Sore hari pulang kerja Sarjito merasa badannya tidak enak.
Tengkuk
terasa kaku. Kepala nyut-nyutaan. Makanya setelah meletakkan tas, pemuda itu
tidak langsung ke kamar mandi seperti biasanya, tetapi langsung berbaring di
kamar. Melihat anaknya berbaring pulang kerja, perempuan itu menggelengkan
kepala.
“Jitooo….
badanmu kotor, mandi dulu.”
“Ada
air panas Bu?”
“Ada.
Buat mandi? Di termos ibu baru menjerang. Ayo!”
“Ya
Bu.”
“Kamu
sakit?”
“Mungkin
Bu. Badan tidak enak, kepala ini ….hhhh…… nyut-nyutan!”
“Ya
sudah, mandinya cepetan, asal menghilangkan keringat, jangan lama-lama. Ntar
selimutan yang rapat, biar hangat, ntar bangun sudah enak.”
“Iya
kalau enak. Kalau keterusan bagaimana Bu? Besok aku harus mendampingi Pak
Bupati ke Srandil, peresmian sentra industry kecil. Malu Bu!” Kata Sarjito
sembari bangkit dari rebahan.
“Ya
sudah, mandi cepet, ntar habis mandi langsung ke dokter Prayit! Mumpung masih
siang!”
Pemuda yang bekerja sebagai ajudan bupati itu
menuruti kata ibunya. Selesai mandi ia mengeluarkan motor besarnya. Sakit
kepala yang dirasa masih bisa ditolerir kalau hanya sekedar naik motor. Lagi
pula jarak rumah ke dokter langganannya itu tidak terlalu jauh. Hanya lima
menit kecepatan empat puluh kilometer per jam.
Sampai
di tempat praktek antrian sudah dimulai. Sarjito mengambil nomor antrian. Angka
13 ia pandangi sejenak, kemudian bertanya ke pasien lain yang duduk di ruang tunggu. Ketika dapat
informasi baru nomor urut delapan, ia keluar ruangan tunggu.
Kakinya melangkah ke dekat kolam kecil di halaman rumah dokter. Sementara
pasien yang datang sore itu lumayan banyak. Kebanyakan dari mereka terdengar
batuk. Sepertinya di musim pancaroba menjelang kemarau, batuk menjadi tren.
Sekitar
lima menit lewat Sarjito membunuh waktu dengan main HP. SMS yang tidak penting
ia hapus. Rekaman-rekaman suara yang lama juga ia hapus. Namun kegiatan pemuda
itu terhenti ketika ia mendengar suara rintihan tak jauh dari tempatnya duduk.
Ia melihat ada wanita muda jongkok tidak jauh darinya. Perempuan itu pucat
wajahnya. Beberapa kali kelihatan oleh Sarjito perempuan itu meringis. Kemudian
memegangi perutnya. Dengan tidak disadari Sarjito bangkit mendekat.
“Maaf
Mbak ….. perutnya sakit?” tanya Sarjito yang ikut jongkok di samping perempuan
muda itu. Yang ditanya menengok, sambil menggigit bibir ia mengangguk.
“Ssss…sakit
.”
“Giliran
nomer berapa?”
“Itu
…… “ kata perempuan muda itu seraya menunjuk nomor antrian yang telah
tergeletak di paving-block. Sarjito kaget melihat angka yang tertera : 23.
“Maaf,
Mbak dengan siapa ke sini?”
“Sen…ss….sendirian.”
“Sendirian?”
“Ya.”
“Kalau
begitu pakai nomor saya saja, nih 13! Sudah hampir, ayo ke dalam! Maaf!” kata
Sarjito seraya memegang pergelangan perempuan itu dibantu bangkit kemudian
menuntunnya ke dalam. Sarjito merasa lega ketika yang digandeng tangannya tak
menolak. Dada Sarjito bahkan bedebar-debar ketika perempuan muda itu berjalan
tertatih-tatih sambil memegangi kencang jaketnya. Rupanya takut jatuh.
Tak
berapa lama ketika tiba giliran, Sarjito menggandeng tangan perempuan muda itu
memasuki ruang periksa.
“Apa yang dirasa sakit istrinya
Mas?” tanya dokter sambil menulis.
“Perut.”
kata Sarjito singkat.
Hati
pemuda itu tidak menentu ketika
dokter menyangka bahwa perempuan itu adalah istrinya. Oooo beginilah rasanya
jadi suamikah? Pikirnya singkat.
