Sumber Cerpen : http://fiksiana.kompasiana.com/didik_sedyadi/cerpen-mawar-ini-bukan-untukmu_5754aa8d2023bd0d0db2af4c
=====================================================================
Wike bergegas sambil terus menggenggam lengan April menuju
balandongan tempat peringatan Rojaban
di sekolahnya. Namun apa mau dikata, acara Rojaban
telah dimulai beberapa saat lalu. Kedua gadis itu terlambat. Agak menyesal
juga, tapi keduanya tak mungkin menyalahkan tamu yang datang menemuinya di
lobby sekolah. Wajah April tampak biasa, namun tidak demikian dengan Wike.
“Aku kehilangan momen penting.... “ bisik Wike, yang
biasa pula dipanggil Keke, sambil
memperlihatkan kamera Canon Eos-nya.
“Momen apaan?”
“Ya mulai pembukaan laah, harusnya sejak awal aku
sudah duduk di sini. Dengan optical zoom 60X , aku bakal memilik karya
artistik.”
“Nggak ngerti!” kata April tampak kesal.
“Ya ampun Pril!”
“Judulnya apa si?”
“Qori kaseep ... yang ganteng!” bisik Wike meyakinkan
sahabatnya.
“Oalaaahhhh... Keke! Norak kamu! Ternyata sulit jadi wanita
sholihah ya hihihi....”
“Apaan sih?”
“Ini pengajian Ke, masa kamu malah mikirin cowok!”
“Sambil menyelam minum air.”
“Ah, kamu maah! Modus! Ntar, bubar pengajian kita
cari tuh si qori, mau diajak selfie kek! Mau diajak salto! Hayu baee!”
“Iya... iya ....”
“Lagian panitia juga nyiapin foto, tuuuh bagian
dokumentasi! Ntar minta gambarnya!”
“Waaah... bagus idemu Pril! Aku malah nggak
kepikiran.”
***
Ba’da dzuhur.
Pengajian tadi pagi sudah usai, tetapi balandongan
masih ada. Tikar juga masih tergelar. Banyak anak-anak yang duduk-duduk di
bawah balandongan sambil melakukan aktivitas apa saja. Sementara itu usai
shalat dzuhur, Wike melihat Rafiq, seksi dokumentasi yang tadi pagi
mengabadikan momen kegiatan Rojaban.
Gadis itu mengajak sahabatnya menemui pengurus OSIS itu.
“Fiq, maaf nih sibuk nggak?” tanya Wike ketika telah
berdekatan.
“Sedikit sibuk sih. Ada apa memangnya?” tanya Rafiq
balas bertanya.
“Gini Fiq, si Wike ini mau minta foto kegiatan.” kini
April yang mewakili bicara.
“Yang tadi pagi?”
“Iya, ceritanya mau minta foto pas pembacaan ayat
suci itu.”
“Waduuuh gimana ya?”
“Gimana kenapa? Nggak boleh?”
“Bukan begitu, kameranya tadi dibawa pembina OSIS.
Dibawa Pak Imam, nanti malam ada undangan acara di pendopo. Paling besok siang
kamera itu aku pakai lagi.”
“Ooooo..... ya sudah... tuh Ke, kameranya dibawa Pak
Imam.”
“Yaaa... sudah.... terima kasih.” kata Wike kecewa.
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Rafiq seraya melihat
Wike.
“Engg... titip salam saja buat qori yang tadi ya?”
“Oooooooo..........”
“Bilangin dari Wike, IPA 6.”
“Iya, iya hahaaa! Paham! Pahaaamm....!”
“Sampai-in ya?”
“Iyaaaa.... “
***
Pukul 05.00 pagi.
Wike telah bersiap-siap membenahi segala peralatan
sekolah, ketika tiba-tiba datang SMS. Tangan gadis itu segera melihat SMS dari
siapa.
“Wike, terima kasih
titipan salamnya yang lewat Rafiq. Salam kembali ya ...”
Jemari gadis itu bergetar. Dadanya berdetak kencang.
Qori itu membalas salam? Bayangan Irfandi, si qori ganteng berkelebat. Bibirnya
tersenyum. Ia lihat nomor baru yang masuk: 089622x20xxx . Segera ia save nomor tersebut dengan nama Qori Ganteng.
