Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Jumat, 03 Juni 2016

Ojo Adigang, Adigung, Aduguno

Tulisan ini salinan dari kompasiana :
http://www.kompasiana.com/didik_sedyadi/ojo-adigang-adigung-adiguno_574ebd5bd07a615007611dc7
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Kalimat di atas sebenarnya adalah bahasa Jawa lisan. Sumber bahasa tulisannya adalah Aja Adigang, Adigung, Adiguna, tidak menggunakan huruf “o” tetapi “a”.
Kalimat tersebut merupakan petuah dari leluhur kepada anak keturunannya. Sebuah petuah (yang umumnya) baik bagi generasi berikutnya. Karena kearifan orang tua adalah berfikir apa yang terbaik bagi keturunannya. Hanya orang-orang yang telah sesatlah yang berfikir agar keturunannya menjadi orang jahat secara terprogram.
Dalam kamus Bahasa Jawa “Bausastra Jawa-Indonesia” susunan S.Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa:
1.       Adigang : Membanggakan kekuatannya
2.       Adigung : Membanggakan kebesarannya
3.       Adiguna : Membanggakan kepandaiannya
Kata “Aja” berarti jangan. Rangkaian kata petuah menjadi semakin dalam ketika kita mau merenungkannya.
Aja Adigang , jangan membanggakan kekuatan
Kekuatan bisa berbentuk kekuatan fisik, bisa berbentuk kekuatan secara bersama-sama, atau koalisi. Kekuatan fisik pada jaman dimunculkannya petuah ini ketika jaman kerajaan jaman dulu. Hukum rimba menentukan siapa yang punya fisik yang kuat, dialah yang akan menjadi pemenang, menduduki jabatan tertentu di kerajaan. Siapa yang punya persatuan besar, maka ia yang akan menjadi pemenang.
Kekuatan fisik di jaman sekarang tampaknya bukanlah sesuatu yang populer. Tapi mungkin pula di kantong-kantong masyarakat tertentu masih ada segelintir orang yang mengandalkan kekuatan fisik. Gambaran mudahnya misalnya preman, dan geliat premanismenya.
Kekuatan koalisi lebih kepada arti yang abstrak. Model nyatanya semacam koalisi rakyat yang turun ke jalan di jaman gegeran 1998. Jika demikian maka secara perhitungan angka akan memperoleh hasil yang diinginkan. Jika model turun ke jalan hanya dikerjakan oleh perwakilan, ya tentu tan akan menghasilkan apa-apa.
Jangan membanggakan kekuatan. Energi “membanggakan” bagi sebagian orang justru akan menjadi energi negatif. Orang-orang tua jaman dulu telah belajar, telah merenung dan menyimpulkan dari berbagai macam kasus pembanggaan terhadap kekuatan ini justru menjadi sebuah kontraproduktif.
Aja Adigung, jangan membanggakan kebesaran
Kebesaran memiliki berbagai macam jenis. Terutama sekali kebesaran seseorang dengan indikator jabatan. Jabatan bisa dalam lingkup pemerintahan, maupun non pemerintahan. Kebesaran ini melekat dalam diri pemimpin, yang mempunyai bawahan. Presiden, gubernur, bupati, camat, lurah / kepala desa, ketua RT, kepala bagian, kepala seksi, boss, mandor dan sejenisnya.
Jika tidak didasari niat baik, maka dalam diri mereka ada perasaan bangga (dan sombong) terhadap apa yang telah mereka capai. Kesombongan (umumnya) akan menghilangkan kewaspadaan terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab mereka. Jika kewaspadaan hilang, maka konsekueunsi minus yang seharusnya tidak terjadi, malah akan datang.
Sayangnya sudah menjadi semacam kebiasaan (dan mungkin budaya) bagi mereka yang mempunyai kebesaran. Melihat orang lain menjadi kecil. Bahkan dalam taraf yang lebih mengembang, kadang-kadang anak dan istrinya ikut-ikutan membanggakan kebesaran ayah dan suaminya. Dalam satu contoh kecil ada ucapan : “Awas, jangan main-main, dia anak pejabat”.
Jangan membanggakan kebesaran. Kebesaran itu nisbi. Kebesaran itu hanya sementara. Dibatasi waktu. Betapa hidup ini bagi sebagian orang akan menjadi semacam neraka dini, bagi yang mengalami “post power syndrome”. Sekarang disanjung (walaupun sebagian semu), suatu saat akan ditinggalkan.
Aja Adiguna, jangan membanggakan kepandaian
Tolok ukur kepandaian sebenarnya tidaklah tunggal. Orang yang sukses dalam bisnis, ia dianggap pandai dalam terapan bisnis. Belum tentu itu diperoleh oleh orang-orang yang punya gelar sarjana dalam ilmu ekonomi. Tetapi masyarakat saat ini masih tetap melihat kepandaian seseorang dari apa yang diterakan dalam rapor, nilai rapor, transkrip nilai dan sejenisnya.
Gelar akademik demikian pula, orang akan jeri ketika melihat gelar seseorang demikian mentereng. Jika kompetensi asli seperti apa yang tertera dalam ijazah, memang itu yang diharapkan. Kompetensi yang dimiliki diamalkan untuk kemaslahatan orang banyak, itu memang yang seharusnya.
Membanggakan kepandaian, menurut petuah tersebut, tidaklah perlu. Kepandaian seseorang tak harus dibanggakan dan diomongkan. Biarlah orang lain yang menilai. Yang memiliki ilmu tinggi, luas dan dalam (mana yang benar ini?) akan lebih bermakna jika ia mendapatkan pujian orang lain karena manfaatnya, tanpa terdengar oleh dirinya.
Anda tidak setuju? Seharusnya memang demikian. Ini adalah sekedar tafsiran. Saat ini, hampir seluruh warga negara ini memiliki keberanian untuk menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan sesuatu. Dan ini sangat potensial untuk dijadikan ajang diskusi.
Jangan bangga dengan kekuatan. Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Jangan bangga dengan kebesaran. Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Jangan bangga dengan kepandaian. Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Yang penting, bangga tidak menggiring kita menjadi sombong. Tetapi bangga untuk bersyukur. ***

Majalengka, 01 Juni 2016