Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Selasa, 10 April 2018

Cerpen : Kerikil-kerikil Jabal Rahmah


Pagi pukul 06.30.
Revita menyeberangi jalan di depan gerbang sekolah. Bersama-sama dengan yang lain, gadis itu merasakan sebuah kekuatan korps putih abu-abu. Sebuah korps yang telah dijalani hampir dua tahun. Sejak kelas X hingga sekarang kelas XI hampir kenaikan kelas, ia merasakan bersama teman-temannya memiliki sebuah sinergi yang sangat menyenangkan. Bersama-sama dengan teman anggota kelompok belajar begitu pula, ada kerjasama dalam kegembiraan. Bukan perkara sukses membahas sesuatu atau menemui jalan buntu, tetapi proses bersama itulah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Ketika melewati gerbang dalam tengah, kelompok anak-anak mulai terpecah. Anak-anak kelas X ke arah barat, kelas XI lurus kemudian ke arah timur, sementara anak-anak kelas XII ke arah timur langsung. Berjalan sendiri ada rasa yang beda. Apalagi arah timur, seminggu lagi kakak-kakak kelasnya telah tertakdir menjadi limited edition. Even USBN telah menanti, disusul Try Out UNBK dan UNBK itu sendiri.
Sebelum mengarahkan langkahnya ke sebelah timur aula sekolah, Revita menoleh ke arah timur. Jantungnya berdetak lebih dibanding beberapa sekon tadi.
Itu yang tadi malam chat sama aku .....gumam gadis itu demi melihat anak laki-laki kelas XII bernama Azis. Kakak kelasnya itu
ssedang melintas jalan aspal menuju kantin. Mungkin ia belum sarapan. Dalam hati kecil ia ingin mengirim WA dengan pertanyaan sederhana "Aa belum sarapan ya?".
Namun ia berfikir itu terlalu lancang. Tak baik buat aku .... kata gadis itu dalam hati. Padahal jika dirancang-rancang, ini adalah sebuah kesempatan baik. Sebuah pertanyaan sederhana yang akan bermakna sangat besar. Pertanyaan yang mengandung sebuah perhatian.

Perpustakaan. Pukul 10.07.
Revita berlari sendirian, Ia bermaksud untuk meminjam buku Biologi Peminatan sebab buku miliknya ketinggalan. Perpustakaan seperti biasanya tidak terlalu ramai. Jargon-jargon tentang literasi tampaknya belum menjadi jiwa para siswa. Mereka lebih banyak asyik dengan android di genggamannya.

Usai dengan keperluannya, ia menuju ke deretan buku-buku motivasi dan agama.
Di saat-saat luang memang ia lebih suka membaca buku-buku sebagai salah satu sumber belajar tentang hidup dan kehidupan. Satu kalimat motivasi bagi dirinya lebih berharga dibanding sebuah informasi. Sungguh, memang secara tek sengaja ia pernah mengunjungi akun IG gurunya www.instagram.com/didik.sedyadi/, ia menemukan sebuah kalimat "Kemanapun kaki melangkah, harapkanlah di situ ada hikmah ."  Sebuah pesan sederhana, tetapi ia telah mencobanya untuk menjadi sebuah acara rutin meresapi apa yang ia jalankan sehari-hari.