“Silakan,
berbaring, saya periksa. Mulai kapan istri Mas sakit?”
“Emmm…..eeemm….
kebetulan saya baru saja dinas luar. Nggak sempat kontak-kontak. Biasanya dia nggak suka
cerita tentang penderitaanya dok! Silakan tanya langsung dok.”
“Oooo
…. nggak boleh begitu ya
Mbak. Ke suami sendiri harus terus terang, tidak baik menyimpan rahasia.”
“Ya
dok.”
Entah
mengapa tiba-tiba inspirasinya datang begitu saja. Sarjito merasa gembira ketika akhirnya dokter
Prayit berdialog dengan perempuan muda yang diaku istrinya itu. Setelah dirasa
cukup, dokter memberikan resep sambil menasehati.
“Mbak harus banyak istirahat, ini baru gejala
maag. Makanan dijaga, hindari yanag asam-asam, hindari yanag pedas-pedas.
Banyak istirahat.”
“He-eh
benar kata dokter Jeng, jangan masak dulu. Tenang saja. Jangan ngiri kalau aku
makan sambal….. heheee….” kata Sarjito memotong.
“Ya
bukan begitu, Mas-nya ini ya harus jaga perasaan Mbak-nya, masa suaminya makan
sambal kesukaan di depan istrinya. Harus sembunyi-sembunyi, tapi lebih baik
munculkan empati, ikut prihatin atas sakit istri Mas.” kata dokter Prayit tidak setuju
dengan gurauan Sarjito. Muka Sarjito merah disanggah seperti itu.
“Oh
iya dok, terima kasih atas nasehat dan resepnya….” kata Sarjito.
“O
silakan, silakan …. semoga cepat sehat!”
Keluar
ruangan praktek Sarjito masih menggamit lengan perempuan muda itu. Sementara
resep dari dokter masih berada dalam saku bajunya. Sampai di luar dengan
perlahan perempuan itu mendorong perlahan telapak tangan Sarjito yang memegang lengannya.
“Maaf
Mas ….. “ kata perempuan itu pelan dengan wajah memerah.
“Oh,
maaf, saya yang minta maaf
Mbak. Maaf tadi saya aku sebagai istri, sekali lagi maaf.” kata Sarjito seraya melepas pegangannya pada lengan perempuan itu.
“Nggak
apa-apa Mas, saya terima kasih telah ditolong.”
“Aaah
… nggak usah terima kasih, yang penting Mbak
sehat.”
“Tapi
kenapa tadi Mas nggak periksa ke dokter Prayit? Bukannya Mas tadi ke sini mau
berobat?” kata perempuan itu heran.
“Hah?! Saaa…. saya sakit? Weeeehh….. iya ya?
Bukannya saya ke sini mau berobat? Betul Mbak …. betul sekali.” beberapa jenak
Sarjito bengong. Benar, ia
sama sekali lupa tujuan semula akan berobat. Tapi entah kenapa sekarang sama
sekali tidak merasakan bagian mana dari
tubuhnya yang sakit. Kepalanya tidak, punggung tidak, panas dingin juga tidak.
“Kalau
begitu Mas masuk lagi.” kata perempuan itu menyadarkannya.
“Ah
nggaaak ….nggaaaak …. saya sudah sembuh. Benar, saya sudah tidak pusing lagi.
Bener sehat, ajaib sekali.” kata Sarjito yakin.
“Oh
syukurlah kalau Mas sehat, maaf
jadi merepotkan Mas. Maaf Mas, resep saya tadi mana?” kata perempuan muda itu mengingatkan Sarjito.
“Becaaak!”
Becak
yang parkir di depan gerbang
rumah dokter datang. Perempuan muda itu bingung.
“Becak
Mas?” tanya tukang becak.
“Resep
saya Mas ……” sela perempuan muda itu.
“Di
saku saya, tenang saja, saya antar…..”
“Jangan Mas!”
“Pak,
antar ke apotek Palang Biru.” kata Sarjito kepada tukang becak.
“Siap!”
Walaupun
diliputi rasa masygul, tetapi perempuan itu mau juga naik ke atas becak.
Sarjito menyusul. Ketika duduk berduaan, perempuan itu melihat ke arah luar
menghindari kalau-kalau Sarjito memandangnya.
“Masih
sakit?” tanya Sarjito pelan. Yang ditanya tak bisa mengelak. Ia menoleh.
“Iya
masih. Sedikit.”
