Purbaya keluar kantor.
Di luar tinggal Satpam Jaman yang masih ada di
ruang jaga dekat gerbang. Laki-laki itu melihat kunci kontak yang digenggamnya.
Huuh!
Purbaya mendesah. Mobilnya tinggal sendirian.
Nur, istrinya pasti belum mau dijemput. Sejak sebulan lalu perempuan itu
konsentrasi ke pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pulang ke rumah
rata-rata pukul 20.00-an. Seringnya menyewa taxi. Purbaya menjemput hanya
sesekali, jika ditelpon.
Kantor redaksi Majalah Keluarga Samara bagi
Nurjanah adalah rumah keduanya. Namun kantor majalah yang punya visi Sakinah,
Mawaddah, dan Rahmah, akhir-akhir ini justru seperti menjadi rumah utamanya.
Purbaya sebagai suami mencoba memakluminya. Majalah Samara berdiri atas
perjuangan istri dan rekan-rekan satu pengajian di kampus dulu.
Sebagai orang yang merasa membidani lahirnya
Majalah Samara, tentu ia merasa punya tanggungjawab yang sangat besar. Apalagi
di dalamnya visi yang dipilih memiliki misi mengimplementasikan ajaran Islam di
dalam keluarga, demi kebahagiaan sebuah keluarga.
Pertengahan bulan depan adalah perayaan Ulang
Tahun ke-7 Majalah Samara. Sebuah angka yang menurut pendapat sebagian orang
adalah angka yang bagus. Sebagaimana angka 1, 3, 4, 7, 8, 10, 25, 50. 1 berarti
ulang tahun sawarsa, 3 ulang tahun triwarsa, 4 ulang tahun catur warsa, 7 ulang
tahun saptawarsa, 8 ulang tahun windu mustika, 10 ulangtahun dasawarsa, 25
ulang tahun perak, 50 ulang tahun emas dan sebagainya.
Kadang-kadang orang menyemangati dirinya dengan
angka-angka yang berkaitan dengan tanggal kelahirannya sendiri. Kadang-kadang
sebagian orang Jawa menyemangati diri dengan ulang tahun neptu. Kelahiran
Selasa Pon, Selasa 3, Pon 7, neptunya 10, maka ia akan menyemangati dirinya
pada ulang tahun kelipatan angka 10. Ulang tahun disebutnya tanggap warsa, 10
tanggap warsa neptu kasiji, 20 tanggap warsa neptu kaloro, 30 tanggap warsa
neptu katelu dan sebagainya.
Para ayah atau orang kita mungkin sebagian
masih menyimpan jimat berupa buku
primbon. Entah dengan judul apa. Tetapi bagi para generasi mudanya jika
penasaran, biasanya lari ke toko buku adalah Kitab Primbon Betal Jemur Adam
Makna, atau bahkan di pedagang eceran di trotoar-trotoar.
Purbaya sendiri heran.
Sebagai landasan visi majalahnya adalah nuansa Islam,
tetapi mengapa istrinya masih bersikukuh bahwa angka 7 adalah angka istimewa.
Tapi laki-laki sebenarnya tidak terlalu menggubrisnya. Yang menjadi fokus
perhatiannya adalah ketidakadaan Nur di rumah menjadikan rumah sepi. Kadang ia
pulang jam lima sore. Nur tidak ada. Setelah mandi ia menyeduh teh sendiri,
kemudian mencari makanan kecil sendiri di kulkas atau di lemari makan.
Akan halnya kedua anaknya, Syifa dan Taufik,
Purbaya dan Nur mengalah kepada keinginan kedua orang tuanya. Lagi-lagi urusan
dengan angka 7. Kata orang tuanya pada tahun ke-7 pernikahannya dengan Nur,
kedua anak itu harus pindah sekolah dulu. Nanti setelah satu tahun sekolah di
neneknya, barulah kedua anaknya itu dikembalikan lagi. Dulu Purbaya dan Nur
tidak memahami permintaan orang tua Nur, tapi karena itu nadzar ketika keduanya
akan menikah, maka dengan berat hati, Purbaya dan Nur melepas kedua anaknya.
Sekarang Syifa dan Taufik bersekolah di rumah kakek neneknya di Purwokerto. Ya,
sebuah jarak yang cukup jauh dari Majalengka jika keduanya kangen kepada
anaknya.
Purbaya mendadak menghentikan lamunannya ketika
satpam tergopoh-gopoh mendekat.
“Bapak….. maaf ada telpon dari Ibu.” Purbaya
kaget oleh kata-kata satpam Jaman.
“Ohh… telpon di mana? Wah iya, HP-ku
ketinggalan.”
“Di line
ruangan saya Pak. Katanya hubungi Ibu.”
“Oh ya sudah….”
Purbaya bergegas masuk ruangan. Benar, hand-phone miliknya tergeletak di meja.
Bergegas mengambil HP yang masih kelihatan log
masuknya.
“Assalamu’alaikum Jeng, tadi nelpon ya?” tanya
Purbaya pelan.
“Iya. Mas dimana?”
“Mau pulang. Tadi ini juga diberi tahu Pak
Jaman, makanya saya kembali ke ruangan. HP ketinggalan.”
“Ooochhh…..”
“Mau dijemput?”
“Ah enggak Mas. Editing kali ini lumayan rumit
Mas. Mohon pengertiannya ya. Aku pulang sekitar pukul 21-an.”
“Malam sekali?”
“Oooo.. ya sudah kalau begitu.”
“Mas nggak marah kan?”
“Nggak. Maksudnya, nggak tahu nih.”