Gerakan jemari gadis itu menyusuri judul buku-buku. Mencari secara cepat dari judul yang terpampang. Jari Revita berhenti di salah satu judul buku. Buku itu ia ambil, ia baca judulnya. Perlahan buku itu ia dekap beberapa saat. Sesaat kemudian ia baca lagi.
"Vitaaa....." ada suara mengagetkan di selelah kanannya.
"Yah?" kata gadis itu seraya menoleh.
Mendadak jarinya bergetar demi melihat siapa yang bertanya di dekatnya. Azis.
"Vita?" tanya Azis mengulangi.
Bruk!
Buku yang dipegang gadis itu jatuh. Suara buku jatuh itu cukup jelas terdengar berisik di perpustakaan yang cukup sepi.
"Oh maaf-maaf ..." Revita kaget, dengan terburu-buru ia mengambil buku yang jatuh.
"Buku apa Vit?"
"Iniiii!" secara tak sadar ia menunjukkan cover buku di depan mukanya sambil melindungi rona wajahnya yang memerah karena malu.
“Masya Allaaah Viiit ...."
"Kenapa?"
"Judulnya dalem banget ..... "
"Kenapa?"
"Vita lagi jatuh cinta ya?"
"Emm ...enggg...enggaak .... cumaaaa..."
"Cuma apa?"
"Mau berpisah ...." kata Revita sambil berbalik badan. Azis kaget.
"Vita tunggu!" kata Azis kemudian.
"Ya?" tak urung gadis itu menghentikan langkahnya. Perlahan ia menoleh.
"Vita..."
"Ya?"
"Hari ini nggak shalat dhuha ya?"
"Astaghfirullaah .... ini karena jam ke lima wajib bawa buku biologi, jadi tadi buru-buru ke sini."
"Oooo...."
"Aa juga nggak shalat dhuha ya?"
"Mungkin imanku tipis."
"Jangan katakan itu..."
"Kapan kita shalat dhuha bareng Vit? Rasanya sebentar lagi Aa harus merelakan SMA ini. Minggu depan USBN, TUC, terus UNBK. Waktunya hanya tinggal hitungan sekian kali dua puluh empat jam!"
Gadis itu diam.
Azis adalah anak laki-laki yang baru dikenalnya sejak menjelang UAS semester kemarin. Masih dalam hitungan beberapa bulan. Ia juga tidak mengerti mengapa harus mengenal Azis ketika kakak kelasnya itu sebentar lagi lulus. Ada perasaan menyesal kenapa tidak sejak dulu. Ada beberapa sifat, kondisi dan kebiasaan kakak kelasnya itu yang menarik perhatian. Shalat dhuha rutin.
Kadang Revita suka ingin tertawa sendiri.
Pernah suatu ketika usai shalat dhuha, ia keluar kemudian menalikan tali sepatu. Tak disangka, tak jauh darinya, Azis juga baru saja keluar masjid, juga sedang menalikan sepatu. Ia ingin mendahului bertanya, tetapi malu. Mengharap ditanya terlebih dulu, juga kadang ia berfikir, memangnya aku siapa? Sempat sekilas pandangannya bertemu, namun hanya seperepta sekon. Setelah itu masing-masing pulang ke kelas tanpa terdapat sesuatu yang bersejarah seperti angan-angannya.
Tetapi harapan-harapan kadang muncul ketiha suatu akhirnya menjadi kenal. Aneh. Kenal-kenal hambar. Kenal-kenal malu, walau akhirnya pernah sekali ia menerima chat.Namun ketika bertemu di halaman sekolah, atau di kantin, tetap saja seperti orang yang tidak kenal.
"Aa aku duluan ya, hampir masuk!"
"Vita belum menjawab pertanyaan saya."
"Yang mana?"
"Kapan kita shalat dhuha bareng?"
"Kan nggak boleh dhuha berjamaah ...." kata Revita mengingatkan.
"Hehe...."
"Tapi kalau mau jadi imam, nanti sore pas 'Ashar  pulang sekolah... eh....emmm... maaf, maaaf...." kalimat itu begitu saja terluncur dari bibir Revita tanpa disadari. Rona wajah gadis itu tampak memerah.
"Aku jadi imam Revita? Alhamdulillaaah...."
"Och ..... maaaaf ...."
Gadis itu bergegas keluar perpustakaan setelah memberi salam. Sementara itu Azis masih mematung. Mengatubkan bibir, kemudian menggeleng. Anak laki-laki itu tersenyum. Ia ingat judul buku yang baru saja dipinjam Revita, "Ya Allah, Izinkan Dia Untukku!"
Jangan-jangan "dia"-nya adalah aku..... gumam Azis sambil tersenyum beranjak meninggalkan perpustakaan.