Sebenarnya
gadis itu mengirim salam itu hanya modal nekad. Memang Wike suka dengan Irfandi,
tetangga kelas sejak X itu. Hanya sebagai anak perempuan tak mungkin ia memulai
untuk menyatakan rasa sukanya. Lagi pula bagaimana mungkin? Melihat Irfandi dari
jauh saja gadis itu sudah gemetar.
Pagi itu diawali dengan rasa bahagia. Wike sudah
menyapu kelas. Ia mendahulukan menyapu teras kelas, dengan harapan Irfandi
lewat. Ia ingin melihat si ganteng itu mengirim salam secara langsung,
mengulang SMS. Dan tadi malam, ia sudah membayangkan akan terjadi dialog antara
dirinya dengan Irfandi. Dialog yang mesra, dialog yang membahagiakan dirinya.
Sesekali gadis itu melihat ke gerbang masuk. Pukul
06.4x dada Wike berdetak cepat. Ia melihat motor Irfandi masuk gerbang langsung
ke tempat parkir. Sebentar lagi tentu akan ada yang lewat. Ia merasa hari itu
seperti berkuasa mengatur jalan hidup manusia, kelebat Irfandi seperti apa yang
diharapkan. Ketika pemuda itu semakin dekat, Wike pura-pura tidak melihat dan
tetap menyapu.
“Wike ..... “ ada suara memanggil. Mendengar itu
tangan gadis itu gemetar.
“Aa...aaa.... apaa... “ ia menoleh. Sapu yang
dipegangnya jatuh.
“Tuuuh sapu jatuh!”
Dialog sesingkat itu. Wike sama sekali tak menyangka
Irfandi berlalu begitu saja. Tak ada kiriman salam balik. Semua yang
direncanakan buyar sudah. Beberapa teman yang lewat masuk kelas seperti tak
dilihatnya. Ia masih tertegun tak percaya apa yang baru saja dialaminya.
“Wike.....”
“Aaahh... apa? Apa?” mendengar ada yang memanggil
Wike targagap.
“Ini sapunya jatuh. Melamun ya?” kata anak laki-laki
yang baru datang seraya mengulurkan sapu. Gadis itu menerimanya.
“Ooooh.... aahhh kamu Noval. Iya, iya terima kasih.”
“Pagi-pagi jangan melamun Ke.”
“Enggaaak, siapa yang melamun.”
“Syukurlah kalau nggak melamun. Btw, terima kasih
salamnya ya Ke....”
“Terima kasih apaan?”
“Ya kiriman salamnya.”
“Salam siapa?”
“Astaghfirullaaah.... ya salam Keke lah! Bukannya
kemarin kamu nitip salam lewat Rafiq?”
“Nitip salam ke Rafiq? Salah kali Val!”
“Nggak laah... tadi pagi juga aku kirim SMS Ke, cuma kamunya
nggak ngebales!”
“Jaa.... jaadi.... kamu yang tadi kirim... ki...kirim
SMS?”
“Iya. Aku dapat nomormu dari Rafiq.”
“Ooooh.....”
“Terima kasih salamnya Ke .... “
“Aaaa ... au kan titip salam ke qori yang kemarin Rojaban.”
“Itu aku yang baca Qur’an Ke.”
“Bukannya Irfandi?”
“Bukan, kan kemarin Irfan kehilangan suaranya. Serak.
Tidak sehat dia....”
Lemas tangan Wike. Sapu yang dipegang jatuh kembali.
Ia sama sekali tak menyangka jika yang tampil adalah qori pengganti. Gadis itu
mengutuki dirinya sendiri, mengapa kemarin sampai terlambat dan tidak bertanya
tentang siapa qorinya.
Hingga beberapa kata dari Noval terlontar, Wike tidak
bereaksi. Gadis itu diam, hingga akhirnya Noval memilih pergi meninggalkan Wike
sendirian.
Ketika April datang, Wike menggandeng tangannya untuk
menepi ke pojok taman depan kelas.
“Gawat Priiilll.... aku harus gimana?” kata Wike
dengan wajah cemas.
“Ada apa to?”
“Kemarin salah kirim salam! Itu yang kemarin tampil
bukan Irfan, tapi Noval! Gawaaat!”
