Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Kamis, 09 Juli 2015

Humor :



ANAK KOK DIJUMLAH


Kadang-kadang keluguan orang mengalahkan kepintaran orang yang terpelajar.  Kadang-kadang kepolosan orang dikatakan kampungan, padahal mereka adalah orang yang benar.
Pak Sabar sebagai orang yang lugu dan polos, suatu kali didatangi petugas evaluasi bantuan keluarga miskin untuk ditanya beberapa hal :
Petugas

:
Pak Sabar, apakah tidak mengajukan surat miskin untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah?
Pak Sabar
:
Tidak
Petugas

:
Apakah bapak tidak iri dengan tetangga bapak yang menerima bantuan?
Pak Sabar
:
Tidak
Petugas


Apakah bapak tidak melakukan protes ke pak lurah atas hal ini?
Pak Sabar
:
Tidak
Petugas

:
Bapak ini bagaimana sih! Tidak mengajukan surat miskin, tidak iri, tidak protes, tetapi tadi sebelum ini bapak menggerutu.
Pak Sabar
:
Ya terang saja saya menggerutu, saya mengajukan surat miskin tidak digubris, saya iri, dan protes saya sepertinya tidak ada gunanya.
Petugas

:
Pantas saja Pak Sabar digituin sama Pak Lurah, habisnya ngomongnya nggak jelas sih!
Pak Sabar
:
Apanya yang nggak jelas? Bapak saja yang kurang cerdas!
Petugas

:
Apa? Kok malah menghina saya!
Pak Sabar
:
Tadi bapak tanya apa ke saya?
Petugas

:
Tidak mengajukan surat miskin?
Pak Sabar
:
Jawaban saya apa?
Petugas

:
Tidak.
Pak Sabar
:
Lah kalau tidak mengajukan surat miskin” saya jawab tidak, tidak, dijawab tidak. Apa artinya?
Petugas

:
Artinya mengajukan.
Pak Sabar
:
Lalu tidak iri dengan tetangga bapak” saya jawab tidak” , artinya apa?
Petugas

:
Iri, dong! Berarti Pak Sabar protes juga dong.
Pak Sabar
:
Yaiyalaah ……

Petugas evaluasi baru menyadari bahwa jawaban Pak Sabar tidak salah, bahkan ia merasa malu dalam hati kalah dengan orang seperti Pak Sabar. Tetapi sebagai petugas ia melanjutkan tugasnya untuk mendata.
Petugas
:
Pak Sabar …… mohon data berikutnya, berapa jumlah anak Bapak.
Pak Sabar
:
Jumlah?
Petugas
:
Iya jumlah, misalnya 3 , 4 atau yang lain.
Pak Sabar
:
Wah nggak ngerti, saya nggak paham dengan pertanyaan Bapak!
Petugas
:
Tinggal dijumlah saja kok!
Pak Sabar
:
Saya kok heran dengan bapak sih, anak kok dijumlah…..
Petugas
:
Apa susahnya sih Pak?
Pak Sabar
:
Susah dong! Memangnya anak bisa dijumlah, sebab sepengetahuan saya YANG BISA DIJUMLAH ITU BILANGAN, bukan orang!

Untuk yang kedua kalinya petugas evaluasi itu kaget dan merasa benar-benar bodoh di hadapan Pak Sabar. Benar, Pak Sabar benar, piker petugas itu. ***

Edukasi : NYONTEK ITU DOSA BESAR



Dosa itu urusan agama. Yang berhak berbicara bagusnya adalah guru agama, agama apapun. Biasanya pernyataan dosa atau tidak dosa dasarnya adalah dogma. Agama tidak boleh ditelusuri secara logika, karena nanti pasti akan menjadi bahan perdebatan yang sangat panjang.
Nyontek itu urusan ujian. Pelakunya adalah siswa atau peserta ujian. Jika siswa pelakunya, maka itu merupakan sebuah bentuk kenakalan siswa, kenakalan anak atau apa saja yang setara dengan itu. Jika pelaku nyontek itu orang dewasa, maka itu merupakan kenakalan orang dewasa. Kenakalan anak-anak bisa dimaafkan. Seharusnya orang dewasa yang memaafkan kenakalan anak-anak, jadi semestinya tidak boleh ikutan anak-anak yang nyontek. Itu logikanya. Sebab kalau

Cerpen : KUJANG SAMBOJA


Jantung Samboja berdetak keras. Jalan menuju desa kelahirannya telah di depan mata. Angkutan pedesaan yang ditumpanginya berhenti untuk menurunkannya. Setelah angkutan pedesaan melanjutkan perjalanan, laki-laki tua itu sendirian di ujung desa Tretes, desa kelahirannya. Mata tuanya tiba-tiba terasa panas, tanpa sadar ia menyeka dengan punggung tangannya. Beberapa jenak kemudian ia memandang jauh di seberang persawahan , mulutnya terkatub. Dari jauh sebatas mata memandang, Tretes tampak tak berubah. Laki-laki itu kini benar-benar menangis. Lutut tuanya tak sanggup menahan rasa harubiru di dadanya. Tubuhnya jongkok, lututnya bertelekan tanah.
“Tretes….. !” Samboja bergumam menyebut nama desanya. Air matanya semakin deras.
Tiga puluh tahun silam laki-laki itu meninggalkan desanya. Tepat sekarang seperti janjinya terhadap dirinya sendiri, ia akan datang lagi. Benar-benar Tuhan mengabulkan keinginannya dengan diberinya umur panjang.
Di desa itu Samboja sebenarnya sudah tak punya siapa-siapa. Sanak saudara tak ada. Dialah orang terakhir dari keluarganya yang meninggalkan Tretes setelah rumah warisan orang tuanya dijual untuk bekal merantau ke kota. Kedatangannya ke Tretes hanya satu tujuan, ingin memberikan kujang perak bergagang kayu pinang kepada Lentik
“Tapi ….. apakah kujang itu masih ada?” pertanyaan itulah yang muncul dalam hatinya.
Samboja ingat benar ketika benda itu ia kubur bersamaan waktunya dengan pemakaman Narada, suami Lentik. Tiga puluh tahun lalu baginya seterang bayangan kemarin sore. Saat-saat hatinya menjadi remuk redam dengan dinikahkannya Lentik dengan laki-laki teman sepermainannya waktu kecil.
Lentik bukanlah nama sesungguhnya. Nama gadis itu Lestari. Nama Lentik adalah panggilan sayang Samboja pada gadis itu, sebab bulu mata Lestari memang lentik indah .
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Lentik menyadarkan Samboja.
“Aaa… anu…. kagum saja, pada bulu matamu.” Samboja tergagap.
“Kan tiap hari Akang melihatnya.”
“Justru itulah aku sedang bingung, kenapa aku tak pernah jemu melihat bulu matamu yang indah. Kau tampak begitu mempesona… anggun…. hmhhhh….. bikin gemas……”
“Huh! Rayuan gombal!” kata Lentik namun tak urung tawanya pecah juga sambil mencubit lengan Samboja. Dada Samboja berdetak kencang.
“Yaaaa… memang aku rasanya hanya bisa merayu. Untuk mengharapkanmu lebih jauh rasanya sulit, ayahmu tidak setuju, buktinya kalau melihat aku mukanya gelap. Tak enak dilihat. Jadinya aku segan, bahkan takut.”
“Sebenarnya itu kan alasanmu untuk menjauh dariku ya Kang?”
“Ooo tidak, tidak…. tidak. Aku benar-benar takut pada ayahmu. Aku tahu diri, aku minder pada ayahmu. Ayahmu orang kaya. Aku hanya seorang pedagang barang souvenir, batu akik, cincin, replika senjata tradisionil, gelang akar bahar….. “
“Yaaa.. aku tahu, sebenarnya yang dibenci ayahku itu bukang Akang, tapi ya barang-barang jualanmu itu Kang. Barang-barang jualan Akang itu berbau mistis, klenik, berbau-bau aliran hitam, dan sejenisnya.”
“Ya menurut aku itu biasa saja. Aku ambil barang-barang itu dengan cara biasa, bukan dari bertapa tetugurpati geni atau sejenisnya. Aku beli barang-barang itu dari pasar batu akik Jatinegara. Apa itu berbau mistis? Paling juga itu alasan ayahmu yang memang tidak suka padaku atau mungkin pada keluargaku. Atau karena di sini sebatang kara, tak ada sanak keluarga, tak ada yang membuat kebanggaan keluarga besarmu. Iya kan?”

“Hmh…. tak tahu lah Kang. Tapi Akang serius suka sama aku kan?”
“Ya serius.”
Kalau serius, lamar aku Kang! Bagaimana jawaban ayah nanti saja urusan belakang. Aku tidak ingin pacaran … malu Kang.”
“Lah kita ini sekarang di pinggir kali berduaan. Pacaran bukan?”
“Ya iyalah, mungkin ini yang namanya pacaran. Ya kebersamaan seperti inilah yang membuat aku malu. Ini desa Kang, bukan kota ……
“Kenapa harus malu, aku tidak pernah ngapa-ngapain kamu. Lentik adalah gadis terhormat yang harus aku jaga. Aku tahu diri, walaupun aku tidak pandai, tapi aku mengerti agama.”
“Syukurlah kalau Akang mengaku mengerti agama.”
Beberapa jenak keduanya diam. Semilir angin sepoi-sepoi membelai persawahan desa Tretes sore itu. Hawa sejuk begitu meresap ke hati Samboja. Kehadiran Lentik dalam hidupnya membawa rasa bahagia. Ia membayangkan betapa bahagianya jika bisa hidup berumah tangga dengan gadis itu. Punya anak-anak yang lucu, menggarap sawah di desa. Makan di dangau berdua, sementara anak-