“Namanya
siapa Mbak?”
“Titi.”
“Saya
Sarjito …..” kata Sarjito sambil mengulurkan telapak tangan mengajak salaman.
Perempuan itu menerima uluran tangan pemuda itu. Telapak tangan
perempuan muda terasa begitu halus di genggaman Sarjito. Bulu
kuduk Sarjito sampai berdiri merasakan getaran di dada yang muncul sebagai
respon genggaman telapak tangan yang halus. Akan tetapi Sarjito juga merasakan bahwa telapak tangan
dalam genggamannya masih panas.
“Rumah
di mana Mbak Ti?”
“Puteran,
selatan Madrasah Madani.”
“Ooooo
…… tak terlalu jauh.”
Waktu
yang singkat ba’da ‘Ashar hingga menjelang maghrib mampu memberi semangat baru
dalam hatinya. Mulai ketemu Titi di halaman dokter Prayit, menemani masuk ruang
periksa, menebus resep, hingga mengantar ke rumah Titi membuat hatinya benar-benar
gembira. Apalagi sampai di Puteran, ketemu ibunya Titi, diterima dengan baik
dan ucapan terima kasih. Sebab menurut cerita ibunya, Titi berangkat sendiri
karena ia belum pulang dari tempat kerja.
“Emmm…
maaf Bu, sudah hampir maghrib. Saya pamit dulu.”
“Ooo
silakan Mas Jito, sekali lagi terimakasih telah mengantar Titi.”
“Sama-sama
Bu. Mbak Titi cepat sembuh ya, ingat nasehat dokter. Nggak usah masak buat saya
dulu!” kata Sarjito sambil tertawa mengingatkan dialog di ruang dokter.
“Aaaah…..
iya, iya ….. saya nggak akan masak dulu!” kata Titi sambil tertawa.
“Apa
sih? Ibu nggak ngerti?”
“Hihihi…..”
“Nah
kamu sudah hampir sembuh Ti, sudah bisa tertawa…. awas ntar ceritain sama ibu
ya?”
“Terserah
Mbak Titi Bu. Pamit dulu ya Bu, kapan-kapan boleh bezoek Mbak Titi ya Bu?”
“Terserah
Titi!”
“Nggak
boleh bezoek ke sini Mas, karena bezoek berarti saya masih sakit. Kalau main
nggak apa-apa?”
“Oh
maaf yayaaa… mudah-mudahan sehat.”
“Dari
sini langsung pulang ya Mas, tadi kan mau periksa malah nggak jadi!”
“Tidak
bisa langsung pulang, saya harus ke dokter Prayit lagi Mbak Ti.”
“Lho?
Lhaaa…. tuuuh kan , sakitnya
terasa lagi!”
“Bukan
itu, saya lupa, saya harus mengambil motor saya di parkiran dokter Prayit.”
“Lho?
Tadi Mas Jito bawa motor to?”
“Hmh
…. ya begitulah ….. “ kata Sarjito sambil garuk-garuk kepala.
Titi
dan ibunya hanya bisa saling pandang. Namun akhirnya akhirnya tawa mereka
bertiga pecah. Akhirnya sore itu dengan menumpang becak yang sama, Sarjito
kembali ke dokter Prayit untuk mengambil motor yang ketinggalan.
Hari-hari
berikutnya Sarjito dan Titi semakin akrab.
Sarjito
memanggil Titi tidak lagi dengan sebutan “Mbak” tapi “De”. Ibu Sarjito juga merasa
senang, sebab baru kali inilah anaknya mau dekat dengan anak perempuan. Hal itu
dirasakan sebagai kekhawatiran sebab umur Sarjito sudah satu tahun lewat dari tiga puluh. Apalagi Titi
anaknya juga cantik, walaupun tidak cantik sekali. Orangnya sopan, tenang.
Mungkin bagi yang kasmaran padanya akan mengatakan gadis seperti Titi inilah yang orangnya
disebut anggun
dan keibuan. Lama kelamaan pun ibu Sarjito merasa bahwa dirinya merasa siap
jika Titi menjadi menantunya.
***
Suatu
sore pulang kerja kedua orang tuanya telah menanti kedatangannya. Sarjito
merasa ada hal serius yang akan dihadapi. Maka usai mandi ia
bergegas menemui kedua orang tuanya.
“Tumben
ayah ibu menunggu dengan serius, jadi deg-degan nih…..” kata Sarjito sambil
duduk di hadapan keduanya.
“Begini
To, umurmu sekarang kan tambah tua. Sudah tiga puluh satu tahunan lho …..”
“Wah,
ibu … namanya orang hidup ya semakin lama semakin tua.”
“Eh
bercanda kamu! Begini maksudnya To, ayah ibu sudah ingin segera punya mantu.
Maksudnya kamu segera menikah. Ayah ibu lihat sepertinya Titi sudah klop dengan
sifat-sifatmu.”
“Ooooo
…… itu…. yaaaaaa. …. yaaa…”
“Ya ya
bagaimana? Ayah ibu siap ke Puteran, siap ke sana untuk melamar lho!”
“Aduuuhh
… melamar?”
“Haiya
lah … apalagi?”
“Waduuuh
bagaimana nanti kalau aku punya istri ya Bu … lucu rasanya, takut Bu.”
“Jalani
dulu. Ntar juga bisa! Masa kolokan kaya anak kecil, nggak klop ah dengan tubuhmu yang gagah tinggi besar.”
“Iya
tuh To …… “ ayahnya memotong, “ ….. kaya ayah ini lho! Tinggi besar, huuu kalau
hanya melamar anak perempuan berani banget. Ya kan bu?”
“Nggak
tahu ah!” kata ibu Sarjito sambil menahan tawa dengan muka merah.
“Begini
To, karena kamu kenalan sudah lumayan lama, sudah empat bulanan, tolong dong
ceritakan secara serius keadaan keluarga Titi. Ayah ibunya siapa, pekerjaanya
apa. Tapi maaf, ini bukan berarti membeda-bedakan. Agar nanti enak ketika bicara
kalau sudah tahu latar belakangnya.” kata ayahnya kemudian.
“Oooo
…. ya boleh yah, bu. Begini, De Titi sekarang hanya tinggal berdua
dengan ibunya saja. Ayahnya, Pak Suharyono, sudah meninggal cukup lama sejak De Titi masih kecil .”
“Ooooo….
kasihan Titi….” gumam ibu Sarjito.
“Siapa
nama ibunya?” tanya ayah Sarjito.
“Suhartini
Pak.”
“Suhartini?”
ayah Sarjito kaget, demikian pula ibu Sarjito.
“Ya
pak, kalau orang-orang memanggilnya Ibu Suhar.”
“Asli
orang Puteran?” tanya ibu Sarjito.
“Emmmm…..
anu bu, ibu Suhar bukan orang asli puteran. De Titi dan ibunya pindahan dari
Wates.”
Demi
mendengar kata pindahan dari Wates, ibu Sarjito bangkit dari duduk dan
meninggalkan anak dan suaminya. Yang ditinggal kaget. Sarjito menatap ayahnya.
Ayahnya hanya menggeleng, namun kemudian bangkit dari duduknya mengejar
istrinya yang meninggalkannya.
“Bu
jangan aneh-aneh…. Sarjito bingung!” katanya ketika sudah di dalam kamar.
“Aneh-aneh?
Sudah jelas itu Mbak Suhartini dari Wates. Enak kamu Pak, ketemu kekasih lama.
Sudah janda lagi. Aku tidak sudi ketemu, apalagi jadi besan!”
“Bu
….. tenangkan pikiranmu. Jangan cepat ngambek kaya ABG saja! Belum tentu dia
itu Suhar yang itu!”
“Belum
tentu? Dia orang Wates Pak. Dia sudah sendirian. Pikiran bapak bisa melayang
jauh, bahkan yang bukan-bukan. Entah kasihan atau apalah, iba, dan sebagainya.
Bisa sembunyi-sembunyi menggugah cerita lama, memperbaiki benang-benang yang
pernah rantas sebab bapak didahului orang lain.”
“Kasihan
Sarjito Bu. Kan ibu juga yang sangat mendukung Sarjito cepet-cepet punya istri.
Sarjito kayanya sudah siap, eh ibu malah aneh-aneh.”
“Kasihan
memang kasihan Pak, tapi mumpung belum terlanjur. Tapi nggak apa-apa juga kalau
lanjut, tapi aku akan pulang ke mBantul.”
“Apa-apaan
Bu? Sabar Bu …..”
Ayah
Sarjito pusing menghadapi tingkah isitrinya. Tapi juga tidak menyalahkan jika
rasa cemburu pasti ada jika yang bakal menjadi calon besannya adalah bekas
kekasih suaminya.
Di
tengah-tengah ketegangan Sarjito mengetuk pintu kamar. Ayahnya keluar. Sarjito
melirik sekilas kea rah ibunya yang cemberut.
“Ada
apa?”
“Di
depan ada tamu.”
“Temui
dulu, suruh masuk dulu.”
“Iya
Pak, sudah duduk di ruang tamu.”
“Siapa
tamunya?”
“De
Titi bersama ibu Suhar.”
Demi
mendengar nama ibu Suhar disebut , mata ayah Sarjito melotot.
“Bu…Bu
Suhar?” tanyanya gelagapan. Laki-laki itu menoleh ke istrinya.
“Apa
lihat-lihat? Temui dia!”
“Ayolah
bareng ibu.”
“Nggak
mau!”
“Ibu
kenapa sih? De Titi dan ibu Suhar mampir nggak sengaja katanya sih ….ibu temui
dong….. ya bu yaaaa….” pinta Sarjito.
“Ayahmu
saja!”
“Wah
ibu, katanya mau ketemu calon besan, kok malah kaya sewot, kenapa to bu?”
“Tanya
ayahmu itu!”
“His
Bu, jangan memalukan laah. Ayo cepat dong Bu …. “ perintah ayah Sarjito.
“Ibu
kok kaya ketakutan to bu?”
“To,
menurut ibumu itu, ibu Suhar dikira bekas kekasih ayah dulu…. hahaaa…” kata ayah Sarjito terus terang.
“Ooooo
….. itu to? Waaah ibu, di dunia ini katanya ada tujuh orang kembar. Apalagi
nama Bu, nama Sarjito di Yogyakarta banyak. Nama ayah, Supomo juga banyak. Apa
sih yang ibu takuti? Nama ibu Suhar juga
banyak juga.” kata Sarjito meyakinkan ibunya.
“Tapi
kalau pindahan dari Wates?”
“Wates
itu kan luas bu!”
Karena
dipaksa-paksa oleh suami dan anak, akhirnya ibunya Sarjito melangkah perlahan
ke luar untuk menemui tamu di ruang tamu. Berat langkah perempuan itu satu
persatu sambil menata hatinya .
“Ini
ibu saya …………. “ kata Sarjito ketika ibunya muncul.
Melihat
ibu Sarjito muncul, ibu Titi, Suhartini, melongo dengan pandangan tak percaya.
Demikian pula ibu Sarjito.
“Mbak
Wid? Ini Mbak Widyantari kan?” katanya seraya mendekat dan memegang pundak ibu
Sarjito.
“De
Yati? De Yatiii?” Sarjito dan ayahnya hanya melongo ketika keduanya
berpelukan.
“Bener,
ini Yati. Saya ndak mengira nak Sarjito ini putranya Mbak Wid lho! Oalaaah …..
seneng aku kalau bisa besanan sama Mbak Wid!”
“Ibu!”
Titi mencubit perut ibunya.
Akhirnya
dua orang itu saling berangkulan lama. Mata keduanya tampak basah oleh air mata
yang tak tertahan. Ayah Sarjito, Sarjito dan Titi hanya bisa saling pandang dan
menghela nafas dalam.
“Ibu malah
sudah saling kenal?” tanya Sarjito ketika keduanya sudah saling melepas
pelukan.
“Kamu
yang salah dengar To, ini Bu Yati, Suharyati, bukan Suhartini.” kata ibu Sarjito sambil menyeka
air mata yang meleleh di bawah matanya.
“Ooooo…..
“
“Mbak
Wid, Mas Agus sudah lama meninggal, ketika Titi masih SD.”
“Ooochhh…..”
“Ya …. Mas Agus meninggal waktu dinas di luar
Jawa.”
“Ooooocchhh….”
“Emmm
maaf ibu Suhar ….” Sarjito menyela, “ …. waktu itu ibu mengatakan ayah De Titi namanya Pak Suharyono, bukan
Pak Agus, mana yang benar?”
“Benar,
namanya memang Agus Suharyono. Kayanya memang Allah menjodohkan Suharyati
dengan Suharyono.”
“Oooo….
baru ngeh sekarang! Tapi ibu bukan
Suhartini?”
“Suhartini
siapa? Saya Suharyati.”
“Nah
kalau nama Agus, Pak Agus, yang banyak punya cerita itu ibumu …. “ kata ibu
Suhar sambil menunjuk ke ibu Sarjito. Yang ditunjuk merah mukanya.
“Cerita
apa?”