“Jangan marah dong Maaas…. Ini ulang tahun
ke-7. Terbitan yang akan di-launching
pada perayaan nanti harus benar-benar mantap….. ijin ya Mas yaaaa…..”
“Ya…..”
***
Hari itu Jumat siang.
Purbaya tersenyum simpul. Ada ijin dari Nur.
Istrinya telah menyuruh makan di luar, maka dengan bergegas ia memasuki
mobilnya. Siang itu Purbaya menuju luar kota. Dua puluh menit mobilnya melaju
menuju kota Rajagaluh, kota penyangga Metropolitan Majalengka. Mendekati Rumah
Makan Zet Sari Tani, wajah Purbaya sumringah.
Tepat seperti apa yang diduganya, di halaman rumah makan itu terparkir
mobil Jazz merah metalik.
Jazz merah itu setiap Jumat siang selalu di
sana. Dulu Purbaya mengamati seperti itu. Sekarang pemilik mobil itu telah
menjadi kenalannya. Teman berbincang-bincang saat makan.
“Assalaamu’alaikum Dewiiii……” sapa Purbaya
sambil duduk di depan perempuan muda. Yang disapa masih menghadapi meja kosong,
hanya segelas jus warna jingga yang dipegangi gelasnya.
“Wa’alaikumussalam. Tumben agak siang Mas Pur?”
“Sekali-sekali nggak apa-apa kan. Jumat yang
menyenangkan.”
“Bukannya malam Minggu yang menyenangkan.”
“Jumat.”
“Kenapa?”
“Ada ikon baru Jazz Jumat yang membawa rahmat!”
“Uuuiiiih… ngaco saja! Bagaimana kabar Mbak
Nur? Sehat?”
“Alhamdulillah sehat. Katanya malah mau lembur.
Tadi malah baru saja nyuruh aku makan di luar, ya sudah. Katanya sih ultah ke-7
Samara harus sukses.”
“Maklum Mas. Mohon dipahami. Punya seorang
istri penulis, harus panjang ususnya,
kudu sabaaaaaaaar. Penulis itu, kalau sudah ngurus tulisan karyanya, sampai
lupa waktu. Kadang-kadang suami sampai diabaikan. Nuliiiiis melulu. “
“Betul itu.”
“Saya yakin Mas Pur punya pengalaman, Mbak Nur
suka nulis hingga lewat tengah malam kan?”
“Tepat.”
“Itulah candu menulis Mas. Kalau sedang datang
inspirasi, jangan harap orang lain menghentikan kegiatannya. Apalagi sekarang,
sudah penulis, menjadi anggota dewan redaksinya. Ya sudah, hidupnya lengkap,
bakat, kesempatan, kesenangan, rejeki, semuanya dari situ. Seperti saya ini
laaahhh!” kata Dewi sambil memanggil pelayan untuk memesan makanan.
Dewi, perempuan itu pernah satu kampus dengan
Nurjanah, istri Purbaya. Hanya beda jurusan. Pernah bareng-bareng mengurus
bulletin mahasiswa di kampus. Kini setelah tujuh tahun kelulusan, keduanya
berpisah, dan masing-masing punya tempat mengais rejeki di tempat yang
disenangi. Nurjanah berkiprah di Majalah Samara Majalengka, Dewi di Taboid
Tunas Cirebon. Purbaya mengenal Dewi tidak sengaja, ketika sedang makan di
rumah makan Zet Sari Tani ini.
Kedatangan Dewi yang rutin di kota Rajagaluh sebenarnya sedang melakukan
riset tentang pengembangan varietas unggul durian Sinapeul. Sekitar enam Jumat
laki-laki itu mengenal Dewi. Tak banyak perbedaan jalan pikiran Dewi dengan
Nur, mungkin karena keduanya sama-sama penulis. Sebenarnya Purbaya tidak suka
menulis, namun pembicaraan dengan penulis dirasakan Purbaya nyaman. Dengan
Nurjanah nyaman, dengan Dewi pun nyaman.
***
Malam itu Purbaya gelisah.
Jam dinding sudah menunjukkan angka 10.05 . Nur
belum pulang. Janji pulang sekitar pukul 21-an tak ditepati. Tidak biasanya
istrinya mengingkari janji. Dihubungi HP-nya tidak aktif. Tapi laki-laki
mencoba mencari sesuatu yang bisa melegitimasi
keterlambatan istrinya. Mungkin jalan macet. Mungkin ada perubahan konsep layout. Mungkin HP sedang di-charge, dan masih banyak lagi
kemungkinan.
Mempertimbangkan hal-hal yang tidak pasti
membuat hati Purbaya tidak nyaman. Akhirnya Purbaya memutuskan untuk menyusul ke kantor
Redaksi. Dengan kesal hati laki-laki itu mengeluarkan mobilnya dari garasi. Jalanan
sudah tidak seramai siang hari. Maka jarak sekitar dua puluh kilometer hanya
ditempuh dalam waktu sepuluh menitan.
Halaman kantor Redaksi Majalah Samara.
Benar, kantor itu masih semarak. Purbaya memarkir mobilnya perlahan. Beberapa
oraang melihat ke arah mobilnya. Yang mengenali mobilnya manggut-manggut. Yang
tidak terlalu mengenal bertanya kepada temannya. Laki-laki itu keluar dari
mobil, kemudian menuju ke lobby kantor.
“Waduuuh….. Mas Purbaya! Kangen ya?” sambut
salah seorang wanita sambil mendekati. Perempuan itu adalah Linda, pemimpin
redaksi.
“Oooo Bu Linda, ramai sekali ya Bu.”
“Ya ramai dong. Ulang tahun ke-7, harus
semarak. Jadi seluruh personal harus kerja keras.”
“Oh syukurlah, mudah-mudahan acaranya sukses.”
“Amin Mas Pur. Cari Nur ya?” tanya perempuan
itu menebak.
“Benar Bu. Ada dia?”
“Ada… silakan duduk dulu Mas. Eh maaf ya jika
sekali-kali sang istri pulangnya larut.”
“Saya pikir sampai jam sembilanan Bu.” kata
Purbaya sambil duduk.
“Aaah… jam Sembilan masih terlalu sore. Tidak
mungkin lah!”
“Wah, tadi istri saya bilang pulang sekitar jam
sembilanan. Makanya saya susul , sekarang sudah pukul setengah sebelasan.”
Bu Linda tak menimpali lagi. Ia memanggil Otam,
illustrator Samara yang ada di dekatnya.
“Ibu Nur suruh kemari Tam, kekasihnya datang.
Bilangin begitu.”
“Mbak Nurjanah?”
“Iya.”
“Bukannya….. bukannya ia pergi bersama Mas
Sapto?”
“Sapto? Bukannya ….. emmm…… “ Bu Linda
mengatupkan bibir.
“Nur pergi dengan Mas Sapto? Siapa Sapto?”
tanya Purbaya.
“Orang percetakan.”
“Hanya bedua?” tanya Purbaya menyelidik.
“Berdua Tam?” tanya Bu Linda pada Otam.
“Setahu saya begitu. Mungkin.”
“Pakai mobil?”
“Motor Bu.”
“Maaf
Bu Linda….. “ kata Purbaya menyela, “ …… tadi Nur saya telpon berkali-kali
tidak menyahut. Barangkali di ruangan HP-nya ketinggalan?”
“Oh
iya, Tam , tolong chek di ruang Bu Nur, barangkali HP-nya ketinggalan.”
Pemuda
yang disuruh Bu Linda bergegas memenuhi perintah atasannya. Sepeninggal Otam,
Purbaya mendesah. Bu Linda mengerti apa yang menjadi kegelisahan Purbaya.
“Tenang
Mas Pur …. tak ada yang dikhawatirkan di Samara ini.”
“Ibu
yakin?”
“Saya
tahu siapa Sapto, saya tahu siapa Nur. Tak ada apa-apa di antara keduanya.”
“Tapi
ini malam-malam Bu. Setengah sebelas malam. Bagaimana mungkin keduanya tak
dipandang ada apa-apanya pergi berduaan. Pakai
motor lagi.”
“Ya,
ya ….. kami mohon maaf Mas Pur. Saya sebagai pemimpin redaksi menjamin, tak ada
apa-apa di antara keduanya.”
“Maaf,
ibukah yang menyuruh keduanya pergi?”
“Tidak.
Saya hampir tidak mengurus langsung masalah teknis. Memang saya tidak tahu
kepergiannya, tetapi saya jaminannya Mas.” kata Bu Linda meyakinkan.
Beberapa
jenak kemudian Otam datang. Ia melapor bahwa HP Nur ada di ruangannya sedang
di-charge. Purbaya meminta agar Otam
mengambilkan HP istrinya. Pemuda itu berbalik kembali, kemudian datang dengan
membawa HP.
“HP
ini saya bawa pulang Bu.” kata Purbaya seraya menerima HP dari Otam.
“Kalau
Nur mau menghubungi Mas, bagaimana?”
“Biarlah.
Tak perlu menghubungi saya.”
“Emmmm
…. Terserahlah.”
“Saya
pamit dulu Bu.”
“Tidak
menunggu Nur datang?”
“Tidak.
Terimakasih atas keterangannya….”
Tanpa berpanjang kata lagi Purbaya meninggalkan
kantor redaksi Samara. HP istrinya dimasukkan ke dalam sakunya. Dadanya
benar-benar terasa sesak. Ia sama sekali tak menyangka Nur melakukan hal ini.
Sangat jauh dari dugaan. Istrinya yang menurut pandangan banyak orang sebagai
orang berkeyakinan ekstrim kini
justru pergi berduaan malam-malam. Bahkan sampai kini juga tak jelas entah ke
mana.
Nurjanah dipandang ekstrim di kalangan teman-temannya karena beberapa hal. Ia tak mau
bersalaman dengan laki-laki selain muhrimnya. Ia tak masuk koperasi anggota
Samara lantaran memandang jasa koperasi adalah riba haram. Tak mau menemui tamu
laki-laki jika Purbaya, suaminya, tak ada di rumah.
Tengah malam Purbaya masih tergeletak di sofa.
HP Nurjanah ada di genggamannya. Barang inilah
yang tentu banyak menyimpan rahasia. Purbaya dan Nurjanah telah sepakat tak
akan membuka HP satu sama lain kecuali atas ijin yang empunya. Namun kali ini
hati Purbaya penasaran ingin sekali membuka isi HP istrinya. Ia ingin tahu ada
rahasia apa di dalam benda itu.
Jari-jari Purbaya siap menekan tombol untuk
membuka HP Nurjanah, namun hingga beberapa detik jari itu terdiam di atas tuts.
Hatinya gundah campur penasaran. Seandainya ia menemukan affair di dalam HP itu antara istrinya dengan laki-laki lain, apa yang
yang akan dilakukan? Seandainya tidak? Sejenak dalam kebingungannya terlintas
wajah Dewi.
Ah! Dewi, Dewiiii! Gumamnya.
HP istrinya diletakkan di atas meja. Ia
mengambil HP miliknya. Ditulisnya beberapa kalimat dalam SMS, “….. maaf mengganggu tengah malam begini. Boleh
menelepon Wi?” . SMS itu kemudian dikirim. Dalam hitungan tidak sampai dua
puluh detik datang balasan Dewi , “ boleh”
Akhirnya dengan wajah ceria Purbaya menelepon
Dewi.
“Maaf nih Wi, malam-malam begini.” katanya
basa-basi.
“Aku belum tidur kok.”
“Tengah malam begini?”
“Tau sendiri Mas Pur, pasca lebaran Tabloid
kami harus tampil beda.”
“Apa hubungannya dengan tengah malam?”
“Aku masih di kantor.”
“Astaghfirullah ….. masih di kantor?”
“Di kantor?”
“Iya di kantor?”
“Taka da hari esok ya Wi.”
“Ada, tapi sudah dihitung volume kerjaannya.”
“Oooo detail banget!”
“Iya lah, harus begitu. Eh Mas, ada apa
malam-malam nelpon aku sih? Ntar Nur-nya marah malam-malam suaminya nelpon
janda.”
“Justru mumpung Nur nggak ada.”
“Mau selingkuh ya?”
“Iiih siapa yang mau selingkuh, nggak ada gadis
yang mau sama aku.”
“Maksudnya kalau yang janda ada yang mau ya?
Aku maksudmu?”
“Hhhh ….. nggak tahulah Wi!”
“Eh itu Nur di mana sih?”
“Justru itu, sama seperti Dewi, nglembur, untuk
ultah 7 itu. Tapi jam segini belum pulang.”
“Oalaaahh Mas, Maaasss ….. maklumi saja to!”
“Maklum bagaimana?”
“Kan dia orang nomor dua di Samara. Dan
pastinya Nur sudah ijin kan Mas?”
“Ijin sampai jam Sembilan. Ini sudah jam
berapa? Dini hari. Pantaskah seorang perempuan bekerja sampai malam seperti
ini?”
“Kau menyindirku Mas?”
“Ah, aahhh…. tidak. Maaf bukan itu masalahnya.”
“Lalu apa?”
“Dia pergi bersama laki-laki lain. Katanya sih
ke percetakan. Bayangkan Wi, malam-malam ke percetakan, bersama laki-laki,
berboncengan naik sepeda motor. Suami mana yang tidak marah?”
“Telpon saja laaah….”
“HP-nya tidak dibawa. Sekarang di tanganku.
Sekarang aku di rumah, sendirian.”
“Wahhhh….”
“Makanya aku minta saran Wi, bagaimana baiknya.
Aku mengira Nur selingkuh di belakangku.”
“Jangan sejauh itu Mas.”
“Tapi aku menduganya begitu. Mmmm…. Wi, aku mau
minta saran Wi.”
“Apa?”
“Bagus nggak, kalau HP Nur aku buka-buka.”
“Ah nggak mau ngasih saran ah… aku tidak mau
terlibat urusan rumah tangga Mas.”
“Iiih minta saran begitu saja nggak mau.”
“Asli Mas, jangan libatkan aku. Mas bukan anak
kecil, atasilah masalah itu sendiri.”
Mendengar perkataan Dewi seperti itu Purbaya
diam.
Ingin rasanya ia membagi masalahnya itu kepada
Dewi. Sebenarnya hati kecil Purbaya ingin menunjukkan bahwa Dewi ada pikirannya
ketika ia menghadapi masalah, Dewi ada dalam pikirannya di tengah malam-malam
begini. Dan yang paling disukai dari Dewi adalah suaranya.
“Wi, jadi benar nih nggak mau membantu?”
“Kali ini aku nggak mau ikut campur Mas.”
“Yaaaah…. Sudahlah, nggak apa-apa. Saya senang
malam-malam sudah dilayani bicara.”
“Saya hanya berharap Mas Pur dan Nur nggak ada
masalah lagi.”
“Ya terima kasih harapannya. Tapi, Jumat depan
kita ketemu lagi di Sari Tani ya?”
”Maaf Mas, riset artikelku tentang Duren
Sinapeul sudah tuntas. Mulai Jumat depan aku sudah nggak nongkrong lagi di Sari
Tani.”
“Yaaaahhhh………. Wi …… Dewiiiii……”
“Apa merengek?”
“Kapan ketemuan lagi?”
“Nggak tahu lah Mas.”
“Tapi boleh aku kangen sama Dewi kan?”
“Iiiihhhh sebel!”
“Aku suka suara Dewi, yang sekarang nempel di telinga
…. Wiiii….”
“Mas, ingat istrimu lhoooo! Ingat Nur.”
“Wi, permintaan terakhir dariku boleh ya?”
“Mas Pur mau mati ya? Pakai permintaan terakhir
segala!”
“Justru enggak mau mati, ntar kalau
sewaktu-waktu Dewi ganti nomor HP, beritahu aku ya?”
“Bisa saja!”
“Serius Wi.”
“Iya, yaaaa…. lagian siapa sih yang mau ganti
nomor? Kalau kepengin ketemu datang saja ke Cirebon, bareng Nur, ntar kita
makan bersama di Ampera, atau di Empal Asem Mas Tamim.”
“Hmh … nggak rame. Tapi nggak apa-apa lah,
terimakasih atas waktunya.”
“Iya sama-sama.”
“Wiiiii……”
“Apalagi?”
“Jaga kondisi dong, pulang segera, jangan
sampai sakit.”
“Iya terimakasih diingatkan.”
“Wiiiiii……”
“Apalagi?”
“Selamat malam …… Dewiiii…… cantiiiiik…” kata
Purbaya lembut.
“………. Hhhhhh”
Purbaya hanya mendengar desah nafas Dewi.
Setelah itu Purbaya merasakan nada kontak
diputus. Sejenak Purbaya merasa puas. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya di
tembok. Senyuman kecil menghiasi bibirnya. Wajah Dewi yang cantik berkelebat.
Namun sejenak ada perasaan kecewa ketika ingat kata-kata Dewi bahwa mulai
minggu depan perempuan itu tak ada lagi di sekitar Rajagaluh. Materi liputannya
sudah tuntas.
Setelah mengambil nafas dalam, pikirannya
kembali ke masalah semula. HP Nur diambilnya. Dengan penuh emosi ia membuka HP
Nurjanah. Ia lihat di kiriman SMS masuk. Tak ada yang aneh. Di SMS keluar juga
tak ada yang aneh. Purbaya mencoba di-log
telephon juga tak ada nama Sapto. Bahkan di daftar kontak pun tak menjumpai
nama Sapto atau yang sejenis. Nama yang awalnya menggunakan Mas juga tak ada
Mas Sapto. Mas Darmoyo ada, itu kakak Nurjanah. Mas Tauchid, itu kakak Purbaya.
Tak ada lagi selain itu. Atau dengan nama disamarkan? Duganya.
Thok! Thok! Thok!
Purbaya tersentak. Ia memasang telinga. HP yang
digenggam perlahan diletakkan di atas buffet dekat televisi. Telinganya kembali
mendengar pintu diketuk. Kali ini bahkan terdengar klakson mobil. Bergegas
kemudian laki-laki itu ke ruang depan. Matanya sempat melirik ke arah jam
dinding yang menunjuk angka 1.
Assalaamu’alakum Mas…..!
Purbaya mendesah ketika Nurjanah mengucap salam
kemudian mencium tangannya. Ia hanya diam.
“Mobil siapa itu?”
“Bu Linda.”
Mendengar nama pemimpin redaksinya disebut
Purbaya buru-buru menghampirinya.
“Ibu masuk dulu.”
“Terimakasih, sudah larut.”
“Ibu sendirian?”
“Sendirian. Insya Allah Majalengka masih aman.”
“Aaaaah …. bisa saja.”
“Jangan marahi istrimu ya , kasihan, capek.
Saya terimakasih telah dibantu sedemikian keras oleh Nur. Maaf juga kami dari
kantor mengambil banyak waktu yang seharusnya untuk keluarga. Tapi aman kok.”
Sepeninggal Bu Linda, Purbaya masuk rumah.
Setelah mengunci pintu laki-laki itu ke ruang tengah. Nurjanah duduk diam.
Perempuan itu telah diberitahu perihal kedatangan dirinya tadi sore ke kantor
redaksi. Rupanya perempuan itu memang merasa bersalah.
“Maafkan saya Mas …….”
“Jam berapa sekarang?” tanya Purbaya dengan
nada tinggi.
“Jam satu. Maafkan saya Mas, saya akui salah.
HP juga ketinggalan di meja kerja.”
“Ditinggal ke mana?”
“Percetakan.”
“Pantas nggak? Jeng, pikir pakai akal yang
jernih, jangan menuruti hawa nafsu! Pantas nggak malam-malam, seorang perempuan
bersuami, seorang pengasuh majalah Islam, majalah yang punya visi Sakinah,
Mawaddah dan Rahmah, pergi berduaan dengan laki-laki!”
“Astaghfirullah Mas ….. laki-laki siapa yang
Mas maksud?”
“Pura-pura lagi!”
“Benar Mas, saya tidak paham maksud Mas…..
tidak paham…”
“Sok suci lah! Anti bukan muhrim , tak mau
makan riba, atau apalah …… “
“Apa maksudnya Mas?”
“Tadinya aku sangat bangga punya istri yang
agamanya kuat, bahkan sangat kuat. Jarang perempuan yang sekuat kamu Jeng. Tapi
ternyata sama saja …..”
“Mas bicara apa Mas…….”
“Malam-malam berboncengan dengan Sapto, apa itu
bukan selingkuh?”
“Sapto siapa? Mas Sapto?”
“Itu, ituuuu…. Kamu menyebutnya Jeng.”
“Kenapa dengan Mas Sapto?
“Kamu ke percetakan malam-malam dengan dia kan?
Ber-bon-ceng-an! Berboncengan!”
“Astaghfirullaaahhhh……….. “ Nurjanah menutup
wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Tangisnya datang. Purbaya puas
mampu mengatakan sesuatu yang membuat Nurjanah menangis karena kesalahannya.
Beberapa jenak Purbaya membiarkan istrinya
menangis. Dadanya naik turun menahan marah, namun ia tak mau berbuat lebih jauh
marah dengan cara kasar. Baginya kata-kata yang membuat istrinya menangis sudah
cukup kasar dibanding dengan tamparan.
“Jeng………..”
“Iya Mas…………” kata Nurjanah seraya menyeka air
mata dengan punggung tangannya.
“Sebaiknya kamu nggak usah munafik!”
“Maaas! Aku tidak mengertiiiii…….”
“Lepaskan saja jilbabmu ituuuuuu!
Lepaskaaaaaan!”
"Masss!"
"Jilbab munafik! Nggak usah berjilbab sekalian!"
"Masss!"
"Jilbab munafik! Nggak usah berjilbab sekalian!"
“Maaaaaaaaaaassssss!”
Istrinya memandang Purbaya terbelalak tak
percaya terhadap apa yang baru saja ia dengar.
“Tidak pantas bagi perempuan sepertimu.
Selingkuh memang harus rapi, di HP-mu tak ada sama sekali SMS atau apa yang
berhubungan dengan laki-laki bernama Sapto.”