Jam dinding berdentang satu kali.
Sunyi. Revita melipat kertas kecil yang sejak seminggu lalu selalu menemani shalat lail. Ada perasaan terenyuhsetiap kali ia menyebut padang Arafah, Muzdalifah dan  Jamarat. Ibu muda itu telah beberapa kali mecoba meresapi malam dengan kesendirian. Namun selalu gagal. Selalu saja ada suara berdeham dari mushola kecil di sisi utara rumah.
"Kapan aku bisa tahajud sendirian Pah? Ketika aku bangun, terpekur, selalu saja Papah juga bangun. Shalat. Juga terpekur." tanya Revita kepada suaminya, Azis.
"Tahajud sendirian? Tentu jika aku tak ada di rumah. Aku juga bertanya yang sama."
"Aku ingin menangis. Tapi aku khawatir Papah akan berdiri di belakangku untuk meyakinkan bahwa aku tak apa-apa."
"Malam kita akhir-akhir ini seperti tak menjadi malam lagi."
"Ehem...."
"Kita akan merasakannya minggu depan. Bersimpuh di depan Ka'bah, tak ada lagi arti malam karena kita merasakan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk tidak tahajud di baitullah."
"Dejavu ...." kata Revita hampir tak terdengar.
"Jika hati kita bahagia, rasanya kita seperti telah mengenal kebahagiaan itu. Ya, dejavu, semua seperti pernah ditunjukkan oleh Allah bahwa kita pernah mengalami."
Revita menoleh memandang mata suaminya. Ia tersenyum sedikit. Azis tersenyum pula.
"Sudah shalat berapa rakaat?"
"Delapan. Witir juga sudah. Cukup laah. Tinggal nunggu shubuh, kalau kuat. Kalau nggak kuat, ya tidur lagi dulu. Ntar menjelang shubuh bangun lagi."
"Mhhh... Mah, boleh aku sentuh alismu sedikit saja?'
"Kenapa harus minta ijin?"
"Nanti abdasnya batal."
"Nggak apa-apa. Batal satu, aku dapat pahala berlipat."
Revita perlahan memejamkan mata ketika jari suaminya menyaput alisnya perlahan. Ia merasakan kebahagiaan yang dalam.
Bagaimana tidak?
Hidup bersama Azis hingga dikaruniai anak yang hampir masuk SMP ia merasakan sangat cepat. Rasanya baru kemarin-kemarin ia mengenal Azis. Rasanya baru beberapa jam lewat ia merasakan sensasi ketika dulu di SMA sering bertemu ketika istirahat shalat dhuha di masjid sekolah.
Kadang ia juga merasa sebal. Bagaimana jika shalat dhuha yang dulu ia lakukan tak ada catatatn kebaikan bernilai ibadah. Sebab sebagai manusia biasa, kadang sesekali ada sebersit rasa ingin dipuji orang lain. Jangan-jangan dulu ia rajin shalat dhuha karena ada motivasi lain.
"Jodoh adalah hakekat, sedangkan jika syariatnya aku harus sering ketemu saat shalat dhuha, ya bagaimana lagi?" begitulah dia pernah menulis kalimat itu di buku harian. " ..... mungkin akan lebih tidak bagus  jika berjodoh, jodoh adalah hakikat dari Allah, tapi jika syariatnya harus karena sering bertemu di arena dugem? Iiih na'udzubillahi min dzalika" ingat itu kadang ia tersenyum sendiri.
"Kenapa senyum sendiri?" kata suaminya menyadarkan.
"Hehee..... gank dhuha."
"Nyindir?"
"Nggak, itu syariat Pah. Insya Allah sebentar lagi kita akan dhuha bersama di Baitullah, Nabawi, Quba, Qiblatain, Tan'im, Nabawi, Jironah, Hudabiyyah, Arofah, Mina ..... Ini seperti mimpi ....." kata Revita sambil membenankam wajahnya di dada suaminya. Ia menangis.
Hari-hari menjelang keberangkatan haji semakin dekat. Ibu muda itu merasakan hari-harinya semakin membahagiakan.
"Isti, anak kita Pah? Bagaimana jika terjadi apa-apa sepeninggal perjalanan kita?"
"Apa kuasa kita? Alaa bidzikrillahi that-mainul-quluub!  Tenangkan hati kita, demi janji Allah dalam Quran."
"Astaghfirullaaah .... iya Pah."
"Kita adalah makhluk Allah, anak kita makhluk Allah yang dititipkan kepada kita. Isti, anak kita, Insya Allah selalu dalam lindungan-Nya."
"Iya Pah."
"Satu lagi yang harus kita mohonkan kepada Allah .... yakni mohon agar dilindungi keikhlasan ibadah kita."
"Iyah ...."
"Satu lagi nanti perjalanan haji kita adalah perjalanan kita, aku dan kamu. Perjalanan kita berdua. Ijinkan Papah memanggil Mamah dengan nama kecil, Revita. Nama yang mengenalkan Aa pada kebahagiaan hanya dengan menyebut nama."
"Aa Azis .... nama motivatorku, kakak kelasku yang aku kagumi."
"Revita ...."
"Aa ..."

