12. Ibu Tak Kenal
Pak Layang?
Sepanjang maghrib hingga saat shalat
‘Isya , Zaniar dan ibunya berada di surau yang tak berapa jauh dari rumahnya.
Usai shalat maghrib dan shalat sunah Zaniar menggeser duduknya bercampur dengan
anak-anak perempuan yang telah siap diajari membaca huruf hijaiyah. Sama sekali
tak satupun teman di sekolahnya mengetahui jika kebiasaan Zaniar adalah mengajari
anak-anak kecil untuk bisa membaca Al Quran. Sementara itu Winarti, ibunya,
melakukan tadarus bersama-sama ibu-ibu lain. Di bagian depan anak-anak
laki-laki belajar hafalan surat-surat juzz ‘amma dibimbing oleh imam surau.
Anak-anak belajar dengan waktu terbatas.
Usai maghrib hingga shalat ‘Isya. Tetapi bagi anak-anak pelajaran di waktu yang
singkat sangat bermakna. Buktinya surat-surat pendek banyak yang sudah hafal,
kini bahkan ada yang sudah lancar membaca Al Quran. Kadang dalam mengajari
Zaniar suka menyelipkan canda. Jika sebelum ‘Isya yang belajar sudah dapat
giliran semua, gadis itu menyempatkan mendongeng, kadang dongeng umum, kadang
tentang kisah nabi dan para sahabat. Anak-anak sangat senang dengan
dongeng-dongeng yang Zaniar sampaikan.
Usai shalat ‘Isya Zaniar dan ibunya
tidak langsung pulang. Keduanya duduk dengan salah satu ibu hingga sekitar
setengah jam. Setelah itu barulah ketiganya beranjak meninggalkan surau.
Berjalan beberapa saat, keduanya sampai di gang yang menuju rumahnya. Namun
keduanya kaget ketika melihat di tempat tadi sore ada sepeda motor diparkir.
“Bukankah itu motor Ustadz Hong Zan?” tanya
ibunya berbisik.
“Benar. Itu orangnya …. tuh, di depan
rumah Wak Jamin…sedang ngobrol…”
“Tidak tahulah Bu….”
Rupanya Ustadz Hong merasa ada yang
datang. Laki-laki itu membalikkan badan. Wajahnya ceria melihat Zaniar dan
ibunya sudah pulang. Ustadz Hong berpamitan ke orang yang ngobrol bersama di
situ. Sejenak kemudia laki-laki itu bergegas ke rumah Zaniar.
Assalaamu’alaikum! Sapanya. Zanar dan
ibunyapun segera menjawab salam.
“Maaf, maaaaaf sekali! Saya harus
kembali ke sini.” kata Ustadz Hong merasa bersalah.
“Oooo tidak apa-apa. Silakan masuk
Ustadz….”
“Emmm tidak, sudah malam. Tidak enak
dengan tetangga. Lihat, mereka masih ada di teras rumah, mereka melihat kita.”
“Ooo lalu ada apa ya?”
“HP saya ketinggalan di meja Bu. Maaf
sekali….”
“Ooooo HP? Zan, ambilkan HP pak Ustadz.”
“Ya Bu…” kata Zaniar bergegas menuju
rumah. Beberapa saat kemudian Zaniar keluar lagi sambil membawa HP yang
dimaksud.
“Ini HP-nya Ustadz….” kata Zaniar
sambil mengulurkan tangan.
“Iya, terima kasih….”
Ketika HP itu diserahkan ke Ustadz Hong,
tidak sengaja jemari Zaniar menyentuh telapak tangan Ustadz Hong. Bulu kuduk
Zaniar merinding. Ia merasakan getaran aneh dalam waktu yang sangat singkat.
Zaniarpun sebenarnya melihat sekilas sinar mata Ustadz Hong juga aneh.
“Maaf Niar ….. Niar habis mengajar
mengaji anak-anak ya?” tanya Ustadz Hong menyelidik.
“Ustadz tahu dari mana?”
“Dari bapak-bapak yang tadi ngobrol
itu….”
“Ooooo Wak Jamin.”
“Iya, Pak Jamin. Memangnya berapa banyak
yang mengajari ngaji anak-anak?”
“Yaah, untuk anak-anak perempuan saya
sendirian. Itupun kalau waktu tidak bentrok dengan kepulangan saya. Sabtu
minggu jelas tidak, saya ke Babusslam. Kalau anak laki-laki Pak Kyai, imam
surau itu. Jadi hanya berdua saja.”
“Yang lain pada ke mana?”
“Sulit jaman sekarang mencari relawan.
Kebanyakan dari anak-anak yang besar tidak melihat tanggung jawab itu. Mereka
lebih asyik main facebook dan twiter …. sistem
pamong seperti di pesantren tidak ada. Padahal yang tua mengajari yang muda itu
indah sekali Ustadz.”
“Oooo… ya sudah. Saya dukung kamu
sepenuhnya. Lanjutkan kebiasaanmu, mudah-mudahan dapat berkah.”
