Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Kamis, 01 Juni 2017

"Kita hidup di jaman brandal...." katanya




Ini naskah saya yang ada di dalam buku tersebut di atas :
PANCASILA UNTUK ORANG DEWASA
Tahun 1980-an saya ingat Pak Lik Tarjo yang guru SD menanyakan ke 4 siswanya, anak-anak SD Bruderan Purwokerto ketika les di rumah kami (waktu itu aku numpang di rumah Pak Lik-ku).
“Pancasila ada berapa anak-anak?” tanya Pak Lik.

 “Ada limaaaa!”, serempak anak-anak menjawab.

“Pancasila apa saja?”

“Ketuhanan Yang Maha Esa ……, Kemanusiaan yang adil dan …..!” jawab anak-anak ini.
Kontan saja Pak Lik-ku tertawa. Yang keluar dari mulut mungil tanpa dosa adalah sebuah kejujuran dan kereflekan terhadap sebuah kebiasaan yang dilatihkan sebelumnya. Hanya saja dalam ukuran otak mungil, memori untuk mengingat batas-batas definisi, tentu belum mampu. Anak-anak mungil tampak kaget ketika Pak Lik-ku tertawa. Namun mereka baru menyadari ketika Pak Lik-ku menyatakan bahwa Pancasila itu hanya ada satu. Yang lima kita maklum bersama adalah sila-sila dalam Pancasila.
Pancasila bagi anak kecil adalah hafalan. Bagi anak-anak usia di atasnya – menurut ahli psikologi perkembangan, Piaget , ini merupakan tahap pra operasional formal – adalah definisi. Bagi anak-anak mahasiswa adalah bahan perdebatan, sedangkan gong-nya adalah Pancasila bagi orang dewasa, harus bermakna implementasi.
Dalam pengelolaan orang dewasa, di negeri kita ini Pancasila  pernah nyaris menjadi agama baru. Masanya adalah masa orde baru. Doktrin-doktrin  Pancasila begitu gencar. Orang akan sangat
bangga ketika temannya mengatakan “kamu adalah Pancasilais sejati”. Butir-butir P4 dihafal seluruh kalangan pelajar, calon-calon pegawai yang mengikuti testing perekrutan pegawai baru. Sayangnya dulu banyak bernuansa verbal.
Dalam pengurusan orang dewasa pula, ternyata terjadi perubahan dahsyat di tahun 1998, Jangan lupakan bahwa para pemuda, mahasiswa, yang tampak menjadi motor pergerakan sejarah , semua ada di bawah kendali orang dewasa. Sejak saat itu kata-kata “reformasi” menjadi populer menggantikan kepopuleran Pancasila. Oleh sebagian pihak, Pancasila justru dipandang identik dengan orba. Padahal menurut telaah pikiran yang bening, sama sekali tidak. Jika melihat isi Pancasila, tentu kita akan menyatakan setuju bahwa dia adalah sebuah ajaran universal yang baik. Bukan milik orla, orba atau orde-orde yang lain.
Jika kita menimang reformasi sebagai seorang bayi ajaib, maka kita seolah dihadapkan kepada sebuah harapan manis tentang kehidupan di negeri ini. Tahun-tahun pertama jargon-jargon tentang reformasi menjadi begitu membahana. Tahun-tahun berikutnya jargon reformasi menjadi beranak-kembang melahirkan blok-blok daerah dengan tatanan yang boleh menata dirinya sendiri. Otonomi daerah lahir dari bayi reformasi.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, muncul jargon-jargon baru yakni reformasi kebablasan. Otonomi daerah menjadikan dinasti-dinasti baru bermunculan. ­Istilah klise raja-raja kecil bermunculan. Bupati / kepala daerah kabupaten/kota menjadi tidak tunduk kepada gubernur. Rakyat kecil yang berada di lingkungan yang sempit di wilayah sang raja tentu akan sangat dengan mudah digiring dan ditekan secara sistematis oleh raja-raja kecil.