“Apa Mas? Jadi ….. jadi…. Mas membuka-buka HP
saya?” Nurjanah kini berdiri menghampiri Purbaya.
“Iya?"
"Kenapa?"
"Saya ingin tahu siapa Sapto, sejauh mana hubunganmu dengan Sapto.”
"Kenapa?"
"Saya ingin tahu siapa Sapto, sejauh mana hubunganmu dengan Sapto.”
“Mas Pur telah melanggar janji. Telah melanggar
janji ….. melanggar janji untuk tidak saling membuka HP kita masing-masing.”
“Demi kebaikan!”
“Kebaikan yang mana Mas? Apakah Mas temukan
sesuatu di HP-ku?”
“Rapi, memang rapi. Tak ada jejak. Rapi sekali
…….”
“Mas….. baiklah……” kata Nurjanah sambil menata
nafasnya, “ …. Baiklah kalau memang Mas menuduh saya. Saya terima tuduhan Mas.
Suatu saat jilbab ini akan saya lepas.”
“Bagus, bagus kalau begitu ……”
“Tapi ingat, jika ini perintah suami, saya akan
taat, tetapi semua dosaku Mas yang menanggung!”
“Enak saja?! Siapa yang berbuat?”
“Mas mau kalau saya bersumpah.”
“Terserah.”
“Mas mau kalau saya bersumpah demi Allah?”
“Terserah.”
“Jangan terserah, kalau memang sumpah ini akan
melegakan Mas, saya akan bersumpah demi Allah! Ini derajat sumpah yang paling
tinggi. Mas berani menanggung resiko apa tidak?”
“Terserah.”
“Mas berani?”
“Hmh…..”
“Maaf Mas, atas perintah Mas selaku suamiku, saya
akan lepas jilbab saya , saya tak akan memakai jilbab lagi ke manapun saya pergi, demi Allah …. Ji….jika…….”
Belum selesai perkataan Nurjanah, Purbaya
meremang bulu kuduknya. Hatinya gundah. Mendadak laki-laki itu bergegas
meninggalkan Nurjanah menuju kamar depan.
Dar!
Nurjanah tersentak mendengar suara pintu yang dibanting. Astaghfirullahal ‘adziim…… perempuan itu beristighfar.
Dar!
Nurjanah tersentak mendengar suara pintu yang dibanting. Astaghfirullahal ‘adziim…… perempuan itu beristighfar.
Dini hari telah lewat.
Malam yang seharusnya dipergunakan untuk
beristirahat, kini tak mau kompromi dengan matanya. Rasa kantuk tak kunjung datang
bersamaan dengan tuduhan suaminya. Mungkin tuduhan itu akan segera menjadi
terang, jikalau suaminya mau mendengar penjelasannya.
Nurjanah bukanlah tipe orang yang suka
berdebat. Ia tak pandai mengolah kata-kata dalam kehidupan nyata. Sebab
baginya, keluarga adalah kejujuran. Jika A dikatakan A, B dikatakan B, maka
sebenarnya tak ada masalah yang harus berlama-lama tanpa selesai. Adapun dengan
tiba-tiba ia punya keberanian menantang suaminya sumpah dengan demi Allah, adalah agar masalah cepat
selesai. Bagi Nurjanah yang tak ada masalah,
sumpah demi Allah adalah
sesuatu yang ringan. Dan sumpah inilah yang akan menyelesaikan masalah dengan cepat. Akan tetapi ternyata
suaminya tak berani meneruskan keinginannya untuk bersumpah.
Nurjanah mendesah dalam.
Jam setengah empat pagi. Tanpa tidur ia merasa
bahwa waktu tak ada batasnya sama sekali. Kehidupan kemarin dengan sekarang tak
ada bedanya sama sekali. Ia merasakannya ketika tak tidur sekejappun seperti
sekarang. Perlahan ia melangkah ke dapur. Segayung air ia jerang, kemudian ia
masukkan ke dalam termos. Setelah itu ia menengok ke macig-com. Tak ada nasi.
Ia merasa bersalah kepada suaminya kemarin ia menyuruhnya makan di luar.
Mungkinkah ini salah satu sebab emosi suaminya meletup? Seorang suami yang
merasa tak diurus oleh istrinya? Pikirnya. Nurjanah kembali mendesah dalam.
Maafkan aku Maaas….., gumamnya perlahan.
Pukul setengah lima adzan shubuh berkumandang.
Nurjanah melihat Purbaya sudah keluar dari kamar mandi, kemudian menuju mushala
dekat ruang belajar. Keduanya berpapasan.
“Berjamaah Mas…. ikut….. “ pinta Nurjanah
pelan.
“Nggak ah, aku shalat duluan saja.” kata
Purbaya langsung takbiratul ihram.
Air mata Nurjanah menitik.
Berjamaah bersama suami adalah hal terindah
yang bisa dibangun di dalam rumah setiap hari. Ia ingin dapatkan keindahan dan
berkah, mudah-mudahan suaminya luluh. Tetapi tidak. Ia melihat suaminya shalat
masih dalam keadaan marah. Sebagai pihak yang dituduh, Nurjanah mengalah. Saat
ini sepertinya tidak ada gunanya ngotot mengedepankan alasan. Sebenarnya ia
tahu, bahwa suaminya ragu atas tantangan sumpah tadi malam. Namun ia tak ingin
memperpanjangnya.
Usai shalat Purbaya memanaskan mesin mobil.
Sambil menunggu mesin panas, ia membereskan tas dan beberapa dokumen yang harus
dibawa hari itu.