“Amiiin.”
“Oh ya ntar ngobrolnya kita sambung di
Babussalam ya…”
“Emmm….. iya
Ustadz.”
Pukul setengah sembilan malam Ustadz
Ahmad Hong pulang. Keduanya perempuan
itu saling pandang, kemudian keduanya mengelengkan kepala. Sejenak kemudian
keduanya masuk rumah. Pintu dikunci. Tak ada keperluan apa-apa lagi dengan luar
rumah.
“Kamu makan dulu Zan.” kata ibunya
setelah menyimpan mukena.
“Ibu juga.”
“Iya. Kita makan bersama.”
“Makan besar ya Bu ….”
“Iya, merayakan kedatangan Ustad Hong ke
sini hihihi…..”
“Ih ibu apaan sih?”
“Begini Zan, ibu tadi curiga ke Ustadz
itu.” kata Winarti sambil mengambil nasi.
“Curiga? Curiga bagaimana?” Tanya Zaniar
seraya menerima piring dari ibunya.
“Itu tadi cuma taktik. Taktiknya Pak
Ustad, taktiknya laki-laki ….”
“Apaan sih, Niar tidak mengerti ah!”
“HP-nya sengaja ditinggal, biar bisa
mbalik lagi.”
“Maksudnya? Kenapa HP-nya ditinggal?”
“Ya ampun anak ibuuuuu……, tidak mengerti
juga?”
“Memang tidak mengerti Bu.”
“Kalau tidak paham ya sudahlah , nanti
kamu juga tahu sendiri. Sekarang makan. Ayo makan yang banyak.”
“Nggak ah! Takut gemuk.”
“Iiiiiiih kamu, yang namanya gemuk itu
juga karunia Allah Zan. Jangan diejek semacam itu, nggak boleh.”
“Bukan begitu Bu, nanti kalau aku gemuk,
bagaimana gerakanku kalau ikut pertandingan silat. Bisa-bisa harus naik kelas
di pertandingan nanti. Nggak mau Bu.”
Usai makan malam kedua anak beranak itu
mencuci piring kotor. Keduanya selalu bercakap-cakap tentang apa saja. Tentang
pengalaman tadi siang, atau tentang hal-hal baru Zaniar dapatkan di sekolah
diceritakan kepada ibunya.
Sekitar jam sembilan
malam Zaniar belajar sedikit. Besok pelajaran seni budaya, olah raga dan
matematika. Komposisi pelajaran seperti itu bagi Zaniar termasuk ringan. Seni
budaya hampir tidak ada masalah, olah raga apalagi. Matematika dia jagoan di
sekolahnya. Usai mempersiapkan beberapa
barang kecil, Zaniar mengambil si Bunga, buku
catatan kecil tentang hal-hal yang menurutnya besar:
……hari
ini banyak masalah. Memang hari-hariku selalu saja ada masalah. Tongki – Deden,
Aku malah akhirnya tahu kalau Pak Bimo teman Ustadz Hong.
……
malam ini ada yang aneh. Ketika tidak sengaja jariku menyentuh tangan Ustad,
hatiku menjadi berdebar-debar. Terus terang perasaan seperti ini tidak pernah
aku rasakan sebelumnya. Bahkan pada Pak Nanto yang saya rasakan selalu
memberikan perhatian lebih. Apalagi Asep, yang terus terang menyatakan cinta
beberapa waktu yang lalu, sama sekali tak ada yang membekas.
…………..
huuuuuuuhhhh! Tak tahulah!
Aaaaah,
aku baru ingat tadi pagi di sekolah Pak Layang marah-marah. Kenapa ya?Kenapa
tadi Pak Layang ingin memberikan HP untuk ibu? Dan tadi sore juga Ustadz Hong
juga ingin memberiku HP. Kenapa ya?
……………………………………………………..
uh! Astaghfirullahal’adziiiiim!!!!
Zaniar berbaring terlentang. Matanya
memandang langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu. Pikirannya menerawang,
loncat ke sana, loncat ke sini. Ia sangat ingin pikirannya menemukan sesuatu
yang membahagiakan, yang membuatnya bisa tenang ketika banyak masalah yang
datang. Gadis meletakkan buku kecil
kesayangannya di atas dadanya. Matanya perlahan terpejam. Hingga beberapa menit
kemudian, ibunya melongok ke kamarnya , Zaniar sudah tertidur. Perempuan itu
mengambil buku kecil yang terletak di atas dada anaknya, kemudian meletakan di
atas meja kecil di samping dipan.
Setelah itu perempuan setengah baya itu
melangkah perlahan.
“Ibuuu…..” tiba-tiba
terdengar suara pelan. Winarti berhenti, kemudian menoleh.
“Haaai…. belum tidur rupanya?”
“Belum Bu, sulit tidur.” Kata Zaniar
sambil bangun dari rebahan, kemudian duduk. Ibunya mendekat, kemudian duduk di
sampingnya.