Selang sepuluh tahun dari tahun 1998, suasana hati mahasiswa tidak semenggejolak dulu. Yang ada di kampus-kampus hanyalah obrolan-obrolan ringan.
Reformasi itu sebetulnya apa to Mas?” tanya Dayun , si mahasiswa baru kepada Bodronoyo , si mahasiswa senior di halaman kampus Universitas Kembang Pancasila.
Kembali ke tatanan semula. Re = kembali, formasi = tatanan. Gampang to?
Itukah yang dulu dituntut para mahasiswa?” Tanya Dayun serius.
Iya, mahasiswa yang dikendalikan orang dewasa. Dulu jaman orba katanya sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tapi sekarang yang namanya korupsi seperti menjadi tujuan mereka yang menduduki jabatan, kolusi masih dijadikan jalan untuk membeli jabatan atau pemenangan tender, sementara nepotisme dianggap sebagai bentuk kasih sayang terhadap keluarga.” jelas Bodronoyo dengan mantap. Di mata mahasiswa baru, mahasiswa senior harus tampak punya kelebihan. Kalau perlu punya kekuasaan.
Awas Mas, sampeyan ngomong korupsi menjadi tujuan mereka yang menduduki jabatan, itu fitnah lho, bisa-bisa sampeyan dituduh subversif.”
Oooo nggak takut. Korupsi milyaran saja orang nggak takut, kenapa cuma ngomong saja harus takut? Toh tidak ada yang dirugikan. Lagi pula istilah subversif  juga telah menjadi istilah jejak sejarah penyelenggaraan negara kita . Sama seperti istilah-istilah jejak sejarah semacam orba, reformasi, reformasi kebablasan, otonomi daerah, korupsi, kolusi, nepotisme, dewan terhormat, koalisi, poros tengah dan sebagainya .”
Lho? Kenapa istilah korupsi, kolusi, nepotisme dimasukkan ke dalam jejak sejarah?
Bagi yang menganggap baik dan bermanfaat, jejak itu akan ditelusuri lagi. Itulah makna sebenarnya reformasi, kembali kepada tatanan semula. Tatanan semula penuh korupsi, sekarang penuh korupsi. Tatanan semula penuh kolusi, sekarang penuh kolusi. Tatanan semula penuh nepotisme, sekarang juga penuh nepotisme. Inilah implementasi reformasi yang sebenarnya.”
Mas Bodro, tapi ada lho yang menganggap nepotisme itu sebagai salah satu bentuk implementasi ayat al Qur-an dalam kehudupan sehari-hari.” kata si Dayun ngglayem.
Busyeeeet! Ajaran sesat itu.” mahasiswa senior itu kaget.
Bukan ajaran sesat Mas Bodro, tapi ijtihad. Jika ijtihadnya salah, dia dapat satu pahala, jika ijtihadnya benar, maka ia dapat dua pahala.” kini secara tidak disadari, posisi Dayun berada di atas Bodronoyo.
Genahe priye to?
Ada kyai mengatakan kuu amfusakum wa ahlikum naaroon. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Jadi sebelum mengurus nasib orang lain, uruslah nasib keluargamu, nasib kerabatmu. Selamatkan keluargamu, kerabatmu, dan kalau masih ada jatah, baru selamatkan orang lain! Bayangkan, kalau keluarga mereka miskin kemudian menjadi brandal, kan sosok yang punya jabatan dan punya kekuasaan akan ikut berdosa to? Kenapa tidak ditolong, direkrut itu si keluarga ? Agar dia tidak jadi brandal, misalnya menodong, merampok, maling, mbegal dan sejenisnya.”
“Oalaaaaaah ….. kalau ada penafsiran semacam itu, yang ngasih fatwa itu kyai goblog! Memang dikira nepotisme itu bukan pekerjaan brandal? Kolusi itu bukan pekerjaan brandal? Korupsi itu bukan perbuatan brandal? Eling, eliiiing…..”
“O iya yaaaa…. jadi sebenarnya kita hidup di antara brandal. Ngenes temen negri kita ini ya?” ternyata si mahasiswa baru itu kembali tampak luruh wajahnya, menjadi yunior lagi.
“Itulah ……yang paling gawat, siaga satu, adalah bagaimana ndandani negri ini. Harus ada orang-orang yang kembali menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila di dalam diri kita dan di lingkungan kita.
“Kenapa harus sekedar ada? Bukankah semua dari kita mari bersama-sama menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila yang telah terkubur dan terinjak-injak gak jelas alang ujure?”
“Nah itu, ituuuu maksudnya, kita semua. Dari pemimpin dulu yang bagus, baru anak buah. Dari presiden dulu bagus, baru menyusur ke bawah sampai rakyat. Oh indahnya….”
“Pelajari saja agama!”
“Kan Pancasila mengingatkan kita begitu, beribadah dan berperilakukah sesuai ajaran agama masing-masing. Karena kita prular. Iya to? Berperikemanusiaanlah, bersatulah, bermusyawarahlah, bagilah keadilan untuk seluruh rakyat negri ini.”
Pembicaraan di atas merupakan sebuah legitimasi terhadap kebebasan berpendapat. Artinya, karena secara personal si pendialog itu tidak bisa bertindak ndandani negara, ya sudah lewat diskusi tadi. Mereka menganalogikan bahwa diskusi itu niat baik, di dalamnya ada harapan, ada doa. Kata kyai yang di kampung (tapi dalilnya benar-benar tak terkontaminasi politik) mendoakan adalah sebagai indikator selemah-lemahnya iman. Mending dikatakan begitu bukan? Daripada dikatakan tidak beriman kepada Tuhan, malah nanti dicap tidak Pancasilais.
Kalau dirunut-runut lebih teliti sebenarnya akar masalah di negeri ini ada pada uang. Artinya ini nyrempet-nyrempet sila kelima, tentang keadilan sosial. Banyak kasus yang lucu-lucu menggemaskan, misalnya para pengguna mobil plat merah ingin keadilan dengan menggunakan bahan bakar premium. Upayanya plat merah dituakan menjadi coklat hati biar kalau ngisi premium malam warnanya hitam, atau dilapis dengan plastic mika biru. Itu sopir pejabat yang punya mobil dinas dengan korupsi yang mencolok mata. Korupsi yang dipamer-pamerake. Ini lho, aku bisa korupsi, walaupun hanya beberapa liter premium.
Banyak contoh pejabat yang dikira temuwa, mibawani, nuladha, eh nggak tahunya kesamber KPK dan menjadi tokoh negatif. Apa mereka tidak kasihan terhadap anak cucu mereka yang pasti kebagian rasa malu? Semua karena uang. Penggelapan uang dengan cara apapun adalah pekerjaan orang dewasa. Ini kaitannya dengan karakter personal. Tetapi karena pelakunya banyak, maka orang banyak menyimpulkan bahwa ini menjadi karakternya bangsa kita. Kasihan dong yang orang baik-baik digebyah uyah padha asine, dianggap sama bahwa setiap orang Indonesia karakternya seperti tokoh kasus-kasus negatif.
Mengingat kata para pakar, karakter bangsa kita sudah hampir terjerembab tak bisa dibanggakan, maka muncul langkah-langkah preventif (sebenarnya kuratif) berupa menggali kembali pendidikan karakter di sekolah. Yang paling enak adalah menyalahkan guru. Sekitar tiga tahun lalu Pak SBY pada peringatan Hardiknas pernah menyatakan : “Oleh karena itu, saya ingatkan kepada para pendidik, baik formal maupun nonformal, bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan, tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai, serta kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia!”