“Makan dulu Mas, sarapan sudah siap.”
“Gampang, nanti di kantor saja, belum lapar.”
“Nasi goreng nagget bumbu Turki Mas, kesukaan
Mas.”
“Nggak. Ini HP-mu …… “ kata Purbaya seraya
menyodorkan HP milik Nurjanah. Nurjanah menerima dengan malas.
“Benar nggak sarapan Mas?”
“Kamu juga cepat-cepat tuh bantu Bu Linda.
Samara bakal timpang, bahkan runtuh, tanpa peran sertamu …..” kata suaminya.
Nurjanah mendesah. Ia tahu suaminya menyindir.
“Nggak, aku di rumah saja …..”
“Terserah…..”
Nurjanah maklum, suaminya benar-benar belum
bisa diajak kompromi. Pergipun tanpa mengucap salam sama sekali. Sepeninggal
suaminya Nurjanah menutup pintu, kemudian masuk dan duduk di kursi tepian meja
makan. Nasi goreng nagget bumbu Turki kesukaan suaminya sama sekali tak mampu
meluluhkan hati suaminya. Nurjanah melihat nasi buatan sendiri juga tak ada
selera sama sekali.
***
Jam delapan pagi kota Majalengka telah ramai.
Laju kendaraan tak terlalu lancar. Purbaya tak berniat langsung menuju ke
kantornya. Mobilnya dibelokkan ke halaman kantor percetakan Grafika Mulya, percetakan mitra Majalah
Samara. Hanya satu orang yang dicarinya, Sapto.
Kantor percetakan masih sepi, baru tampak dua
orang di ruangan depan.
“Maaf, saya mau ketemu dengan Pak Sapto ada?”
tanya Purbaya kepada mereka.
“Belum datang Pak.”
“Jam berapa biasanya datang?”
“Bisanya jam setengah sembilanan.”
“Saya tunggu.”
“Waduuuh Pak, bagaimana mungkin Bapak tunggu, pak Sapto sudah empat hari
dirawat di rumah sakit. Kalaupun sembuh rasanya hari ini belum datang Pak, harus
pemulihan dulu.”
“Dirawat? Emmmm ….. di kantor ini yang namanya
Pak Sapto ada berapa orang?”
“Hanya satu, ya Pak Sapto ini. Pak Sapto
Wibowo.”
Terpekur Purbaya demi mendengar keterangan
orang di percetakan. Laki-laki itu memegang jidatnya sendiri. Tadi malam ia
mendengar Otam di kantor redaksi mengatakan Nurjanah dibonceng Mas Sapto. Apa
aku mimpi? Katanya seraya menepuk jidatnya sendiri.
“Kenal dengan Bu Nurjanah nggak?” tanya Purbaya
kemudian sambil menyebut nama istrinya.
“Yang dari Samara?”
“Iya.”
“Kemarin memang Bu Nur ke sini, sore sih. Memang
pulangnya agak malam. Tadi malam juga kalau tidak salah dijemput oleh Bu Linda
langsung.”
“Jadi Bu Nur di sini sejak sore?”
“Ya begitulah. Shalat maghrib dan ‘Isyanya juga
di situ …. “ kata orang itu seraya menunjuk masjid kecil di halaman samping
kantor percetakan.
Gila orang itu!
Dalam benak Purbaya ia berkelebat wajah Otam.
Pemuda itulah yang harus bertanggungjawab atas kemarahannya kepada Nurjanah.
Ingat hal tersebut, Purbaya menelpon Bu Linda.
“Hallo maaf ibu …..”
“Kok gugup begitu, ada apa Mas Pur?”
“Mau bicara dengan Otam bisa nggak?”
“Emmm… sebentar, saya juga baru sampai kantor.
Nanti saya beritahu nomornya….. eh, itu ada orangnya Otaaam…. ada telephon
untuk kamu.“ Purbaya mendengar dialog di telephon. Kemudian ia merasakan ada
gemerisik HP yang dialihkan tangan.
“Ooo…. Ini dengan suaminya Mbak Nurjanah ya?”
“Hei, maaf, tadi malam anda ngomong apa tentang
istriku?”
“Ngomong apa Mas?”
“Katamu tadi malam istriku pergi dibonceng Mas
Sapto gitu.”
“Hah? Saya ngomong begitu?”
“Mas Sapto di percetakan itu sedang sakit sudah
empat hari.”
“Siapa yang ngomong begitu Mas? Saya hanya
mengatakan Mbak Nur ada di percetakan. Mungkin kalau ada yang nimbrung ngomong
kalau dibonceng Mas Sapto ya nggak tahu Mas…. Mas salah dengar kali!”
Purbaya diam.
Apa yang baru saja didengarnya sama sekali
tidak seperti apa yang diduganya. Mungkin saja tadi malam ada yang nimbrung
ngomong kalau Nurjanah dibonceng Sapto. Tapi Purbaya tidak sadar, antara
mendengar dan tidak. Memang tadi malam suasana kantor redaksi ramai.
***
Jam sepuluh pagi sebuah jazz warna merah memasuki halaman rumah
Purbaya. Dari dalam mobil keluar perempuan muda, Dewi. Sementara dari dalam
rumah keluar Nurjanah, rupanya keduanya sudah saling janjian. Tampak keduanya
berpelukan lama sekali melepas rasa rindu.
Keduanya ngobrol lama tentang kegiatan di
redaksi masing-masing. Hingga akhirnya Dewi sampai kepada masalah utama. Semua disampaikan kepada Nurjanah.
“Semua ada di flash-disk.” kata Dewi seraya meletakkan flashdisk di meja.
"Ooo... kamu merekamnya?"