“Kenapa? Ada masalah lagi?” Tanya ibunya
seraya menyibak rambut yang menutupi dahi anaknya.
“Hmh….tak tahulah Bu, sepertinya memang
banyak masalah yang harus Niar hadapi.”
“Masalah apa lagi sih? Zan, bukan ibu
tidak mau dengar ceritamu, tetapi sekarang bagusnya istirahat dulu. Kita bisa
bicarakan besok.”
“Besok?”
“Iya besok. Sore, sepulang kamu dari
sekolah.”
“Lama sekali Bu.”
“Aaah lama seberapa? Tidak lama kok.”
“Kalau masalahnya berat, apakah ibu
tidak tertarik jika dibahas sekarang?” tanya
Zaniar memancing.
“Berat?”
“Iya , berat. Bahkan mungkin berat
sekali.”
“Masalah apa sih?” akhirnya
Winarti mengalah juga ke anaknya.
Melihat ibunya terpancing kata-katanya, Zaniar tersenyum. Ibunya
dipeluk.
“Masalah pacar ya?” Ibunya berbisik.
“Iiih… ibu, ngawur saja.” Kata Zaniar
sambil melepaskan pelukannya.
“Masalah Pak Nanto ya?”
“Ah ibu, kenapa ibu selalu mengingatkan
Niar pada Pak Nanto sih….”
“Bagi ibu, masalah Pak Nanto dekat kamu,
itu bagi ibu masalah berat. Kamu murid, dia guru. Hubungan persahabatan guru
dengan murid tidak boleh terlalu jauh.”
“Ibu ngomong apa sih?”
“Masyarakat akan menilai jelek.
Bisa-bisa ini malah megarah ke aib. Aib bagi Pak Nanto sebagai guru, kasihan
beliau. Kehormatannya akan hilang.”
“Iiiih… ibu nggak lucu ah!”
“Siapa bilang lucu? Ini serius.”
“Iya serius. Tapi bukan masalah Pak
Nanto.”
“Wah? Jadi masalah apa rupanya?”
Zaniar terdiam sejenak. Hatinya ragu
untuk mengajukan pertanyaan kepada ibunya. Ada dua hal yang dikhawatirkan,
pertama ibunya marah. Kedua, ibunya bersedih. Ia mencoba melirik ibunya.
Kebetulan ibunya juga sedang mengamati dirinya. Zaniar mendesah.
“Kenapa diam?” Tanya Winarti.
“Benar ibu tidak marah?”
“Kamu pernah melihat ibu marah?” Winarti
gentian bertanya kepada anaknya. Yang ditanya tersenyum.
“Belum pernah.” Jawab Zaniar senang.
“Makanya cerita saja….”
“Tapi mungkin kali ini ibu marah.”
“Seberat apa masalahnya sih? Menyangkut
ibu ya?”
“Yaaa… begitulah.”
“Katakan jangan ragu Zan.”
Zaniar mengangguk. Gadis itu mengambil
Si Bunga di atas meja kecil. Buku kecil tempat Zaniar menumpahkan segala
perasaannya itu dibuka perlahan. Sampai pada catatan terakhir yang belum lama
ditulis, gadis itu menyodorkan kepada ibunya. Wanita setengah baya itu
menerima.
“Ibu pernah membuka buku Niar?” Kata
Zaniar sambil menyerahkan buku.
“Tidak. Biarpun ibu bisa gampang saja
membuka, tetapi ibu tidak berani, dan memang tidak ingin mencampuri urusan anak
ibu ini.”
“Terimakasih Bu, ibu adalah orang yang
baik. Sekarang ibu boleh baca ……”
Wanita setangah baya itu sebenarnya
ingin membaca buku milik anak semata wayangnya sejak lama, namun keinginan
dirinya selalu dapat ditekan. Malam ini anaknya menyodorkan buku itu untuk
dibaca. Ia benar-benar ingin tahu apa saja yang ditulis anaknya. Perlahan
perempuan setengah baya itu membacanya,
…….Aaaaah,
aku baru ingat tadi pagi di sekolah Pak Layang marah-marah. Kenapa ya?Kenapa
tadi Pak Layang ingin memberikan HP untuk ibu?.....
Zaniar mengamati perubahan raut muka
ibunya. Namun hati gadis itu menjadi masygul ketika tak ada perubahan air muka
ibunya. Ibunya menoleh ke arahnya.
“Siapa Pak Layang?”
“Lho? Mestinya Niar yang tanya ke ibu,
siapa Pak Layang itu? Apa hubungannya dengan ibu. Mengapa Pak Layang mengenal
ibu?”
“Oooo …. Pak Layang itu siapa Zan?”
Melihat ekspresi wajah ibunya yang serius, Zaniar heran.
***
(Bersambung)
Catatan :
Novel ini tidak saya lanjutkan untuk sayembara di Fiksiana Community. Ide buntu disebabkan banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan.