Pukul setengah lima sore terdengar peluit panjang.
Latihan usai. Livia berjalan gontai ke pinggir
lapangan. Ketika bermain basket tadi, kelihatan energik. Namun kali ini
tampaknya tenaganya habis. Maklumlah, ini adalah latihan terakhir untuk
menghadapi turnamen dua hari mendatang. Biarpun ia masih kelas X, tetapi
kemampuannya cukup menarik pembina untuk dimasukkan ke dalam tim, walaupun
masih sebagai tim pelapis.
Vi, demikian gadis itu biasa dipanggil,
mengeluarkan handuk kecil. Tangannya mengelap wajah yang basah oleh keringat
secara perlahan. Setelah itu air mineral di dekatnya ditenggaknya bebegapa
teguk.
“Vi!” ada suara memanggil. Gadis itu menoleh.
Dari luar pagar kawat, seorang pemuda tanggung
tersenyum sambil kedua tangannya memegang ram kawat. Wajahnya ditempelkan di
ram tersebut.
“Apa Kak?” tanya gadis itu ke kakak kelas yang
duduk di kelas XI.
“Capek ya?”
“Enggak.”
“Mau aku antar?”
“Nggaak... aku bawa motor!”
“Mudah-mudahan motornya mogok!”
“Iiiiih... apaan sih?!”
“Ntar kalau mogok kan aku bisa boncengin Livi!”
“Kenapa!”
“Aku mandi keringat niiih.....”
Gadis itu tidak menimpali lebih lama. Ia bergegas
keluar lapangan basket meninggalkan Haryo, pemuda tanggung tadi, yang masih
berpegangan ram kawat pagar lapangan basket. Vi tidak peduli. Gadis itu
langsung menuju ke rest-room untuk
membersihkan badan.
Selang seperempat jam Vi mengeluarkan motornya dari
halaman sekolah. Keluar gerbang ia langsung tancap gas menuju rumahnya di Simpeureum.
Sekitar satu setengah menit, laju motornya sampai di depan Bank BJB. Gadis itu
kaget, ia melihat Haryo di pinggir jalan sedang kerepotan mengeslah motornya.
Gadis itu minggir.
“Hallo Kakaaak! Hihihi..... doanya terkabul!” kata
Vi menyindir. Haryo menoleh. Demi melihat yang berkata Vi, ia hanya mendesah dan menggeleng.
“Yaaah...... “
“Makanya jangan suka usil sama orang lain.
Mentang-mentang kakak kelas, ke adik kelas seenaknya.”
“Yaaaaaahhh......” sahut Haryo lebih panjang dari
yang pertama.
“Selamat berjuang Kak Haaaar! Semoga sukses!” kata
Vi sambil tertawa puas.
“Iya.. iya makasih doanya! Ikut nebeng dong!” kata
Haryo sambil nyengir.
“Ogah! Nggak!”
“Ntar aku doakan kaya tadi!”
“Doanya akan mbalik tahu! Malah kakak yang mogok!”
“Nggak apa-apa! Aku doakan nanti malam Vi
memimpikan Haryo!”
“Huuuuh...... enak saja.”
“Ya enak lah, kalau doanya mbalik, kan aku yang
memimpikan Livi! Heheee! Mau dong!”
“Aaaah.... curang! Curang! Sudahlah! Terserah!”
kata Vi sedikit ngambek sambil mukanya kelihatan memerah.
“Heheee!”
Kali ini Vi benar-benar meninggalkan Haryo yang
masih sibuk dengan motor mogoknya. Dari spion gadis itu melihat Haryo
memandangi dirinya hingga hilang dari pandangan. Gadis itu sebenarnya ingin
menemani, tetapi ia berfikir keterlaluan jika demikian.
***
Pagi hari jam istirahat di Perpustakaan Ganesha.
Habis makan bakso ia mampir di perpustakaan. Ia
membawa satu buah buku di tangannya.Masuk ke perpustakaan pukul sepuluh, hanya
beda sedikit dengan jam-jam lainnya. Artinya pengunjung sedikit. Minat baca turun.
Baca buku kalah dengan mainin gadget.
Hanya orang-orang tertentu saja lah yang dengan kesadaran sendiri mau
berkunjung ke perpustakaan untuk mencari tambahan pengetahuan dengan referensi
tambahan. Dulu istilahnya kutu buku. Sekarang jarang sekali siswa yang
menyandang gelar itu.
Vi, mungkin gadis inilah yang layak disebut kutu
buku. Kesukannya kepada membaca tampak sejak ketika mulai masuk ke SMA.
“Liviiiiii.......” ada suara berbisik di sampingnya
ketika Vi sedang memilih buku bacaan.
“Aaaa... aduuuh.... kak Haryo!”
“Ssst... bicara nggak boleh keras-keras.” Kata
Haryo seraya memberi isyarat telunjuk di bibirnya.
“Mau cari buku apa?”
“Nggak cari apa-apa, cuma mau nememin anak basket.”
“Uuuh.... sebel!”
“Ya sudah mau nememin anak penggila buku, si kutubuku!”
“Uuuuh.... sebel!”
“Ya memang, aku sangat suka sama kutubuku....”
“Bener suka?”
“Iya! Bener.”
“Mau nemenin kutubuku sejati?”
“Ya mau laaaahhh......”
“Itu .. tuuuh .... di dekat meja kerja, noooh .....
kutubuku sejati! Ibu perpuuus!” kata Vi sambil menunjuk ke arah ibu-ibu
pengelola perpustakaan.
“Ya ampuuunn! Liviiiii!” kata Haryo sambil menepok
jidatnya. Vi terkekeh melihat kelakuan Haryo menepok jidat.
Dengan gontai Haryo menjauh dari gadis itu. Ia
mengambil kursi kemudian duduk sambil membuka HP-nya. Vi melirik sekilas. Gadis
itu menghela nafas dalam, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Setelah
mendapatkan buku yang dicari, Vi mengambil duduk di depan Haryo.
“Itu yang aku nggak suka dari Kakak!” kata Vi
berbisik.
“Apa?”
“Di perpus itu membaca. Mem-ba-ca! Bukan main HP!”
“Dan di perpus itu boleh jadi penasehat!
Pe-na-se-haaat!”
“Uuuh... sebel!” Vi manyun kesal.
“Hehehe... maaf ....maaaf Vi, bercanda.”
“Hmh!”
“Mau baca atau apa?”
“Mau pinjam saja Kak...” kata Vi sambil bangkit.
Ketika Vi beranjak, bergeser dari kursi, tanpa
sengaja ada sebuah benda terjatuh keluar dari dalam buku yang dipegangnya.
Haryo melihatnya.
“Viiii.... tunggu..... ini apa?” kata Haryo seraya
jongkok sambil mengambil benda yang jatuh. Ternyata selembar foto.
“Ooo.... ah apa? Ih itu .... foto.”
“Tadi terjatuh dari bukumu.”
“Iya sini Kak. Makasih ya.”
“Eit ntar dulu. Boleh kan lihat sebentar?’
“Mmm boleh, tapi sebentar saja lho!”
“Ini foto ... aduuuh Viiii...... cantik-cantik
banget.”
“Iya. Cantik ya Kak?”
“Ya cantik ya gagah juga... keren banget pokoknya!”
“Aku pantas jadi kaya gitu nggak Kak?” tanya Vi
sambil mengulurkan telapak tangan meminta foto tiga orang polwan.
“Ntar dulu ... aku mau nanya dulu. Duduk dulu lagi
Vi.”
“Ini hampir masuk Kak.” Kata Vi sambil menunjuk jam
tangannya.
“Lima menit.”
“Apa sih?” tanya Vi yang terpaksa duduk kembali.
“Livi kayaknya ingin jadi polwan ya?”
“Bangeeet......” kata Vi dengan wajah ceria. Haryo
tersenyum sambil menggeleng.
“Satu syarat sudah terpenuhi!” kata Haryo membuat
Vi terhenyak.
“Syarat yang mana?”
“Mmmh.... mmmh.... “
“Ayo ngomong syarat yang mana?”
“Cantiiik...... ini syarat pertama jadi polwan.
Cantiiiik.... hehe... “ kata Haryo seraya menyerahkan gambar tiga polwan
cantik, kemudian sambil terkekeh-kekeh berlari meninggalkan Vi yang memerah
wajahnya.
Vi tak hendak mengejar Haryo yang sudah melangkah
ke luar ruangan, sementara ia harus mencatat buku yang akan dipinjamnya.
Malam hari usai belajar, Vi termenung.
Gambar tiga polwan cantik memang telah mampu menginspirasi
dirinya untuk menjadi polisi. Perlahan ia mendesah. Ia masih punya gambar lain
tentang polisi. Gambar salah satu bagian
dari Akademi Kepolisian Semarang. Di depan salah satu ciri nomen klatur, Akademi Kepolisian, dengan barisan
taruna-taruni yang menakjubkan.
Vi beranjak dari duduknya. Ia menyeret kursi di
depan cermin lemari baju. Ia pandangi wajah dirinya di cermin. Akankah suatu
saat aku bisa jadi seperti mereka.....? Gumamnya. Ia berfikir ibaratnya
membangun sesuatu, ia harus memulai membangun pondasi. Sebagian telah ia
lakukan. Latihan fisik. Vi memang hobby olah raga, terutama basket, jogging dan
bersepeda. Membaca, hobby yang melatih refleks saraf otaknya untuk merespon
stimulus yang datang. Nilai rapor, telah mulai dirintis dengan minimal
rata-rata di atas 7. Nilai UN harus di atas 7 pula, ia telah memasang target
dengan menanamkan optimisme yanag tinggi. Syarat apa lagi?
“Cantiiik......
ini syarat pertama jadi polwan. Cantiiiik.... hehe... “
Vi tersenyum. Ia melihat wajah sendiri. Wajah Haryo
terbayang. Ia tahu, pemuda itu tengah menemukan sebuah kesempatan untuk memuji
dirinya. Aaah...., Vi mendesah. Pemuda kakak kelasnya itu memang menyenangkan.
Periang. Suka bercanda. Namun datar. Artinya, tak ada riak-riak sebagaimana
layaknya persahabatan antara cowok dan
cewek. Tak ada upaya intens. Hanya
sesekali kakak kelasnya itu menggoda. Ya seperti tadi siang mengatakan dirinya cantik. Namun dirinya tidak terlalu
berfikir stau merasakan secara dalam. Itulah yang disukai Vi, konsentrasi
belajarnya full. Ia tak mau obsesinya
memenuhi persyaratan mendaftar ke akademi kepolisian berantakan gara-gara
sesuatu yang saat ini belum terlalu penting. Belum terlalu penting? Vi sadar,
dirinya masih ABG banget. Baru kelas
X SMA. Inilah sebuah kesadaran yang diyakini Vi sendiri akan memperlancar
upayanya meraih cita-cita.
***
Akhir Juni 2015.
Sekolah ramai. Orang tua datang mengambil rapor
para putra-putrinya. Hari itu kenaikan kelas. Sebuah hari yang monumental bagi
seluruh siswa.Sebagian siswa langsung ikut pulang, sebagian orang tua
meninggalkan putra-putrinya untuk melanjutkan aktivitas lain di sekolah.
Demikian pula Vi. Ruangan kelas X MIPA 4 akan segera ditinggalkan. Di kelas XI
tentu harus bersiap mental untuk melakukan penyesuaian dengan teman-teman baru,
karena akan dilakukan penyusunan ulang kelas.
“Vi, kakak
tunggu di depan graha OSIS..... “ tiba-tiba ada SMS dari Haryo.
Keluar kelas gadis itu berlari kecil menuju tempat
yang disebut Haryo. Dari jauh Vi melihat kakak kelasnya sudah menunggu di taman
dengan meja dan bangku batu.
“Hai Kak! Tumben jauh-jauh dari timur ke sini!”
“Hehe.. iya! Ayahmu sudah pulang?”
“Sudah .... noooh lihat, itu ayah, di depan ruang
BK.”
“Kamu nggak ikut pulang?”
“Nggak. Tadinya sih mau pulang bareng ayah, tapi
ada keperluan.” Kata Vi sambil duduk di bangku batu.
“Oh maaf, kalau ada keperluan ... aku mengganggu
ya?”
“Ah ya enggak laaah.... keperluanku kan nemuin
Kakak!”
“Aduuuuhhh......” kata Haryo sambil menepok
jidatnya sendiri. Vi tertawa.
“Kenapa?”
“Sampai sekarang belum bisa juga menebak , siapa Vi
yang sesungguhnya.....”
“Aneh ya?”
“Unik. Nggak ada duanya!”
“Uuuuh... biasa .... memuji! Ada apa sebenarnya sih
Kak?”
Ditanya begitu Haryo tak segera menjawab. Kedua
telapak tangannya ditutukan ke wajahnya hingga beberapa jenak. Vi penasaran
melihat polah Haryo.
“Kakak kenapa? Kak? Sakitkah?”
“Vi ....: kata Haryo sambil menurunkan tangannya.
“Ada apa Kak?”
“Livi suka naik ke kelas XI?”
“Iiih aneh, kenapa nanya begitu?”
“Suka nggak?”
“Suka laaah Kak, bersyukur.”
“Beda dengan aku Vi .... kenaikan kelas kali ini
bagi aku adalah kenaikan kelas yang hambar.”
“Kenapa? Kak Haryo turun peringkat? Nggak masuk lima besar lagi?!”
“Bahkan Vi, lebih dari itu Viiii...”
“Maksudnya?”
“Ini .... hari ini adalah Smansa adalah SMA-ku yang
terakhir.”
“Maksudnya?”
“Smansa bagi Haryo hanya sampai kelas XI. Kelas
XII, aku bukan lagi menjadi anak Smansa ....”
“Kak? Kak Haryo.... apa maksudnya?”
“Aku harus pindah sekolah Vi.” kata Haryo sambil
tertunduk.
“Pindah sekolah? Ke mana?”
“Jauh Vi .... ke Purwokerto.”
“Kakaaak.... Pur... wo ... ker ... to.... kenapa
Kak?”
“Ayahku pindah tugas. Mau apa aku sebagai
putranya?”
“Tapi Kak, biarlah ayah pindah tugas ... Kak Haryo
di sini saja ....”
“Surat pengantar pindah sudah jadi.”
“Och!”
“Inilah hari terakhir aku menikmati suasana Smansa.
Smansaku yang masih aku rasakan baru beberapa hari aku miliki. Di Smansa ini
aku punya adik kelas yang lucu, yang cita-citanya tinggi, namun berat .....
polisi!”
“Kak...”
“Vi, Livi harus konsentrasi penuh dalam meraih
cita-cita. Livi... Livia ... Livia Agustin, hmmm ... anak yang lucu. Kamu masih
kecil, nggak boleh pacaran dulu. Perjuangan meraih status polisi sangat berat
Vi, syarat administrasi ...... beraaat. Jangan pacaran dulu ya Vi. Jangan rusak
konsentrasi belajarmu.”
“Kaak....”
“Jangan pacaran dulu ya?”
“Kak....”
“Jawablah iya
adikku yang cantiiik.....”
“Iiii... iya ...”
“Alhamdulillah. Vi, semoga sukses menyertaimu....”
Haryo benar-benar pergi.
Hari itu
merupakan hari yang sangat membuat Vi gelisah. Kepergian Haryo hari itu
serasa membuat setengah hatinya hilang. Ada sebuah semangat yang hilang dalam
dirinya. Senyum Haryo, canda Haryo, kedewasaan Haryo dalam berprinsip, ya, Vi
kehilangan itu semua.
“Jangan
pacaran dulu Vi.” adalah sebuah pesan yang sangat indah. Hanya kedewasaan
yang mengucapkanlah yang sanggup mengatakan itu di atas semua kepentingan. Vi
berfikir bahwa Haryo adalah sosok calon laki-laki yang ideal. Pesannya sangat
sederhana, namun sangat dalam. Haryo hanya menginginkan ia berkonsentrasi dalam
mengejar cita-cita.
