Foto dokumnetasi Citra Lestari
Pukul 06.10 Berllian sudah di kelas.
Hari piket bagi gadis Cikijing itu memang menjadi sebuah poin plus tersendiri. Bagaimana tidak? Jarak yang cukup jauh dari sekolah justru mengalahkan anak-anak kota Majalengka dari segi kedatangan.
“Sssst.....!” ada suara di belakang Berllian. Gadis itu kaget dan menoleh.
“Aduuuh Triooo, ngagetin saja!” kata Berllian demi melihat siapa yang bersuara.
“Kan aku sudah bersuara pelan.” kata Satrio, anak muda temannya itu.
“Justru suara pelan itu yang ngagetin! Lain kali yang wajar saja.”
“Dengar suara pelan kaget ya Li?” kata Satrio dengan panggilan Li, dari Llian.
“Iya sih. Tapi sudahlah .... mau bantu piket nggak? Nyapu tuh.”
“Mau nyemangatin saja!”
“Uh enaknya saja!”
“Berlliii .... berhenti dulu nyapunya.”
“Apaan sih?”
“Pernah dengan orang marah teriak-teriak di hadapan yang dimarahi nggak?”
“Ya kudu gitu laaah!”
“Padahal nggak tuli ya? Tahu kenapa?”
“Nggak!”
“Itu karena orang yang marah itu fisiknya dekat, tapi jiwanya jauh dengan orang yang dimarahi.”
“Terus apa hubungannya dengan aku piket?”
“Nggak ada!”
“Iiiih nganggu saja! Sana! Sanaaa!”
“Ntar dulu Li belum selesai.”
“Apalagi sih?”
“Pernah lihat orang yang saling suka nggak? Saling suka, atau saling mencintai?”
“Nggak.”
“Ah kamu Li, susah diajak nyambung. Niiih, kalau orang saling suka, pernah nggak kalau ngomong teriak-teriak di depan orang yang disukainya?”
“Kayaknya sih nggak mungkin. Kayaknya bicaranya pelan, berbisik ... atau dari isyarat.”
“Nah itulah. Karena orang yang saling suka itu jiwanya dekat, jadi nggak perlu berteriak.”