“Astaghfirullaaaaah Kekeee..... kok bisa?”
“Irfannya serak, sakit, jadi qorinya diganti!”
“Hhhhh... ya sudah laah. Ngirim salam kan perbuatan
baik.”
“Iya sih, tapi kalau Noval suka sama aku gimana? Tadi
pagi shubuh dia ngirim aku SMS, katanya terima kasih salamnya. Trus, barusan
ini, dia juga ngomong gituuuu....”
“Nggak usah bingung, kalau dia suka ya sudah habis
perkara! Terima saja yang sudah pasti!”
“Aaaah kamu Priiil, aku nggak suka. Tolong aku Priiil!”
“Kenapa minta tolong sama aku?”
“Nggak tahu, kan Aprilnya supel, mak-comblangin aku
ke Irfan!”
“Ha?! Ntar kalau Irfan suka sama aku bagaimana?”
tanya April menakut-nakuti.
“Jangan Priiill ..... jangaaan!”
“Ya sudah .... coba lihat kubah masjid sekolah kita!
Paham maksudku?”
Beberapa saat Wike menatap kubah masjid sekolah yang
tampak dari kejauhan. Perlahan gadis itu mencerna apa yang dikatakan
sahabatnya. Kubah? Masjid? Sebersit harapan melintas ketika melihat tempat itu.
Ia biasa melakukan shalat dhuha. Di sujud terakhir, ia akan mencoba memulai
menghiasi doanya dengan apa yang ia inginkan.
Memulai dengan keyakinan tampaknya belum bisa
dijalankan. Namun ia mencoba, biarpun masih diawali dengan setengah hati.
“Satu itu tentu butuh setengah Ke, yakin, selalulah
yakin akan peluang bernilai satu!”
“Tapi aku memang masih ragu.”
“Pilihan memang ada dalam dirimu kok! Jika ragu ya
sudah, mending jangan dilanjutkan.”
“Tapi peluang bernilai satu itu?”
“Harus diperjuangkan!”
Nasehat April yang cukup dalam mencoba dicerna Wike.
Gadis itu menggeleng perlahan. Sepagi ini telah datang masalah-masalah rumit.
Tapi ia juga sadar, masalah itu muncul karena dibuat sendiri.
***
Festifal Band antar kelas, Februari tahun ini.
Sejak pagi suasana halaman tengah sekolah hingar
bingar. Parade penampilan perwakilan 33 kelas dalam festival band sangat
meriah. Para pemandu sorak, juga para pendukung kelas langsung berjoged dan
jingkrak-jingkrak ketika band kelasnya tampil.
Wike mendesah. Ia gelisah menunggu penampilan band Jabal-band
XII MIPA 7. Justru bukan bukan wakil kelasnya
XII IPA 6 dengan biduan Taofik. Ya, sosok qori ganteng yang kini bukan lagi Noval,
yang ia tunggu. Irfandi. Urusan suara memang menjadi karunia pemuda itu.
Mengaji oke, qiroah oke, mata pelajaran oke, menyanyi juga oke.
Bagi Wike, Irfandi sosok yang allround, serba bisa. Gadis ini memang suka, tetapi ia sama sekali
tak punya keberanian untuk memberikan sinyal sukanya itu. Sekalinya nekad
mengirim salam, ternyata malah salah orang. Inilah pengalaman yang membuat
dirinya semakin tak berani mengungkapkan apapun. Takut salah. Namun di sisi
lain pikirannya, ia tak ingin hal ini menjadi mitos pelemah usahanya mendekati
Irfandi.
Pagi ini juga, dari rumah ia telah menyiapkan
sekuntum bunga mawar. Ya bunga mawar merah natural yang ia petik dari pot yang
ditanam sendiri. Ia telah siapkan itu untuk diberika kepada Irfan usai tampil
menyanyi di festival.
Mendekati giliran Jabal-band tampil, gadis itu
semakin gelisah. Ia telah menyiapkan bunga. Ia pandangi sejenak bunga itu. Ia
membayangkan, usai penampilan Irfandi ia akan berlari ke bawah panggung, naik
panggung kemudian memberikan bunga kepada Irfandi. Ia membayangkan betapa
gemuruhnya aplaus penonton melihat adegan itu. Ia membayangkan tersenyum bangga
bisa menunjukkan kepada semua orang bahwa ia suka kepada Irfandi.