“Tanya
ke ibumu …. banyak cerita lucu tentang Pak Agus. Banyaaaakk…… banget!”
“Bener
Bu?”
“De
Yati … sudah ….. sudah nggak ada apa-apa. Ayo …. santai dulu saja, saya ambil
minum dulu ya …..” kata ibu Sarjito bergegas berdiri.
“Aaah
Mbak Wid, minum gampang. Biar minumnya enak, kita cerita dulu yang enak ….. nuwun sewu ayahnya Nak Sarjito, engg Pak
Supomo nggih?”
“Iya….
Iya ….. silakan Bu.”
“Dulu
itu ….. “
“De
Yati jangaaannn …..”
“Dulu
itu Mbak Wid adalah sahabat saya, tapi sebenarnya dulu kekasih Pak Agus. Dulu
kekasih suami saya … heheheee….. ”
Rupanya
ibu Suharyati sudah tak terbendung keinginanya untuk menceritakan sejarah yang
telah lewat. Titi, Sarjito dan ayah Sarjito kaget. Semuanya memandang
Widyantari, ibu Sarjito, yang tertunduk dalam. Terlebih ayah Sarjito yang
beberapa saat sebelumnya dicemburui istrinya. Sama sekali tak mengira bahwa
posisinya justru terbalik, ayah Titi malahan bekas kekasih istrinya.
Di
tengah ketegangan ketiga orang tua, Sarjito mengajak Titi keluar ruangan menuju
teras.
“De, masalah ibuku dulu kekasih ayah De Titi , jadi
penghalang apa enggak?” tanya Sarjito.
“Nggak tahu, terserah Mas Jito.”
“Cinta
orang tua kita menurun ke anak-anaknya .... aku nggak menyangka.”
“Iya
Mas ... seandainya ayah masih ada ....”
“Biarlah,
itu catatan orang tua kita. Insya Allah cinta ibuku kepada menantunya
kelak sangat besar .... karena
menantunya adalah anak dari pemuda yang dulu dicintai.”
“Mas...”
“De
Titi .... tresnaku kaya bakal sangsaya
jero, kanggo nerusake crita katresnane ramamu lan ibuku.”
“Nggih Mas, Titi ngertos.”
“De Titi ...”
“Sasi Dzulhijjah ya? Telung sasi engkas!”
“Punapa Mas?”
“Resmi dadi ibune calon anak-anakku.... “
Gadis
itu diam mengatubkan bibirnya. Air mata tampak mengembang di pelupuk matanya.
Sarjito menatap dengan senyum. Gadis itu membalikkan badan membelakangi
Sarjito, kemudian tampak menyeka air matanya.
Sarjito
mendekat di belakangnya.
“Wangusulana De Titi ...., dadi ibune
anak-anakku ya?”
“Ngg.. ... nggih Insya Allah ....”
Titi
menjawab pelan sambil mengangguk. Sarjito tampak bahagia sekali. Ia tersenyum
sendiri di belakang Titi. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa ada tiga pasang
mata orang tua mereka sejak tadi telah berdiri di belakangnya. Mereka bertiga
telah sepakat untuk merestui hubungan Titi dan Sarjito.
“Aamiiiiinnn!”
kata ketiga orang tua mereka.
Titi
dan Sarjito kaget. Mereka menoleh. Muka mereka memerah menahan malu. Namun
keduanya tertawa bahagia.***
Keterangan kata Bahasa Jawa:
1)
Ngeh
= paham
2)
Nuwun
sewu = maaf
3) “De Titi .... tresnaku
kaya bakal sangsaya jero, kanggo nerusake crita katresnane ramamu lan ibuku.” =
“De Titi... cintaku tampaknya bakal semakin dalam untuk melanjutkan kisah cinta
antara ayahmu dan ibuku.”
4) “Nggih Mas, Titi
ngertos.” = “Ya Mas, Titi paham.”
5) “Sasi
Dzulhijjah ya? Telung sasi engkas!” = “Bulan Dzulhijjah ya? Tiga bulan lagi!”
6) “Punapa
Mas?” = “Apa Mas?”
7) “Resmi
dadi ibune calon anak-anakku.... “= “Resmi menjadi ibunya calon anak-anakku.”
8) “Wangusulana De
Titi ... dadi ibune anak-anakku ya?”= “Jawablah De Titi ... menjadi ibunya
anak-anakku.”
9) “Ngg..
... nggih Insya Allah ....” = “Ngg ... iya, Insya Allah....”
=62134=