menjadi tren.
Sekitar
lima menit lewat Sarjito membunuh waktu dengan main HP. SMS yang tidak penting
ia hapus. Rekaman-rekaman suara yang lama juga ia hapus. Namun kegiatan pemuda
itu terhenti ketika ia mendengar suara rintihan tak jauh dari tempatnya duduk.
Ia melihat ada wanita muda jongkok tidak jauh darinya. Perempuan itu pucat
wajahnya. Beberapa kali kelihatan oleh Sarjito perempuan itu meringis. Kemudian
memegangi perutnya. Dengan tidak disadari Sarjito bangkit mendekat.
“Maaf
Mbak ….. perutnya sakit?” tanya Sarjito yang ikut jongkok di samping perempuan
muda itu. Yang ditanya menengok, sambil menggigit bibir ia mengangguk.
“Ssss…sakit
.”
“Giliran
nomer berapa?”
“Itu
…… “ kata perempuan muda itu seraya menunjuk nomor antrian yang telah
tergeletak di paving-block. Sarjito kaget melihat angka yang tertera : 23.
“Maaf,
Mbak dengan siapa ke sini?”
“Sen…ss….sendirian.”
“Sendirian?”
“Ya.”
“Kalau begitu pakai nomor saya saja, nih 13! Sudah hampir, ayo ke dalam! Maaf!” kata Sarjito seraya memegang pergelangan