***

Pesawat Saudi Arabian Airlines telah take-off.
Bandara Internasional Abdul Halim Kertajati telah ditinggalkan. Ada rasa denyutan ke dada ketika pesawat mulai menanjak. Revita yang duduk dekat jendela melihat ke luar. Area persawahan lambat laun mulai tak tampak. Pesawat mulai meninggi. Hamparan bumi maya. Biru kehijau-hijauan. Perempuan itu sama sekali tak percaya bahwa ia kini ada di langit sekira sepuluh ribu kaki di atas tanah.

Seluruh  penumpang jamaah haji Majalengka diam. Semua dengan doa. Semua dengan harapan. Selamat. Mabrur. Menembus langit milik-Nya hanya ada satu jalur, tak ada yang lain. Satu tujuan, sepuluh jam waktu di depan menembus langit adalah alat. Tujuan hanya satu, menapakkan kaki di tanah Saudi. Bandara King Abdul Aziz Jeddah.
"Aa sssttt lihat, .... Masya Allaaah ... lihat pramugarinya itu ..." bisik Revita kepada suaminya.
"Kenapa?"
"Cantik bangeeet..... gadis Arab."
"Tuh yang berdiri di depan sekat kabin juga, pramugara...." kini suaminya menunjuk ke arah pramugara.
"Masya Allaaah ganteng banget. Putih .... hidungnya mancung .... pemuda Arab ya."
"Nikmati makhluk Allah itu, tapi sekali saja pandang dengan rasa hati kaya tadi ..... nggak boleh dilanjut."
"Astaghfirullaaaah .... refleks Aa...."
"Vita itu ya ... dari sejak SMA suka nggak bisa menyembunyikan perasaan .... tapi itu yang Aa suka, jadi nggak ada yang Revita sembunyiin di hati ...."

***

Bakal menjalani perjalanan sepuluh jam di langit sangatlah membuat takjub.
Revita membayangkan mulai belajar di sekolah pukul 07.00 hingga pukul 17.00 seperti saat SMA dulu. Tetapi ini di langit dengan kecepatan rata-rata 900 km/jam. Dan lebih takjub lagi, ia sama sekali tak merasakan gerakan apa-apa. Semua seperti duduk di ruangan di rumah. Dari tadi matanya melihat permukaan air yang ada di gelas di tablesetdi depannya. Air di gelas tenang. Diam tak bergoyang. Padahal ini dalam kecepatan luar biasa.
"Masya Allaaah ......" ia mendapatkan sebuah hikmah dari kebesaran Allah.
Attention! Perhatian!
Suara pramugari terdengar melalui pengeras suara mengabarkan bahwa pesawat segera melintas di atas Yalamlam. Yalamlam berjarak sekitar 125 kilometer dari Kota Makkah, Arab Saudi, dan merupakan lokasi miqat bagi jamaah haji asal Indonesia, juga negara-negara lain di sebelah timur Makkah.
Beberapa calon jamaah haji mulai mengantri di depan toilet pesawat untuk bersuci dan berihram. Sementara Azis dan Revita berniat melakukan miqat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Laki-laki menengok ke arah istrinya. Yang ditengok tengah memandangi dirinya.
"Kita segera sampai di Jeddah ...."
"Je... Jeddah?" tanya Revita terbata.
"Iya sayang. Jeddah."
"Vita tidak sedang bermimpi kan A?"
"Tidak Vita, Vita sedang mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan untuk kesempurnaan ibadah, rukun Islam kita."
"Masya Allaaah .....  Alhamdulillah ya Allah ya Rabbi..."
"Teguhkan niat kita berhaji Vit. Bersihkan pikiran kita segala sesuatu selain berhaji ...."
"Isti anak kita ?"
"Dulu aku sudah bilang, percayakan kepada Allah, pemeliharaan anak kita hanya Allah yang wajib kita mintai tolong melalui orang tua kita. Insya Allah. Tenangkan hati Vita, fokus pada ibadah .... Beberapa saat lagi dalam kurun empat puluh hari haromain akan berbaur dengan kita .... "
Di penghujung pagi, para jamaah haji menginjakkan kaki di atas tanah Saudi Arabia.
Revita dan Azis bersujud begitu turun dari tangga pesawat.
Begitu pula yang lain. Isak tangis sebab rasa haru menjadi begitu kentara. Sesuatu yang dulu hanya menjadi mimpi, kini telah dialami dan dirasakan. Menjelang shubuh antrian begtu panjang di bagian pemeriksaan dokumen imigrasi. Hingga saat-saat adzan terdengar.
"Kita shalat di mana Aa?"
"Ssst ini darurat. Kita masih punya abdas. Shalat saja di sini ..."
Akhirnya jamaah yang masih mengantre di pemeriksaaan dokumen banyak yang keluar dari antrean. Mereka mendirikan shalat sekelompok-sekelompok. Barangkali bagi mereka ini merupakan pengalaman pertama, shalat di sekitar lalu lalang orang-orang.
Satu jam setelah shalat shubuh dan pemeriksaan dokumen di kantor imigrasi, semua jamaah bersiap dari Jeddah. Semua siap dalam pakaian ihram. Niat umroh. Diringi talbiyah yang tak terputus, menuju ke satu titik yang menjadi pusat peribadatan umat Islam. Ka'bah yang agung. Di Makkah Al Mukaromah.
Memasuki gerbang kota Makkah, hati Revita serasa teraduk-aduk. Makkah ..... gumamnya. Sepuluh menit berikutnya ia telah berada di antara ribuan orang yang menuju ke arah Masjidil Harom. Ibu muda itu terus menggandeng lengan suaminya.
Lima ratus langkah berikutnya keduanya sampai di depan pintu utama King Abdul Aziz Gate. Keduanya melafalkan doa dan penghormatan " .... Allahumma anta-salam wa minka-salam, wa ilaika ya'udussalam... wa hayyina robbana bi-salam ... wa adhilnal jannata daros-salam ... tabarokta robbana wata'alaita yadzaljalaali wal ikrom. Allahummaf-tahli abwaba rohmatika , bismillahi wal hamdu lillaahi wash-sholatu was-salaamu 'ala rosuulillah.
Keduanya melepas sandal. Kemudian menapakkan telapak kaki di lantai masjidil harom. Dada Revita berdetak keras. Beberapa langkah kemudian ia mulai melihat kain penutup Ka'bah dari kejauhan, Semakin dekat, dan semakin dekat.
Allahu Akbar. Alhamdulillah...... Masya Allah!
Tak henti-henti ia mengucap syukur. Ka'bah yang agung, yang selama ini hanya menjadi bayangan ketika shalat, kini ada di depan matanya dalam jarak beberapa meter. Ia menangis. Begitu pula anggota regu yang lain pun tak kuasa untuk menahan air mata haru.
Satu dua kali thowaf umroh ia lalui, hingga akhir.
Azis  mengarahkan jalannya yang cukup padat mengarah di belakang maqom Ibrahim. Keduanya mengambil shalat dua raka'at. Di depannya tampak sudut hajar aswad dan pintu Ka'bah. Multazam. Itu bukan mimpi. Tempat mustajabah doa. Usai menjalankan shalat, kedua bersama rombongan di belakang pemandu langsung menuju ke bukit Shofa dan Marwa untuk melakukan Sa'i. Hingga akhirnya proses umroh diakhiri proses tahalul di atas bukit Marwa.
Alhamdullah ...... keduanya mengucap syukur.
Prosesi umroh di awal musim haji telah dilampaui. Usai sa'i di lantai dua, keduanya ingin kembali ke sekitar Ka'bah. Mereka diberi waktu dua jam untuk kembali ke bis rombongan di terminal.
"Aa .... Apa yang ada di depanku A?" tanya Revita dengan mata sembab.
"Ka'bah..."
"Aa..."
"Cubit aku!"
"Kenapa?"
"Cubit aku yang keras ...."
"Iya tapi kenapa?"
"Untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi Aa, ini bukan mimpi kan?"
"Bukan ... ini bukan mimpi. Dulu kita telah merajut keinginan ini sejak lama, sejak kita menjadi halal. Bahkan aku sejak SMP telah berdoa untuk bisa diridloi Allah berziarah ke sini ...."
Hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan. Tak ada kebahagiaan yang pernah keduanya rasakan kecuali saai ini, Bersimpuh di depan Ka'bah, lurus dengan multazam.
Setiap detik keduanya lewati dengan doa. Doa untuk semuanya.
***

Kota Ka'kiyah. Suatu pagi.
Dari kloter Majalengka hanya sekitar tiga pasang yang memilih haji ifrad. Sisanya mengambil haji tamatu', haji yang paling nyaman. Mendahulukan yang sunah sebelum haji. Konsekuensi harus menyembelih dam atau denda berupa menyembelih kambing atau binatang ternak lain. Di kota kecil Ka'kiyah inilah jamaah yang mengambil haji tamatu' melaksanakan kewajiban menyembelih dam.
"Dari sini ke mana Aa?"  tanya Revita usai mengikuti acara penyembelihan hewan dam.
"Tempat yang indah..."
"Jabal Rahmah?"

"Benar. Bukit rahmah, bukit kasih sayang, tempat bertemunya Nabi Adam dan ibu Hawa."
"Oooo...... kita ke sana?"
"Ya sebentar lagi ...."
Dari pemandu perjalanan penyembelihan dan wisata para jamaah diberi informasi tentang berbagai tempat yang menarik di sekitar padang Arafah, tempat untuk awal untuk prosesi haji. Di wilayah bagian timur Arafah inilah Jabal Rahmah berada.
Lima belas menit perjalanan, sampailah rombongan di sisi timur padang Arafah. Jabal Rahmah. Gunung kasih sayang. Banyak sekali para haji berziarah ke tempat ini. Biarpun tak ada tuntunan tentang sunah berziarah, atau bahkan mewajibkan ke bukit itu, namun jamaah haji dari seluruh pelosok dunia tak akan melewatkan.
Revita menatap gunung itu tanpa kedip. Demikian pula Azis. Laki-laki itu mendesah usai beberapa saat melihat ke arah yang sama.
"Aa ingin mendaki ke puncak?" tanya Revita seraya melepas kaca mata hitamnya. Tapi kemudian dipakainya lagi. Sinar matahari yang terik membuatnya terasa sangat silau.
"Kita di sini saja. Ini juga wilayah Jabal Rahmah." kata Azis mengajak isitrinya mendekati sebuah gundukan batu . Keduanya duduk di balik batu, menghindari panas yang menyengat. Jarak ke gunung itu sekira seratus meter lagi di depannya.
"Ada mitos Aa ..... rasanya aku ingin menuliskan nama kita di atas sana."
"Mitos apa?"
"Kelanggengan cinta."
"Apalagi ada kata mitos. Ini aneh."
"Aku salah A?"
"Kita tak boleh menyebut mitos. Tempat ini memang mengandung sejarah, tetapi tak mengandung mitos. Dalam ajaran agama kita tak ada mitos. Kelangengan cinta ada di keikhlasan yang selalu dipadu dengan harapan memiliki cinta dan saling cinta yang diridhoi."
"Mmmh..."
"Apa yang membuat Vita berkata begitu?"
"Aku iri dengan mereka yang berjalan mendaki berdua, menyusuri, menapaki, keterjalan Jabal Rahmah. Mesra.... Mereka akan tuliskan nama mereka di atas bebatuan."
"Kenapa iri?"
"Mumpung di sini Aa, kita jauh-jauh dari tanah air ke sini, jarak tinggal seratus meteran."
"Tapi keyakinan tentang mitos itu, apakah mampu Vita hilangkan dalam sekejap ini?"
"Nggak tahu. tapi aku telah memimpikannya cukup lama."
"Baiklah .... Jika itu yang Vita mau. Tapi ingat, jika dalam hati Vita masih sebersit keyakinan tentang mitos, berarti itu bidah. Rasulullah tak pernah mengajarkan yang sunah semacam itu ...."
Agak lama Revita terdiam. Rupanya kepercayaan tentang aura Jabal Rahmah masih melingkupi isi pikirannya, bahkan mungkin hatinya. Azis membiarkan isitrinya diam untuk memilih dan memutuskan.
"Hmhh..... " Revita mendesah. Ibu muda itu mengeluarkan kantung plastik dari tas pinggangnya.
"Untuk apa plastik itu?" 
"Aku akan ambil beberapa kerikil. Untuk kenangan dari sini."
"Mau dibawa pulang ke tanah air?"
"Iyah..."
"Vita...."
"Hanya tujuh butir ..... " kata Revita seraya mulai memasukkan kerikil.
"Vita ...." kata Azis sambil memegang tangan istrinya yang telah menggenggam kerikil.
"Kenapa."
"Taruh lagi sayang ...."
"Untuk kenangan kita."
"Kita tak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Kita harus minta ijin kepada pemerintah kerajaan Arab Saudi ...."
"Benarkah?"
"Bercanda hehe...."
"Aaah Aa mah gituuu!" kata Revita seraya mencubit lengan suaminya.
"Naaah seperti inilah .... mesra. Mencubit suami. Tak harus menorehkan nama di Jabal Rahmah. Tak harus pulang menyelundupkan kerikil atau tanah dari sini. Apalagi jika niatnya untuk kekuatran, azimat dan sebagainya ......"
"Iya ... iya ..... ini aku kembalikan."
"Naaahhh gitu istri cantikku ....."
"Iiih...."
"Tanpa aura Jabal Rahmah pun Azis akan selalu mencintai Vita kecilku ... adik kelasku .... Tak perlu kerikil Jabal Rahmah. Gantungkan keinginan hanya kepada Allah, yang memiliki Jabal Rahmah, yang memiliki haromain, yang memiliki seluruh permukaan bumi dan langit .... "
Mendengar kata Vita kecilku  rona wajah ibu muda itu memerah. Senyumnya tertahan.
Dua jam telah lewat. Semua telah siap di bis untuk kembali pulang menuju penginapan di Makkah. Di dekat jendela Revita memandang Jabal Rahmah dengan bibir terkatub. Tangannya diangkat, kemudian ia lambaikan ketika perlahan bis mulai bergerak meinggalkan wilayah Arafah.
"Nanti prosesi ibadah haji kami akan ke sini lagi, Arafah ....." gumam Revita. Azis melihat air mata istrinya mengembang, kemudian turun menyusuri pipi.
"Insya Allah. Arafah, Muzdalifah, Mina, Jamarat sebentar lagi ...."
"Iya Aa...."
"Mana kerikil Jabal Rahmahnya sayang? Katanya mau dibawa pulang."
"Nggak. Sudah aku ikhlaskan."
"Kenapa?"
"Ada yang jauh lebih indah dan mengagumkan dibanding kerikil Jabal Rahmah."
"Apa itu?"
"Suamiku ....."
"Ooooh..... Alhamdulillah ...... " bisik Azis hampir tidak kedengaran.
"Suamiku yang akan aku bawa pulang ke tanah air ...."
"Heheee....."
"Suami yang shalih, yang aku harapkan tetap menjadi imamku. Yang bisa selalu mengingatkan kesalahan-kesalahan langkahku ... kesalahan pemahamanku ..... juga... juga ...."
"Juga apa sayang?"
"Juga ... juga yang akan bisa menjadi syariat, membimbing tanganku bersama-sama ke surgaaa...."
Speechless. Kali ini Azis tersekat tenggorokannya demi mendengar bisikan Revita.
"Insya Allah .... Kita saling mengingatkan untuk kebaikan dan peningkatan mutu keihlasan ibadah kita Vita ..... aamiin.... aamiin... ya rabbal'alamiin."
Padang Arafah yang panas. Suhu 47 derajat Celcius.
Azis dan Revita saling menemukan oasis yang memberikan kesejukan dalam hati masing-masing.

