Bulan desember 2018 pertemuan alumnus haji 2006
berlangsung.
Kali ini bertempat di rumah Haji Sujapar. Pertemuan
menjaga silaturahim sesama jamaah haji tak seperti bulan lalu. Dulu di awal
tahun pertama ada tiga puluh tujuh peserta. Seiring berjalannya waktu, telah
banyak anggota yang meninggal.
Bulan lalu masih ada tujuh peserta yang tersisa,
kini di rumah Haji Sujapar tinggal lima orang. Haji Sujapar, Haji Hambali, Haji
Abdul Kohar, Hajjah Syarifah dan Hajjah Maryati.
“Kita tinggal berlima, seperti ikrar kita dulu di
bulan pertama usai hajian 2010, kita akan selalu menghidupkan silaturahim ini.
Sampai kapan Pak Haji Hambali?” tanya Haji Sujapar seraya tersenyum. Yang
ditanya manggut-manggut.
“Sungguh sakral …..” kata Haji Hambali seperti
bergumam.
“Terangkan Hajjah Maryati!” kata Haji Sujapar
berganti kepada perempuan yang dikenal pendiam.
“Ikrar kita, persaudaraan haji ini sampai maut
menjemput kita masing-masing.”
“Alhamdulillah …. begitulah ikrar kita dua belas
tahun yang lalu.” Kata Haji Sujapar tertawa sumringah.
“Kita kan tetap mengadakan pertemuan ini sampai
kapanpun, terserah mau berapa orang di antara kita yang masih diberi kesempatan
hidup oleh Allah.” Sela Haji Abdul Kohar.
“Insya Allaaaaahhhh!
Dari kelima haji tersebut, Haji Sujapar adalah duda.
Istrinya Hajjah Saodah telah meninggal dua tahun lalu. Haji Hambali duda sejak
naik haji. Haji Abdul Kohar dan Hajjah Syarifah adalah suami istri. Yang
terakhir adalah Hajjah Maryati, suaminya meninggal lima tahun yang lalu.
***
Paaak!
Haji Sujapar tergagap. Laki-laki itu tersadar dari
lamunanya. Ia baru sadar rupanya baru menyadari kalau anak laki-lakinya dari
tadi telah menunggunya untuk menengok anak dan memantu Hajjah Maryati yang baru
pulang haji kemarin hari Jumat.
Hari itu Haji Sujapar bersama anaknya menyambut anak
menantu Hajjah Maryati. Hingga agak siang keduanya berpamitan. Namun ketika
sudah berada di teras, Haji Sujapar menepok jidat sendiri. Ia menepuk pundak
anaknya.
“Ahmad, kamu tunggu di mobil, ayah ada perlu lagi
dengan Bu Hajjah.”
“Oooo…”
“Ada yang lupa.”
“O iya Yah.”
Setelah anaknya menuju mobil, Haji Sujapar memandang
Hajjah Maryati. Yang dipandang mengernyitkan dahi.
“Boleh kita bicara sedikit lagi?” tanya laki-laki
itu pelan.
“Benar Bu Hajjah, ada satu yang terlupa.”
“O iya silakan, mari masuk ….. silakan duduk!”
Setelah duduk kembali di ruang tamu, Haji Sujapar
menghela nafas dalam.
“Begini Bu Hajjah …. Kita ingat ikrar persaudaraan
haji, terakhir kali di rumah saya setengah tahun silam. Ketika kita berlima.”
“Iya , iya.”
“Bulan Januari lalu, Haji Abdul dan Hajjah Syarifah
telah dibawa putranya ke Aceh. Lalu… mmm….. Haji Hambali telah wafat bulan
kemarin.”
“Iya… rasanya begitu cepat mereka meninggalkan
kita.”
“Akhir Oktober ini, kita pertemuan di siapa?”
“Seharusnya di rumah Haji Abdul Kohar, tapi ….”
“Itulah masalahnya.”
“Kalau begitu di rumah Pak Haji saja.”
“Masa di rumahku lagi?”
“Ya sudah, akhir Oktober kita pertemuan di sini.”
“Kita tinggal berdua ……” kata Haji Sujapar pelan.
“Hmh….. “ Hajjah Maryati mendesah. Matanya
menerawang kosong. Sahabat-sahabat alumnus persaudaraan haji telah hampir
habis.
“Masihkah kita tetap memegang teguh ikrar sampai
mati?”
“Nggak tahu.”
“Persaudaraan dibubarkan tidak mungkin.”
“Apakah kita berdua juga harus tetap bertemu?”
“Ikrar. Isi ikrar itu demikian ….”
“Kalau begitu akhir bulan ini kita bertemu, di
sini.”
“Itu keputusan yang jelas. Saya setuju bu Hajjah….”
“Iya, iya …..”
***
Sejak pertemuan terakhir mengingatkan ikrar, Haji Sujapar merasa aneh
sendiri. Rumah keduanya tidak terlalu jauh, hanye bersebelahan desa. HP
keduanya punya. Grup WA persaudaran juga masih ada, hanya saat ini anggotanya
tinggal empat. Sayangnya, yang dua di Aceh, yang lain di Majalengka.
Selain itu kadang-kadang pula Haji Sujapar bertemu dengan Hajjah Maryati.
Jadi jika akhir bulan ada pertemuan persaudaraan haji, bagaimana? Namun
laki-laki itu memutuskan untuk tak ambil pusing. Ketemuan biasa ya biasa,
pertemuan persaudaraan haji adalah pertemuan organisasi.
Hari itu hari terakhir bulan Oktober. Sesuai janji dan jadwal,
pertemuan persaudaraan haji bertempat di Hajjah Maryati. Laki-laki itu telah
beberapa saat duduk terpekur di karpet yang di tengahnya telah terhidang
beberapa penganan. Laki-laki itu mendesah.
“Apa acara kita hari ini Bu Hajjah?”
“Tidak tahu.”
“Apa yang harus kita bahas lagi kali ini?”
“Tidak tahu.”
“Terus apa gunanya kita bertemu?”
“Silaturahim.”
“Dalam kebingungan begini?”
“Tidak tahu.”
“Ikrar persaudaraan? Silaturahim sampai mati?”
“Ya kenapa tidak?”
“Ibu Hajjah, maaf, maaaaaf banget , bagaimana jika … jika ….. emmm tapi
maaf ya…” tiba-tiba tenggorokan laki-laki itu terasa tersekat.
“Kenapa Pak Haji?”saja.
“Emmm…. tapi saya berharap Bu Hajjah tak akan marah.”
“Oh… bapak serius?”
“Serius. Serius minta maaf sebelumnya.”
“Katakanlah.”
“Bu Hajjah Maryati … emmm….. emm…… kenapa kita tidak berfikir jika
silaturahmi haji antara kita, kita lakukan di rumah kita saja?”
“Maksudnya?”
“Rumah kita. Ya, rumah kita. Bukan rumah Bu Hajjah ataupun rumah
Sujapar.”
“Pak?”
“Kita tinggal satu rumah.”
“Pak?”
“Silaturahim sampai mati.”
“Pak?”
“Di penghujung usia kita yang sudah hampir tujuh puluh tahun, kita
masih butuh teman untuk bertukar fikiran. Untuk saling menumpahkan kegelisahan
hati. Juga menjalankan amanat persaudaraan haji kita. Haji Abdul dan Hajjah Syarifah
sudah pasti, mereka suami istri. Praktis tinggal kita berdua. Bukankah itu akan
lebih baik, dan lebih bermanfaat silaturahim kita jika kita satu… kita satu
rumah … resmi…. res …. resmi sebagai suami istri…..”
Hajjah Maryati tertunduk.
Wanita tua itu sama sekali tak menyangka Haji Sujapar menyatakan itu
begitu lugas. Selama ini tak ada firasat apa-apa. Namun sebagai wanita ia tidak
serta merta menyambut ajakan Haji Sujapar. Namun tetap saja ajakan laki-laki
itu menjadi bahan pikiran dan ia coba turunkan ke hati, secara perlahan.
***
Malam telah larut.
Dahlan, anak Hajjah Maryati yang baru pulang menunaikan ibadah haji
tahun ini, melihat ibunya terpekur di mushollah rumah. Perempuan tua itu lama
tertunduk. Bahkan kemudian terdengar suara isaknya.
Perlahan anak laki-lakinya itu mendeham. Perempuan tua itu menoleh.
Anak laki-lakinya itu dipeluknya.
“Dahlaaan…..”
“Ibu menangis?”
“Kenapa Ibu? Tak biasanya ibu seperti ini, biasanya ibu tegar
menghadapi semua masalah.”
“Dahlan ….”
“Iya Bu.”
“Kamu ingin tahu apa yang menyebabkan Ibu menangis?”
“Kalau ibu berkenan, silakan Ibu cerita……”
“Dahlan ….”
“Iya Bu.”
“Dahlan, setua ini, kemarin ada yang mengajak Ibu menikah lagi.”
“Wah???? Bener Bu?” tanya Dahlan kaget sambil mengguncang-guncang
pundak ibunya.
“Kok kamu tampak gembira?”
“Syukurlah Ibu …. Ibu bakal punya teman.”
“Kamu betul gembira?”
“Doa Dahlan terkabul Bu!”
“Doa apa Lan?”
“Siapa yang mengajak Ibu menikah Bu?”
“Pak Haji Sujapar.”
“Alhamdulillaaaahhhhh ya Allah ya Rabb! Terkabul doa hamba…..” kata
Dahlan lalu bersujud syukur, kemudian memeluk ibunya.
“Kenapa rupanya?”
“Setiap usai thowaf, baik wajib, maupun yang sunah, Dahlan akhiri
dengan sholat dan doa di depan Multazam, sebuah tempat mustajabah di antara
Hajar Aswad dan Pintu Ka’bah. Doa agar ibu hamba disatukan dengan Pak Haji Sujapar.
Ya Bu, Dahlan berdoa sejak menginjakkkan kaki di masjidil Harom, hingga saat
thowaf Wada’. Termasuk pula di tempat musjabah lain seperti Roudhoh di masjid
Nabawi dan sebagainya.”
“Dahlan……..”
“Maafkan Dahlan ibu …… putra Ibu ini tahu, di persaudaraan haji tinggal
Pak Haji Japar dengan Ibu. Akan lebih berkah jika Ibu dan beliau bersatu.”
Perempuan tua itu memeluk anaknya kembali. Kali ini tangisnya lebih
deras. Ia tahu, kemustajaban Multazam disaput keikhlasan akan mendatangkan
bukti nyata.
Hari berikutnya perempuan tua itu menata hati. Menahan detakan tak
keruan di dadanya ketika sesekali Haji Sujapar menelpon, atau mengatakn hal
lain. Dan tentu ketika minggu depan ia akan mendengarkan jawaban perempuan itu.
Hajjah Maryati telah siap mental. Terbayang di matanya, 2005, ketika di
depan multazam juga mendoakan kebehagiaan untuk anak-anaknya. Kini semua
anak-anaknya berbahagia bersama keluarganya.
“Assalaamu’alaikum bu Hajjah!” terdengar kalimat Haji Sujapar di HP.
“Multazam!” jawab Hajjah Maryati.
“Apa Bu?”
“Mmmm…. mm… maaf… maaf…. Pak Haji, wa’alaikumusalam!”
Perempuan tua itu menghela nafas dalam. Ia menata hatinya yang kali ini
berdetak tidak keruan mendengar suara dari laki-laki yang datang dari doa
anaknya. ***
*Majalengka, Oktober xxxx