KONSEKUENSI PILIHAN MATA UJIAN UN
Setelah
wacana UN ditiadakan, kini muncul aturan baru tentang pelaksanaan UN tahun
2017. Memilih mata pelajaran dalam UN. Ini luar biasa.
Dalam surat
edaran Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 0204/H/EP/2017 tanggal 11 Januari 2017 tentang Pendaftaran
Peserta Ujian Nasional 2017. Seorang siswa calon peserta UN akan diwajibkan
mengikuti 3 (tiga) mata pelajaran wajib yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris, ditambah dengan 1 (satu) mata pelajaran yang adalam
jurusan/peminatan-nya. Dengan demikian pada masing-masing peminatan akan
terdapat 3 (tiga) komposisi yang diambil siswa. Untuk peminatan MIPA yakni (1)
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Fisika, (2) Matematika, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris dan Kimia, (3) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris dan Biologi, untuk peminatan IPS yakni (1) Matematika, Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi,
(2) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Sosiologi, (3)
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Geografi, untuk peminatan
Bahasa yakni (1) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Antroplogi,
(2) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Sastra Indonesia, (3)
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Asing (Bahasa asing
ciri khas sekolah).
Dampak Terkait Nilai UN
Dengan
terbitnya kebijakan baru semacam ini, ada beberapa konsekuensi yang cukup
memprihatinkan, terlepas apakah kebijakan tersebut telah melalui forum diskusi
panjang dan sumbang saran dari banyak pihak atau belum, inilah beberapa
prediksi dampak kebijakan baru tersebut.
Bebarapa hal
berkaitan dengan“nilai” yang akan hilang :
1. Rerata UN
sesama siswa satu peminatan/jurusan tak bisa dibandingkan lagi, sebab mata uji
UN yang dipilih berbeda-beda. Tak akan ada lagi sesama teman mengatakan “Nilai UN-ku lebih bagus diandingkan nilai
UN-mu”.
2. Tak ada
“juara” UN di sekolah atau di Kabupaten/Kota, sebab mata pelajaran yang
diikuti berbeda-beda.
diikuti berbeda-beda.
3. Rerata UN
tiap mata pelajaran dalam satu peminatan/jurusan tak dapat dibandingkan
lagi. sebab tidak semuanya memilih mata pelajaran yang sama.
4. Secara
nasional tak akan dapat ditentukan berapa rata-rata nilai mata pelajaran
tertentu (misalnya fisika), sebab
rerata secara nasional haruslah rerata
populasi nilai fisika seluruh siswa peminatan/jurusan MIPA , bukan rerata sampel siswa MIPA yang memilih
fisika.
5. Tahun lalu, dalam
Prosedur Operasional Standar (POS) tahun pelajaran 2015/2016 tersirat bahwa
nilai UN berpengaruh dalam pemilihan program studi di Perguruan Tinggi melalui
jalur SNMPTN. Jika sekarang seorang siswa memilih tidak linier dengan program studinya, maka tak dibenarkan pemengaruh
tersebut. Untuk UN 2017 bagaimana? Kita tunggu saja terbitnya POS UN 2017.
Dampak bagi guru
Dampak yang
tampak sejak penyelenggara sekolah melakukan inventarisasi (dengan penyebaran
angket pemilihan) mata pelajaran pilihan, tampak terdapat dampak psikis
guru-guru pengajar. Guru pengajar yang mata pelajarannya sedikit dipilih oleh
siswa, akan merasa tidak disukai siswa. Yang banyak dipilih siswa akan merasa
gembira, mungkin ada anggapan bahwa dirinya adalah guru favorit yang mata
pelajarannya disukai. Antar guru akan terjadi kekakuan dalam berkomunikasi
(walaupun hanya sesaat).
Dampak lain
(yang justru lebih penting), guru mata pelajaran peminatan akan kesulitan
melakukan evaluasi diri untuk melalukan perbaikan proses pembelajaran di tahun
berikutnya. Mengapa? Tentu saja Karena nilai UN yang seharusnya merupakan feedback bagi upaya perbaikan, tak dapat
dilakukan, sebab data nilai UN yang diperoleh tidak mewakili nilai UN pada
pelajaran-pelajaran ciri khas peminatan.
Satu hal
yang tampaknya sepele di lapangan, pengaruh psikis guru, justru sebenarnya
sebuah masalah yang sangat besar, tetapi tampaknya belum dipikirkna sejak awal.
Atau penentu kebijakan berfikir lain? Tetapi bagaimanapun juga, mari kita
songsong UN 2017 yang penuh dinamika ini dengan optimis.***
Majalengka, Januari 2017