“Saatnya tampilan
Jabal-band perwakilan MIPA 7 dengan penyanyi Irfandiiiiiiiiiiiii!!!!”
Wike terhenyak ketika mendengar kalimat pembawa
acara. Dada gadis itu berdetak keras. Waktunya semakin dekat. Dada gadis itu
semakin tak teratur detaknya ketika muncul Irfandi memberikan salam kepada
penonton dijawab dengan aplaus dan teriakan histeris gadis-gadis lain.
Lagu pertama usai. Lagu kedua, pilihan, membuat
penonton semakin riuh. Lagunya Camelia dari Irwansyah.
Hati Wike menjadi tak keruan. Mendengar intro lagu
itu, benar-benar jiwanya melayang. Bagaimana tidak? Di laptopnya ia simpan lagu
itu. Tentu tak bakalan demikian jika yang ada di laptop adalah nyanyian
Irwansyah. Ini bukan. Ya, gadis itu menyimpan rekaman lagu Camelia yang
dinyanyikan oleh Irfandi, si qori ganteng itu. Iringannyapun asli iringan gitar
Fandi pula.
Wike tertahan. Sementara yang lain menggerakkan
tangan secara bersama-sama ke atas ke kanan ke kiri mengikuti irama sendi
Camelia, gadis itu tertegun. Bunga mawar yang telah ia siapkan ia sembunyikan di belakang punggungnya.
Pikirannya mendadak kalut. Pergulatan antara berani dan tidak. Ia berfikir
betapa malunya jika tiba-tiba ia naik ke panggung, sementara ia mengenal banyak
juga tidak. Tetapi? Ini adalah momen yang tepat. Ya, momen yang tepat di mana
siapapun tampaknya begitu mudah naik ke panggung dan memberikan bunga kepada idolanya.
Lamunan Wike terlalu lama.
Ia tidak sadar ketika lagu Camelia telah usai ditingkah
suara gemuruh aplaus. Bersamaan dengan itu tampak tiga orang gadis berebutan
naik ke panggung untuk memberikan bunga kepada Irfandi. Ia sakit sekali melihat
tiga gadis itu tampak ceria dengan tawanya, bahkan kemudian berfoto bersama. Ia
cemburu yang amat sangat.
Wike menyesal. Dari tadi ia tidak beranjak merangsek
ke dekat panggung. Jarak terlalu jauh. Namun sebenarnya bukan jarak yang jadi
soal, ini masalah keberanian. Keberanian untuk naik ke panggung memang
tiba-tiba hilang sama sekali. Gadis itu berbalik. Ia bergegas meninggalkan
lapangan pagelaran festival dengan membawa perasaan tidak menentu. Ia ingin
segera jauh-jauh dari arena itu.
***
Selang seminggu setelah kelulusan tanggal 07 Mei
2016.
Anak-anak kelas XII sudah jarang yang datang. Namun
pagi itu Wike dan April sudah duduk berdua di bangku taman depan Graha OSIS.
Keduanya usai melaksanakan shalat dhuha, seperti kebiasaan ketika pembelajaran
masih normal sebelum UN.
“Ke , maaf nih aku ada perlu dulu ya .... mau cari
camilan di kopgur. Tunggu jangan ke mana-mana.” kata April sambil berdiri.
“Jangan lama-lama.”
“Yaaah, nggak lama laah! Paling juga satu jam!
Hihihi.....” kata April sambil beranjak meninggalkan Wike sendirian.
“Satu jam waduuuuhhh! Ngasal kamu Priiil!”
“Serius!” kata April dari kejauhan.
Sepeninggal April, Wike mengeluarkan smartphone.
Perhalan ia mencari sesuatu dari folder kesukaanya. Tak lama kemudian
terdengar alunan lagu. Ia mendesah. Lagu itu ia ikuti sambil tersenyum. Ia
sampai tak sadar jika dari tadi ana seseorang yang telah duduk di bangku batu,
agak ke belakang.
“Lagunya enak sekaliii....... “ ada suara mengagetkan
Wike. Gadis itu menoleh. Mukanya memerah demi melihat siapa yang bersuara.
“Ir... Irfaaannn... kau.. kau?”
“Iya ini aku.”
“Sudah lama?”
“Selama lagu itu kamu putar Ke.”
“Ooo... aa... aanuuu....”
“Kenapa Ke? Lagu itu bagus banget kok!”
“Anu... lagu.... ini.... ini.... “
“Suaranya bagus.”
Beberapa saat Wike mati kutu. Ia sama sekali tak
menyangka kedatangan Irfandi sudah agak lama. Selama lagu Camelia diputar. Dan
itu adalah suara nyanyian dan gitar Irfandi.
“Maaf Irfan ... aku ... “
“Nggak apa-apa, kalau memang kamu suka, simpanlah.”
“Irfaaaan... aku malu. Aku... aku ... , tapi ...
tapi... “
“Nggak apa-apa kok. Siapa yang nyanyi Ke?”
“Nggg... Irfan.”
“Hmmhhh..... baguslah .... aku nggak nyangka punya
fans kaya kamu. Segitunya sampai menyimpan laguku dalam HP-mu.”
“Mmm... maaf Irfan, aku mau ketemu April dulu ya!”
kata Wike yang sudah sangat gerah menghadapi Irfandi.
“Duduklah Ke.... kenapa? Ayo sini, duduk.”
“Iya... iya.” kata Wike seraya kembali duduk.
“Tadi aku ketemu April di gerbang sekolah.”
“Lah? Katanya mau cari camilan di kantin.”
“Sudah dapat sih, katanya mau dibawa pulang. Tapi
April titip pesan ke aku, katanya ia pulang duluan.”
“Astaghfirullaaah.... Apriiilll.....” Wike mendesah
sambil geleng-geleng kepala.
“Sudahlah Ke, kan ada aku. Ngobrol sebentar ya? Mau
nglanjutin yang tadi.”
“Yang mana?”
“Itu Keke dapat lagu dari mana?”
“Maaf ya Fan, aku... aku.... dapat lagu itu dari ....
dari....”
“Dari April ya?”
“Iya sih.”
“Hmh.... ya sudahlah, memang dulu pas ada acara apa
aku sempat titip file pada April.”
“Kalau nggak boleh aku dengarin lagi, biar aku hapus
ya Fan.”
“Eh jangan.... biar sajalaaah, jelek-jelek juga!”
“Emh jelek apaan, bagus kok Fan, buktinya aku
suka....”
Entah dapat keberanian dari mana tiba-tiba Wike
mengucapkan kalimat itu. Dia sendiri sampai terhenyak kaget atas apa yang ia
ucapkan. Ia rasakan mukanya panas. Seperempat sekon ia mencoba melirik ke arah
Irfan, ternyata yang dilirik tersenyum. Gadis itu semakin salah tingkah.
Beberapa saat Irfandi membiarkan Wike sibuk dengan
perasaannya. Setelah beberapa saat keduanya hening, Irfandi mendeham.
“Ehem ..Ke...”
“Ya.”
“Keke masih ingat kapan di sekolah kita ada festival
band?”
“Ngg.... iya sudah lama, jauh sebelum kita lulus sih.
Kalau nggak salah bulan Maret.”
“Februari Ke.”
“Ah iya Februari... iya... bener, Februari. Kamu yang
ikut tampil pasti ingat laah.”
“Menurut Keke, acaranya meriah nggak?”
“Meriah laaah.... kenangan terakhir melihat
teman-teman pada lepas berjoged dan jingkrak-jingkrak.”
“Kamu ikut jingkrak-jingkrak nggak?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Nggak suka.”
“Kenapa?”
“Aneh kalau aku jingkrak-jingkrak kayaknya.”
“Malu ya?”
“Iya, malu.”
“Keke masih ingat ingat lagu yang dibawakan Taofik,
wakil dari kelasmu itu?” tanya Irfandi dengan serius. Tapak wajah Wike tegang.
Ia sama sekali lupa apa lagu yang dibawakan teman sekelasnya itu.
“Aduuuh ... lupa. Emm apa ya?”
“Ya sudahlah... lupa nggak apa-apa. Tapiiiii... emmm,
Keke nonton pas aku tampil nggak?”
“Iii.. iya, nonton, nontoon.”
“Masih ingat lagunya?”
“Camelia.”
“Alhamdulillaaaah... kamu masih ingat laguku Ke,
terima kasih.”
