Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Senin, 21 Oktober 2019

Memeriahkan Hari Santri - 22 Oktober 2019


Cerpen:

Pulang sekolah Adi Kartiko menuju rumah gurunya, Samekto.
Anak laki-laki SMP itu langsung ke beranda belakang. Bukan beranda sebenarnya, itu hanya semacam sanggar seni. Atap rumbia. Di bawahnya ada meja kayu mahoni yang dibuat sendiri oleh Samekto. Di meja masih berserakan bahan kerajinan tanah liat. Ada patung kecil manusia yang baru separo dikerjakan. Adi, demikian Adi Kartiko biasa disebut,  menatap patung yang belum selesai. Benda itu kemudian diambilnya.  Anak itu tersenyum.
“Makan dulu Di!” dari belakang anak itu ada yang memerintah. Anak itu menoleh.
“Siap Pak! Menunya apa Pak?” kata anak itu sambil meletakkan patung.
“Kucur daun lontop, bumbu brekasak asem manis!” kata Samekto sekenanya.
Makan bersama muridnya telah menjadi kebiasaan sejak anak itu kelas 1. Guru yang hanya hidup bersama istri tanpa anak itu telah menganggap Adi Kartiko, yang akrab dipanggil Adi, menjadi  teman. Sejak menetap di desa Kalikuning awal diangkat jadi guru, sepertinya laki-laki itu menemukan tempat bermain waktu kecil. Mirip sebuah desa kecil di kaki gunung Slamet. Dan entah mengapa, Adi seperti menjadi teman kecilnya, sama seperti ketika anak-anak dulu.
“Seperti saranku minggu lalu, setelah lulus SMP ini, kamu lanjutkan ke pesantren.” kata Samekto  sambil mencolek bumbu pedas.
“Nggak mau! Aku ingin jadi dokter!”
“Sudah terlalu banyak dokter Di.”
“Tentara!”
“Negara ini aman Di. Nanti kalau ada pergolakan, bisa saja kamu masuk wajib militer. Nanti kamu berjuang demi negaramu! Ngerti nggak?”
“Enggak!”
“Ah kamu ini! Jangan brengkunung to!”
“Ya sudah jadi guru saja!”
“Jangan jadi guru! Nanti kaya Bapak ini, nggak punya apa-apa.”
“Jadi guru enak, seperti Pak Guru. Pagi-pagi memberi makan ayam. Pukul delapan ke sekolah, jalan kaki, sepatu ditinggal di sekolah. Di sekolah bermain dengan anak-anak, membuat kerajinan, menanam tanaman, dongeng ..... cerita-cerita lucu, enak Pak jadi guru.”
Samekto tersenyum getir mendengar penuturan muridnya yang polos. Namun ada rasa kebanggan pula melihat kepolosan murid yang satu ini. Murid yang tak pernah mengerti bagaimana perjuangan dirinya untuk mempertahankan hidup bertugas di daerah yang jarang disentuh oleh kebijakan pemerintah, sekalipun pemerintah daerah.
SMP yang ada hanyalah sebuah SMP filial, dengan murid yang hanya sedikit.  Adi tak tahu jika dirinya adalah guru honorer. Dan memang tak pernah tahu. Di mata murid-murid, Samekto adalah guru. Bahkan mungkin guru terbaik di mata murid-muridnya. Mungkin mereka membandingkan beberapa guru yang tinggalnya di kota jarang datang ke sekolah terpencil itu.
Kadang ia ingat kota Semarang yang pernah disinggahi dalam hidupnya. Betapa banyak sahabatnya dulu di IKIP yang memberinya banyak motivasi, memberi inspirasi, namun sekarang telah putus kontak. Dulu ia kenal dengan banyak tokoh yang energik terutama dalam dunia seni dan kepenulisan, baik yang di IKIP maupun di Semarang umumnya.
Ada Aslam Kusatyo, Murywanto Broto, Joko Sunarto, Untung Surendro, Mahmud “Entong” Hidayat, Ali Ridlo, Ponco Widodo, Timur SS, Barat Pajar, Triyanto,  dan masih banyak lainnya. Betapa ia ingat Aslam Kussatyo, ketua Teater SS IKIP Semarang, teman berbentak-bentakan. Sekarang entah dimana. Selentingan kabar, Aslam membuka sanggar di daerah Kendal dan ia menjadi Begawannya.
Broto sahabatnya juga, selentingan menjadi dosen di Semarang. Mahmud “Entong” Hidayat, boss perpustakaan kos-kosan, di mana? Mungkin kembali ke Kudus. Joko Sunarto, yang ia kenal dengan prinsip “Biar kuliah di IKIP tetapi nggak akan jadi guru”, dulu bahkan pernah KKN bareng di Wonosobo. Menurut kabar, ahli desain batik itu kini menjadi salah satu tim motor desain artistik di koran terbesar Jateng. Lainnya Samekto tak banyak tahu. Ia tak banyak mengakses kabar teman-temannya. Apa boleh buat. Ia tinggal di daerah blank tanpa signal. Lagi pula baginya, untuk apa membuang kuota dengan percuma tak ada keuntungan secara ekonomis. Tak mungkin pula ia berbisnis lewat internet. Sebuah keinginan yang pernah terlintas di benaknya, tetapi langsung hilang ditelan sebuah kesadaran. Sadar diri. Guru di daerah terpencil, yang ada hanya alam dan manusia-manusia polos.
“Pak Guru... kenapa melamun?” tanya Adi mengingatkan dirinya sambil menggoyang-goyangkan pahanya.
“Oh enggaak... enggak... ngggg.. Adi ... kalau ayahmu ingin kamu jadi apa?” tanya Samekto setelah bebarapa saat tadi terdiam.
“Kata ayah, terserah Pak Guru.”
“Nhaaaa..... ya sudah, kamu nanti ke pesantren.”
“Jadi apa?”
“Jadi orang! Hahaaa!”
“Aaah sekarang juga sudah jadi orang... tidak pantas aku jadi santri.”
“Kenapa?”
“Namaku tidak islami. Masa nama santri kok Adi Kartiko! Apalagi kalau aku misalnya