“Kak Haryooo
.... seandainya Kakak tahu, Vi mencintai Kakak.....” gumam gadis itu di
depan cermin. Bibir gadis itu bergetar. Matanya terasa panas. Seperempat sekon
kemudian air mata gadis itu meleleh menuruni pipi. Perlahan Vi menyeka dengan
punggung tangannya.
***
Hingga sekarang Vi duduk di kelas XII, perpisahan dengan Haryo menginjak masa sekitar dua tahunan. Waktu selama itu tak ada kontak dengan Haryo. Hanya
sesekali. Di tengah kenangan dulu pernah bersama, Vi semakin sadar bahwa
perjuangan untuk menembus Akpol Semarang bukanlah gurauan. Ini adalah sebagian
dari hidup yang sesungguhnya. Cita-cita harus diformat dari sekarang. Nasehat
Haryo dulu sekarang ia rasakan kebenarannya. Betapa ringan beban dirinya tanpa
mempunyai sahabat lebih yang oleh
Haryo disebut pacar. Pretasi harian bagus. Kadang-kadang ia ingin mengucapkan
terima kasih kepada pemuda itu, tetapi selalu urung. Iapun tak ingin mengganggu
Haryo yang kini menjadi mahasiswa Undip.
April 2017.
Usai mengikuti UN jiwa Vi terasa ringan. Plong. Tak
ada beban. Prestasi periodik semesteran selalu bagus. Fisik semakin kuat dengan
berolah raga. Gadis itu kini tinggal menanti gong terakhir : Hasil UN 2017. Mudah-mudahan melewati passing-grade untuk pendaftaran ke
Akpol, begitu doanya setiap saat.
Akhir bulan mendadak Vi berbunga-bunga hatinya
ketika keluarganya berencana mengadakan perjalan ke Jawa melewati Semarang.
Iseng-iseng ia katakan kepada keluarganya ingin menengok calon kampusnya. Dan
yang paling menyenangkan baginya adalah Haryo. Dua tahun terakhir hubungan
dengan Haryo hampir tak ada. Namun kali ini bagi Vi, nama Haryo seakan hidup
lagi.
Sore itu Vi menelpon Haryo.
“Kakaaak.....
kangen nih!”
“Alhamdulillah
Viiii...... bisa dengar suara adikku ini. Gimana UN, gampang nggak?”
“Insya Allah
Kak. Perjuangan di Smansa tanpa gangguan. Lancaar... sukseeess! Tinggal nunggu
hasil UN. Optimis Kak!”
“Syukurlah.
Belum punya pacar ya?”
“Bener Kak
.... nggak punya pacar itu rasanya enteeeeng bangeeet!”
“Hehe..
syukurlah!”
“Kak! Akhir
bulan keluargaku mau lewat Semarang.”
“Oh? Benarkah
Vi? Aku tunggu di Simpang Lima .... ntar aku beritahu tempatnya!”
Simpang Lima Semarang, suatu sore.
Usai menemui keluarga Vi yang beristirahat di Holiday
Inn jalan Ahmad Yani, Haryo mengajak gadis itu ke Simpang Lima. Sebuah pusat keramaian
yang sangat ikonik dengan kota Semarang. Di sebuah kedai Baso Lapangan Tembak
keduanya ngobrol.
Begitu keduanya duduk berhadapan, Haryo senyum
terus tak henti sambil menatap Vi yang memerah wajahnya.
“Ngapain ngeliatin terus?”
“Kangeeennn... Viiiii....... dua tahun Vi. Adikku
semakin cantik saja ....”
“Gombalnya nggak hilang-hilang!”
“Hehe... habisnya aku harus ngomong apa? Vi
memang cantik.”
“Terserahlah....”
“Belum punya pacar ya?”
“Sesuai nasehat Kakak. Bener Kak, nggak punya pacar
itu rasanya enteng di pikiran. Belajar jadi enak ... wah nyaman pokokna mah!”
“Andai saja semua siswa SMA nggak mikir pacaran
dulu ... wuuu.... Smansa bakal bersinar lagi kayaknya!”
“Hihihi.... coba saja Kak Haryo jadi kepala
sekolahnya! Larang semua siswa berpacaran!”
“Hahaaa.... itu bagus. Tapi bagi aku, cukuplah satu
orang yang aku larang pacaran!”
“Hihihiiii... nah Kak Haryo sendiri .... sesudah
lepas SMA punya pacar nggak?”
Ditanya begitu Haryo terbahak. Vi tersenyum nggak
jelas. Terbawa tawa Haryo begitu saja.
“Kan larangan itu kan cuma untuk Vi. Iya kan? Apakah Livi pernah
melarang aku pacaran nggak? Nggak kan?”
“Ngggg..... jadi Kak Haryo sudah punya pacar.”
tanya Vi berbalik.
“Viii.... mungkin hari ini, mumpung ada kesempatan
bertemu, aku akan kenalkan pacar Kakak ya?”
Dijawab seperti itu mendadak wajah Vi layu.
Keceriaan yang semula tampak hilang. Bibir gadis itu terkatub. Hatinya merasa
kecewa. Namun ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.
“Viii.... kenapa?”
“Nggak... nggak apa-apa....”
“Ya sudah, kalau Vi nggak apa-apa, aku harap apapun
yang terjadi, persahabatan Vi dengan Haryo jangan putus. Oke?”
“Ngg....” suara Vi tertahan. Ada beban berat di
dadanya.
“Viii..... lihatlah ..... silakan lihat di galery,
foldernya impianku.” kata Haryo
sambil perlahan menyodorkan tabulet ke hadapan Vi.
Dengan muka tegang dan hati enggan, ia mengklik galery-impianku. Klik! Folder Impianku
terbuka. Vi kaget. Dadanya bergetar. Di dalam folder itu ada folder lagi Bunga dari Simpeureum. Simpereum adalah
nama desa tempat tinggalnya.
“Kak? Apa maksudnya Simpeureum?”
“Buka lagi!”
“Kaak... Kakkk.... inii.... gambar siapa?”
“Ya... itulah bunga Simpeureum, impianku.
Itulah.... itu gadis yang aku impikan menjadi kekasihku.”
“Kak...” tertahan kalimat Vi. Lehernya serasa susah
untuk menelan. Haryo melihat perubahan wajah Vi. Ia menyodorkan minum.
“Minum dulu Vi .... ayooo...” kata Haryo pelan. Vi
menerima gelas kemudian meminum isinya.
“Kenapa harus gambar-gambarku?” tanya Vi setelah
tenggorokannya lega.
“Karena aku menyukainya.”
“Hmh...”
“Vi ini fotomu yang paling aku suka. Maaf aku
mengambilnya tanpa sepengetahuanmu. Pernah suatu saat, Vi bersepada, aku
ikutin. Ternyata Vi ke pasar Cigasong. Belanja sayur mayur. Ya Alloh! Vi
belanja. Feminim banget Vii... aku suka Vi. Gadis remaja SMA belanja, feminim bangeet. Itu yang dulu mengacak-acak hati Haryo sulit melupakan Vi. Haryo bangga banget waktu itu. Vi masih
ingat nggak ketika dulu di sekolah aku nanya: Livi bisa masak nggak? Ingat
nggak Vi?”
“Iya, ingat.”
“Alhamdulillah. Waktu itu jawabanmu apa Vi?”
“Bisa.”
“Masak apa?”
“Nanak nasi, sayur asem, lodeh, mendoan tempe,
ceplok, dadar telur ... banyak.”
“Itulah Viiii..... waktu itu kamu nggak tahu kan,
waktu kamu pergi aku ngomong yess!! Sambil
mengepalkan tangan, begini!” kata Haryo memperagakan. Vi menggeleng. Mukanya
merah.
“Kakak berlebihan.”
“Nggak Vi, aku wajar. Hampir menjadi impian seluruh
suami adalah, istrinya pinter masak. Tak pandang itu istrinya wanita karier
atau bukan. Ada saat-saat indah bersama keluarga menikmati masakan istri ....”
“Sejauh itukah pikiran Kakak?”
“Ya sejak dulu Vi, hanya saja aku nggak pernah
ngomong. Aku sekarang membayangkan, seorang polwan, cantik, pinter masak untuk
suami. Uuuuh.... sempurna!” kata Haryo sambil tersenyum menatap Vi yang semakin
tersipu-sipu.
Gambar selanjutnya adalah kegiatan ketika gadis itu
bermain basket. Puluhan gambar ada di situ. Gambar-gambar dirinya membuat Vi
tak bisa berkata-kata, speechless. Bibit
cinta yang dulu pernah ia miliki, hari ini sebagaimana layaknya kecambah di
musim hujan. Begitu cepat mekar dan berkembang.
“Maafkan Haryo telah mengambil gambar-gambar ini
tanpa ijin Vi .....”
“Nggak apa-apa Kak.”
“Mudah-mudahan keterusteranganku kali ini tak
mengganggu perjuangan Vi di SMA. UN sudah selesai .... tapi ....”
“Tapi apa Kak?”
“Harapan Kakak yang tak akan pernah selesai....”
“Harapan apa Kak.”
“Vi, Livia .... , harapan untuk selalu menikmati senyum Livi. Vi, kunanti senyummu di Semarang.”
Hingga beberapa lama gadis itu diam. Bibirnya
terkatub. Ia bisa memaknai apa yang dilakukan Haryo yang menaruh harapan besar
terhadap dirinya. Vi sendiri begitu respek terhadap Haryo yang telah selama dua
tahun ini tak mengganggu dirinya hingga dapat berprestasi di sekolah.
“Perjuangan menuju Semarang berat banget Kak, Akpol
tidak main-main. Kondisi yang paling pahit adalah, seandainya Vi kehilangan
harapan gagal masuk Akpol.”
“Seandainya Vi gagal masuk Akpol, Haryo akan tetap
menanti senyum Vi di Semarang, biarpun
akhirnya di kota manapun Vi akan berlabuh untuk melanjutkan pendidikan.”
“Kak....”
“Haryo akan tetap menanti waktunya, di suatu saat
senyum Vi akan menjadi milik Haryo .... akan menjadi milik Haryo selamanya ....
lima atau enam tahun lagi...” kata Haryo perlahan.
“Kaak... “ kata-kata Vi benar-benar terhenti.
“Livi yang Haryo kagumi sejak dulu .... sejak kelas
X, Vi yang Haryo cintai ....”
Mata Vi terasa panas. Air matanya mengembang. Gadis
itu benar-benar tak menyangka, pertemuan di Semarang telah memberinya harapan
yang semula hampir terkubur. Haryo yang konsisten mengantar dirinya berprestasi
dengan tak mengganggunya selama belajar.
Vi ingat benar ketika dulu Haryo pindah sekolah, ia
pernah berucap dalam gumam “Kak Haryooo
.... seandainya Kakak tahu, Vi mencintai Kakak.....”. Kini Haryo telah menyatakan rasa kagumnya,
juga rasa cintanya. Namun ia masih belum bisa berkata-kata.
“Maafkan aku Vi .... jika Vi tidak berkenan, delete-lah gambar-gambar di tabulet ini.
Terima kasih gambar ini telah menemani aku selama dua tahun. Hapuslah Vi .....
hapus ....”
“Tidak Kak, tidak perlu dihapus. Simpanlah jika
Kakak suka .....”
“Suka... suka, akan aku simpan. Bersama senyum Vi?
Boleh ya?”
“Yah.”
“Alhamdulillah Viiii....bener ya Vi ..... “ kata
Haryo sambil mengulurkan tangan mengajak salaman. Gadis itu perlahan menerima
uluran tangan Haryo.
“Vi .... jadi apapun kelak Vi nantinya, buatkan
masakan untuk Haryo .... ya?”
“Insya Allah.....”
Vi melihat betapa bahagia wajah Haryo. Bagi
dirinya, rasanya tak kuasa untuk menyatakan cinta kepada pemuda itu saat ini.
Vi, gadis yang cukup bisa menjaga diri untuk mengucapkan sekedar kata cinta.
Yang paling penting, Haryo adalah pemuda yang cerdas, yang bisa menterjemahkan
kata-kata, yang di dalamnya terdapat ungkapan cinta. Dan Haryo tahu, Vi juga
mencintai dirinya. ***
Majalengka ,
24 September 2016
* Request Livia Agustin H - XII MIPA 6 2016/2017