“Apa sih? Lah memang masih ingat kok!”
Kali ini Irfandi diam. Pemuda itu manggut-mangut
sambil tersenyum. Wike penasaran .
“Ke...”
“Apa Fan.”
“Aku mau nagih janji niatmu.” kata Irfandi sambil
tersenyum.
“Janji apa? Kapan aku pernah berjanji kepadamu?”
“Ingat-ingatlah laah Ke.”
“Mmmm..... apaaan ya? Ntar... aku malah bingung.”
Kali ini Wike benar-benar bingung. Namun melihat
wajah Irfandi yang serius, ia justru ragu bahwa dirinya memang pernah berjanji
kepada Irfan.
“Sudah ingat?”
“Belum. Apa sih Fan, tolong katakan saja....”
“Ke, mana bunga mawar yang pernah mau diberikan
kepada penyanyi festival band?” kata Irfandi sambil menyorongkan telapak
tangan. Wike terhenyak.
“Bunga mawar?”
“Iya. Bukankah Keke pernah berniat memberiku mawar?”
“Aaah kata siapa?”
“Tapi keduluan anak lain yang pada naik panggung,
jadi batal ya? Sekarang bunga itu aku minta.”
“Oooooohh.... aduuuuhhh.... itu... aaah maluuu.....”
Wike menutup mukanya. Kini ia benar-benar diingatkan.
Ia ingat benar dulu memang pernah berniat memberikan bunga mawar kepada
Irfandi. Ia ingat itu. Ketika gadis itu membuka telapak tangan yang menutupi
muka Irfandi masih menyorongkan telapak tangan.
“Mana?”
“Kata siapa bunga itu untuk kamu?”
“Kalau aku sebutkan orang, mungkin kamu nggak
percaya. Ku juga baru pas kelulusan kemarin aku baru tahu kalau kamu akan
memberiku bunga. Hitung-hitung hadiah kelulusan!”
“Iiiih... nggak lucu ah! Bohong itu.”
Irfandi tersenyum sambil mengutak-atik HP-nya.
Beberapa saat kemudian ia menyorongkan HP kepada Wike. Ia menunjukkan sebuah
gambar.
“Mawar yang ini Ke....”
“Ouchh! Mawar ini ..... ini..... ini aku, ini mawarku.”
“Iya yang ini. Ingat kan?”
“Ini siapa yang memotret aku?”
“Nggak penting. Bagiku yang penting adalah, kalau
bunga itu masih ada, aku tunggu....”
“Itu mawar natural Fan. Aku tak tahu di mana, tentu
sudah kering. Sudah lama banget Fan.”
“Oooh, kau menanam sendiri?”
“Iya.”
“Bunga yang digambar mungkin bukan untukku, karena
memang sudah hilang. Tapi generasinya mudah-mudahan masih ada Ke, peliharalah.
Hari ini mungkin aku bercanda meminta bunga itu, tapi ingin suatu saat kau
kabari aku kalau-kalau bunga di rumahmu sudah mekar lagi.....”
“Mmm.... aaa.....”
“Boleh gambar ini aku simpan?”
“Ya nggak apa-apa. Tapi kirimi aku lewat bluetooth.”
“Siap.”
“Maafkan aku Fan.”
“Aku juga minta maaf, aku juga baru tahu. Ke, coba
saja aku tahu Keke akan memberikan bunga dari dulu....”
“Kalau tahu kenapa?”
“Hehehe ... nggak apa-apa .....” kata Irfandi sambil
terkekeh.
Siang itu hati Wike benar-benar bahagia. Ia ingat
pesan April beberapa waktu lalu. Lihat kubah. Inilah petunjuk itu? Ia
benar-benar hanya menyebut nama pemuda itu di setiap sujudnya. Mungkin salah,
mungkin tidak. Rahasia Allah akan makhluknya akan tetap menjadi rahasia abadi.
Namun sesekali manusia seperti mendapatkan tanda-tanda.Gadis itu benar-benar
tak mengira Irfandi menyimpan foto lucu dirinya yang menyembunyikan bunga di
punggung.
Sore itu Wike menelpon April. Gadis itu menuduh April
yang mengambil gambar dirinya dari belakang.
“Kamu makcomblangin aku ya Pril? Itu taktik kamu kan?
Tapi aku seneng juga sih.”
“Nggak Ke, bukan aku. Swear, aku nggak lakukan itu.
Bukannya ketika festival berlangsung aku ikut maju di bawah panggung? Jadi mana
mungkin aku mengambil gambarmu ketika Irfan tampil?”
“Jadi siapa yang memotret Pril?”
“Siapapun dia, dia makcomblang misteriusmu. Dia
berjasa kepadamu. Dia dikirim Tuhan untuk menjawab doamu. Tapi, jangan lupa.
Ada peluang sebesar satu, tapi jalan menuju peluang satu itu masih mutlak
rahasia Allah. Paham maksudku?”
***
Hari itu mungkin saat-saat terakhir para alumnus
menyambangi sekolah secara resmi. Pembagian ijazah dan SKHUN dibagikan secara
serentak oleh para mantan wali kelas. Wike gelisah menunggu April yang belum
datang. Sama, di tempat dulu ia bertemu Irfandi.
“Keke.....”
“Aaahh.... Irfan.”
“Kenapa kita ketemu lagi di sini, sama seperti dulu,
tanpa April shohibmu.”
“Ya ngak tahu kenapa.”
“Eh Ke, aku mau tanya sedikit ya.”
“Tanya apa?”
“Ke, tadi malam kamu bangun jam dua ya?”
“Emm... aa.... kamu tahu dari mana?”
“Maafkan ya Ke, benarkah kamu membangunkan aku agar
shalat malam?”
“Ah kamu mimpi kali Fan.”
“Tapi kayaknya sungguhan kok!”
Wike tak segera menjawab. Memang di waktu yang
disebut Irfan, ia sempat menyebut nama itu beberapa detik dalam shalat
hajatnya. Benar, ia memang mengharapkan bertemu dalam doa yang sama. Bukan
apa-apa. Karena ia yakin yang seperti akan lebih baik bagi dirinya, dan mungkin
bagi Irfandi, makhluk Allah yang sekarang bukan siapa-siapa.
“Aah sudahlah Fan ... nggak usah dipikir dalam, tapi
kamu bangun nggak?”
“Bangun.”
“Terus ngapain?”
“Justru memikirkan, mengapa tiba-tiba jadi Keke yang
membangunkan aku ....”
“Aaaah kamu mah! Harusnya shalat atuuh! Em gini Fan,
kamu lihat tuh yang aku simpan di pinggir graha OSIS.....” kata Wike sambil
menunjuk sesuatu.
“Bunga mawar?”
“Iya, itu dalam pot kecil ada empat kuntum. Karena
aku janji dulu pernah akan memberimu bunga, ya sudah yang ini saja.”
“Kenapa pakai pot?”
“Biar awet, Kalau aku petik, sehari juga layu. Ya
nggak?”
“Iya sih.”
“Bunga itu sebenarnya bukan buatmu, tapi buat ibumu.
Ibumu suka bunga kan?”
“Eeeh siapa yang bilang?”
“April. Kan waktu kapan itu dia sempat main rumahmu
bareng teman-tema MIPA 7.”
“Ya ampun April ..... mbocorin rahasia saja itu
anak.”
Siang itu keduanya berpisah. Di gerbang Irfandi
menghentikan motornya sebentar. Ada kantong keresek berisi pot kecil bunga
mawar kuntum empat. Bebarapa langkah di belakangnya menyusul Wike.
“Mau aku antar?” Irfandi menawarkan. Wike tersenyum
sambil menggeleng.
“Tidak, terima kasih.”
“O ya sudah. Terima kasih bunganya ya Ke, semoga
dipelihara ibu bisa abadi....”
“Iya aamiin.”
“Ke ... aku punya satu permintaan, boleh nggak?”
“Apaan?”
“Bangunin aku nanti malam untuk shalat tahajud
ya....”
Wike tersenyum tertahan. Irfandi juga tersenyum. Di
gerbang sekolah keduanya berpisah. Wike bahagia, telah menitipkan bunga untuk
ibu Irfandi. Dan yang paling membahagiakan adalah permintaan Irfandi yang
terakhir: Bangunin aku nanti malam untuk
shalat tahajud ya...... Wike mengeja ulang kata itu lagi. ***