***

  Revitaaaa.....!
Ada suara lembut di sebelahnya. Gadis itu tergagap. Ia kaget. Mukena masih ia pakai. Ia menoleh. Icha, sahabatnya.
"Vita, ayooo..... lima menit lagi bel masuk jam ke-5."
"Astaghfirulaaaah ..... kita sudah sampai di Jabal Rahmah Cha?"
"Vita! Vitaaa .... Ini Majalengka, ini sekolah kita. Smansa! Kamu terlalau banyak merenung."
"Aku terlalu dalam berobsesi ya."
"Asal positif nggak apa-apa..."
Buru-buru gadis kelas XI itu membereskan mukena. Keluar dari masjid keduanya memakai sepatu. Revita mendengar ada notifikasi WA masuk. Ia membukanya.
Aa Azis.... gumamnya.
"Vita, hari ini aku tahu Vita shalat dhuha. Dua hari lagi aku mau menempuh UNBK... doakan aku lulus dengan nilai yang memuaskan ya...."
"Insya Allah doa vita untuk Aa ...."
"Terima kasih adik kecilku .... Seperti yang pernah Vita pesankan dulu, Vita hanya akan menjawab chat yang penting-penting saja..."
"Iya, harus begitu Aa."
"Sayangnya, setiap chat dengan Vita, bagi Aa adalah penting. Apapun isinya. Terima kasih atas bantuannya mempersiapkan bahan-bahan rangkuman untuk USBN kemarin."
"Aa, biasa saja A Azis."
"Vita, ijinkan aku menulis nama lengkapmu ya?"
"Kenapa harus minta ijin?"
"Revita Nur Istiqomah Muslim."
"Iiih ... gitu amat."
"Aku boleh meminta sesuatu?"
"Asal bisa aku penuhi, boleh."
"Nanti hari terakhir UNBK, Vita aku tunggu shalat 'Ashar berjamaah berdua. Sungguh!"
"Aa?"
"Ya Vita ya?"
Bibir Vita bergetar.
Ia sama sekali tak menyangka jika Azis akan memintanya mengajak shalat bareng. Dirinya menjadi makmum, Azis menjadi imam. Aaah..... gadis itu mendesah dalam. HP-nya didekapkan ke dadanya. Ia tampak bahagia sekali. Ia teringat ketika di perpustakaan beberapa waktu lalu, buku yang judulnya telah dibaca pula oleh Azis. "Ya Allah, Izinkan Dia Untukku!" ***
                                                                                                      Majalengka, 08 April 2018

                           * Request Revita Nur Istiqomah M
                               Kelas XI MIPA 7  SMAN 1 Majalengka
                                                  Tahun Pelajaran 2017/2018

Dialihkan dari kompasiana.com dengan link :