"Ooo... kamu merekamnya?"
“Mas Purbaya sedang simpati kepada seseorang,
simpati bisa tumbuh menjadi cinta. Kalau ia punya istri, maka seorang laki-laki
dapat berselingkuh.”
“Maksudnya apa?”
“Kita stel rekaman ini bareng-bareng …… “
Akhirnya keduanya mendengarkan pembicaraan
telephon yang telah direkam Dewi. Itu adalah percakapan antara Dewi dan Purbaya
tadi malam. Usai mendengarkan percakapan secara tuntas, Dewi tersenyum.
Nurjanah mendesah.
“Untung yang dirayu sahabatku.” kata Nurjanah.
“Hei, kita malah bisa menjadi madu. Kita
menjadi istri Mas Purbaya.”
“Kau sendiri bagaimana Wi?”
“Aku layani rayuan Mas Purbaya.”
“Benar Wi?”
“Benar. Tapi itu bakal kejadian kalau aku sudah gila!”
“Hihihi……. bisa saja!” kata Nurjanah sambil
mencubit lengan Dewi.
Sedang keduanya asyik bercanda HP Nurjanah
berbunyi. Nurjanah kaget ketika yang menelphon adalah suaminya.
“Suamiku …. sssttt… jangan bersuara.” kata
Nurjanah memberi kode diam kepada Dewi. Dewi paham. Perempuan itu menjauh,
menuju ruang tamu tak ingin mendengar pembicaraan.
“Hallo Mas, ada apa ya?”
“Kamu masih di rumah sayang?”
“Masih.”
“Maafkan Mas ya sayang.”
“Nggak apa-apa Mas, nggak ada yang salah ….”
“Aku mau pulang nih!”
“Lho kok?”
“Kangen sama nasi goreng nagget bumbu Turki.”
“Ah bisa saja ……”
Berbinar mata Nurjanah.
Senyumnya mengembang. Bibirnya mengucap syukur atas kejadian ini. Sejenak kemudian ia memanggil Dewi kembali. Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.
Senyumnya mengembang. Bibirnya mengucap syukur atas kejadian ini. Sejenak kemudian ia memanggil Dewi kembali. Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.
“Mas Pur mau pulang!” kata Nurjanah. Dewi
terbelalak. Namun kemudian tawanya meledak.
“Hahaaaa…. Bakal seru nih!”
“Seru apaan?”
“Seru … ih ….. bikin ngiri janda saja!” kata
Dewi bercanda.
“Ssst jangan bawa-bawa kata-kata itu. Emmm Wi,
kayanya ini gawat darurat. Kayanya kamu harus segera pergi dari rumah ini,
sebelum suamiku pulang.”
“Oke! Okeeee….. aku paham. Nur, kau
perdengarkan rekaman itu ke Mas Pur untuk pelajaran baginya.”
“Tidak Wi. Biarlah Mas Pur tidak tahu kalau Mas
Pur suka sama kamu. Biarkan dia melupakanmu karena perhatianku. Tidak baik
tuduhan dibalas dengan membuka aibnya.”
“Masya Allaaaah Nuuur …… hebat sekali kamu.”
“Makanya aku minta tolong, jangan pernah
katakan pada Mas Pur tentang rekaman ini.”
“Oke Nur. Siap. Tapi apa kamu tidak sakit
dengan kata-kata Mas Pur yang mengatakan bahwa aku ini cantik?”
“Ya enggak laaah. Kamu memang cantik Wi, bahkan
cantiiiik banget. Kalau Mas Pur mengatakan kamu jelek, malah aku harus sakit
hati.”
“Nuuurrrr……….” Dewi mengulurkan kedua tangannya
isyarat minta berpelukan. Nurjanah membalasnya dengan hangat.
“Maafkan suamiku Wiiii……” kata Nurjanah lembut.
“Beruntung Mas Pur dikaruniai istri sesalihah
Nurjanah sahabatku……”
Dewi melepas pelukannya perlahan. Keduanya
saling tatap kemudian tersenyum.
“Satu lagi pertanyaanku Nur, kata Mas Pur,
waktu di Sari Tani, kamu seperti terobsesi pada ulang tahun ke 7. Kata Mas Pur
angka 7 bagi kamu sangat istimewa, kenapa Nur?”
“Oooh…. Itu Wi. Dewi, aku pernah tak sengaja
membaca buku kerjanya yang terbuka, di halaman pertama, tulisannya …. aku ingin punya punya 7 anak dari Nurjanah, istriku
tercinta…..”
“Wooowww! Suamimu harus tahu ini.”
“Pasti Wi….. aku siap punya anak berapapun
sesuka Mas Pur, bahkan sampai seratuspun aku siap asal dari orang yang aku
cintai seperti Mas Pur-ku.“
“Masya-Allaaaaahhh………. Nuuuuuuurrr…..”
Siang itu Dewi bergegas meninggalkan halaman
rumah Purbaya.
Selang sepuluh menit mobil Purbaya benar-benar datang. Nurjanah mengintip dari balik gordyn. Senyumnya mengembang. Air matanya menitik melihat suaminya dengan wajah ceria turun dari mobil.
Selang sepuluh menit mobil Purbaya benar-benar datang. Nurjanah mengintip dari balik gordyn. Senyumnya mengembang. Air matanya menitik melihat suaminya dengan wajah ceria turun dari mobil.
Tak terasa titik air matanya semakin deras.
Alhamdulillaaah ya Allah. Jilbab atas perintah-Mu tak perlu aku buka ya
Allaaahh……, gumamnya lembut. ***
Majalengka, 2 Syawal
1435 H
8-9-5