Pernyataan di atas tentu mengandung makna bahwa gurulah yang harus mengajarkan pendidikan karakter. Jika sekarang sistem menjadi kacau karena karakter manusianya jauh dari harapan , layakkah guru dipersalahkan? Disebut oleh Pak SBY, “formal dan nonformal”. Ketika kesadaran kita berlanjut, kita masih ingat ada satu sisi lagi yakni pendidikan informal. Ambil contoh misalnya rumah, masjid dan tempat ibadah pada umumnya. Rumah sebagai tempat pertama pendidikan karakter. Kualitas rumah dan seluruh isinya inilah yang sebenarnya akan membangun watak yang sesungguhnya dari seorang generasi.
Rumah berisi anggota keluarga , perabot, dan perlengkapan. Perlengkapan yang memberi daya magic kepada generasi muda adalah televisi dan internet. Banyak berita tentang kasus-kasus korupsi, pencucian uang, pedofilia, korban oplosan, tawuran antar kampung, tawuran antar pelajar menjadi suguhan sehari-hari.  Banyak acara-acara televisi yang jauh dari nilai pendidikan, tetapi tidak pernah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia. Acara dagelan murahan, banyolan saling ejek dengan bahan ejekan fisik, kuis-kuis yang tidak ada makna pendidikannya, ghibah tentang permasalah kekacuan keluarga para selebriti, acara takhyul, acara clemongan live yang nabrak waktu sholat maghrib. Ini adalah sebuah anti positif yang lambat laun akan menjadi kebudayaan bagi generasi muda. Inilah teladan yang sesungguhnya. Kata guru di kelas : contoh lebih mujarab dibandingkan nasehat. Seberapapun guru ngotot menasehati di kelas jika fakta kehidupan masyarakat yang sesungguhnya tidak baik, maka lebih potensial ketidakbaikan itu akan meracuni jiwa para siswa. Jika di sekolah, upaya pengembalian pendidikan karakter sasarannya adalah siswa. Siswa menerima informasi dan motivasi dari guru. Seberapa persenkah tingkat efektivitasnya? Sementara ada pengaruh lain (yang umumnya lebih besar) di lingungan keluarganya, dari layar TV. Belum lagi jika berurusan dengan HP pintar , game online . akses internet dan lain-lain yang sangat akrab bahkan layaknya sebagai makanan wajib anak-anak jaman sekarang.
Masygul. Kita masih masygul bahwa Pancasila hingga detik ini masih belum dijadikan sebagai obor di tengah kegelapan pikir agar tidak salah jalan. Di atas saya sebutkan, untuk orang dewasa, Pancasila adalah implementasi. Anak cucu kita di rumah butuh teladan dan nasehat kita selaku orang dewasa. Tak ada sekolah untuk orang dewasa yang isinya nasehat-nasehat seperti dialami anak cucunya. Maka jika ada i’tikad untuk memperbaiki diri,  para orang dewasa harus mau membaca. Membaca dalam arti yang sesungguhnya. Dengan membaca buku-buku tuntutan akhlak yang baik, harga diri tetap terjaga karena tidak dinasehati orang secara langsung. Di sisi manfaat, hidup yang baik adalah sebuah tujuan. Maksudnya bagi orang dewasa, maknai kembali Pancasila. Pancasila adalah tuntunan jalan beragama, tuntunan akhlak agar berperikemanusiaan, tuntunan akhlak dalam bersatu mengurus negara, tuntunan akhlak dalam bermusyawarah, serta akhlak tentang kemudahan akses untuk memperoleh keadilan sosial. Tak perlu hafal butir-butir penjabarannya, karena Pancasila bagi orang dewasa adalah implementasi. ***
Keterangan Bahasa Jawa :
1.      Ngglayem = ngomong sekenanya sambil tidak serius.
2.      Genahe priye to? = Jelasnya bagaimana?
3.  Ngenes temen = Merana benar
4.  Ndandani = memperbaiki
5.  Gak jelas alang ujure = Tidak jelas posisinya
6.  Dipamer-pamerake = dipamer-pamerkan
7.  Temuwa, mibawani, nuladha = Tampak dewasa, berwibawa, bisa diteladani
8.  Digebyah uyah padha asine = Dianggap sama sebagaimana garam berasa asin