Ratih mendesah dalam.
Kantin kampus yang
ramai tak begitu menarik hatinya. Gadis ini masih merasakan kekacauan dirinya yang tiga puluh
menit dirasakan dalam hatinya. Semua terabaikan. Termasuk Agung, sahabat sejak
SMA-nya yang sejak tadi menemaninya minum, tak dihiraukan.
Pak Kamajaya, dosen
Statistika itu begitu mengeruhkan pikirannya. Bagaimana tidak, setengah jam
lalu adalah ujian tengah semester. Di tengah keheningan mahasiswa mengerjakan
Ratih mencoba melihat ke arah Pak Kamajaya. Sssrrr…..! Hati Ratih berdesir.
Dosen muda yang ganteng itu ternyata sedang mengamati dirinya. Muka Ratih
memerah. Ia membuang muka. Salah tingkah. Penyelesaian soal berikutnya menjadi
kacau. Ia hanya menjentik-jentikkan puplen, kadang diputar-putar di jemarinya.
“Awwww jangan!” tiba-tiba Ratih
menjerit mempertahankan kertas ujian yang ditarik seseorang.
“Waktu sudah habis……” kata
seseorang dengan suara dalam. Ratih menoleh.
“Och….!” muka Ratih kembali memerah.
Ia tidak menyadari melakukan apa saja dengan sisa waktu ujian hingga tidak
menyadari Pak Kamajaya telah di sampingnya. Dengan terpaksa ia melepas kertas
ujian. Kertas itu dibaca sejenak oleh dosennya.
“Namamu belum ditulis!” kata sang
dosen mengembalikan kertas.
“Och!” Ratih dengan cepat
menulis. Kemudian diserahkannya kembali.
“Kenapa namaku yang ditulis?” tanya Pak
Kamajaya heran.
“Och!” Muka Ratih memerah.
Kali gadis itu tidak tahan. Ia tertelungkup di meja.
Ratih sama sekali tidak
sadar kalau nama dosennya yang ditulis di kertas ujiannya. Kiamat sudah!
Pikirnya. Ia tidak tahu berbuat apalagi. Nama itu ditulis dengan pulpen.
“Betulkan…..” Pak Kamajaya meminta
gadis itu membetulkan namanya.
Ratih buru-buru
menerima kertas itu tanpa banyak kata. Ia kemudian mencoret-coret nama “Kamajaya”.
“Kok namaku dicoret-coret begitu? Itu tidak
menghargai!”
“Och!” Ratih kembali
tertelungkup.
“Seharusnya pakai tip-exx atau apa…lah”
“Och maaf….maaa….maaf.” kata Ratih
terbata-bata. Ia berniat meminjam tip-exx kepada teman lainnya. Namun ia kaget.
Semua temannya telah meninggalkan ruang ujian.
“Ya sudah Bapak tahu tak ada teman yang membantu meminjamkan
tip-exx.”
“Ya Pak.”
“Siapa namamu?”
“Ratih.”
“Ouuch….. Ratih? Kamaratih?” Pak Kamajaya
mencoba menebak.
“Bukan……… “ kata Ratih
sambil menuliskan namanya sendiri. Ia tidak sadar kalau menuliskan nama sendiri
di depan nama dosennya. Maka tertulislah Ratih Tresna Kamajaya.
“Ooo….oooo….. Ratih, jadi
kamu mencintai Bapak?”
“Apa Pak?” tanya Ratih kaget
sambil mencoba melihat wajah sang dosen.
“Kamu baca tulisan itu, kamu tahu artinya tresna?”
“Cinta Pak.”
“Nah jadi yang kamu tulis itu artinya Ratih Cinta Kamajaya….. iya kan?”
“Och!” Ratih benar-benar
kaget. Buru-buru ia mencoret-coret namanya sendiri.
“Nah dengan begitu impas sudah, klop, nama Ratih dan nama
Kamajaya sama-sama dicoret. Kelihatannya seperti orang sedang membayangkan
sesuatu, Ratih Tresna Kamajaya, tetapi terus dihapus. Artistik….. bagus…..
kesinikan kertasmu.” kata Pak Kamajaya
mengulurkan tangannya.
“Jangan Pak…… ini salah.”
“Kan Bapak mau koreksi.”
“Kan namanya masih salah.”
“Sudah benar. Namamu Ratih …… yang penting bapak sudah tahu ini
kertasmu?”
“Tapi Pak?”
Pak Kamajaya tidak
peduli. Ia memaksa Ratih menyerahkan kertas ujiannya. Akhirnya Ratih mengalah.
Namun kemudian gadis itu tertelungkup. Sejenak kemudian terdengar gadis itu
terisak. Sang dosen tertegun sejenak. Setelah berfikir sejenak, laki-laki
menaruh kertas di meja. Gadis itu dipanggil namanya. Yang dipanggil tidak serta
merta menoleh. Ia sibuk membasuh air matanya dengan tissue. Setelah agak reda,
Ratih memegang kertasnya. Ia masih diam.
“Kertas itu boleh kamu bawa pulang. Tulis lagi yang bersih. Tapi
ingat, kertas aslinya jangan dibuang. Simpan baik-baik. Siapa tahu
sewaktu-waktu Bapak menanyakannya.”
“Iya Pak.”
“Sekarang kamu boleh keluar ruangan.”
“Terimakasih Pak.”
Lega hati Ratih melangkah meninggalkan Pak Kamajaya.
Ruangan ujian tengah semester siang ini membuatnya tidak nyaman. Hatinya benar-benar dongkol kepada dirinya
sendiri yang bodoh. Tapi bukan bodoh! Sangkal hatinya yang paling dalam. Lalu apa?
Kacau? Ya kacau, batin dirinya . Ia bergegas sambil tertunduk.
“Ratih!” Pak Kamajaya memanggil.
Ratih kaget. Hatinya mengeluh.
“Iya Pak…..” kata Ratih sambil
menoleh. Sesekali ia masih menyeka matanya.
“Sini sebentar…..”
“Ya Pak.” Kata Ratih pelan hampir
tak terdengar sambil mendekati sang dosen yang sudah duduk.
“Ratiiih....”
“Ya Pak.”
“Terima kasih atas cintanya ya?” kata Pak
Kamajaya pelan sambil tersenyum.
“Emm…aaa….” Wajah Ratih memerah.
Mata sang dosen memandangnya penuh arti.
“Sudah, Bapak cuma mau mengatakan itu saja.”
Kata
Pak Kamajaya kemudian.
Ratih merasa kepalanya
melayang-layang. Buru-buru ia berbalik arah, berjalan lebih cepat meninggalkan ruangan.
***
Satu bulan berlalu.
Hampir tiap malam
menjelang tidur, kertas ujian yang namanya salah selalu ia buka kembali. Kadang
ia ingin merobek-robek kertas itu, namun tidak berani. Pak Kamajaya melarang
membuangnya. Hari-hari berikutnya dosen muda itu tak pernah mengungkit masalah kertas
ujian. Ratih pun merasa lega. Hingga yang awalnya diliputi ketakutan, kini
menjadi biasa lagi. Kadang-kadang ketika bertemu di kampus, ia mengangguk dan
tersenyum. Pak Kamajaya pun membalasnya. Tak ada dialog.
Namun suatu kali seusai
kuliah ia dipanggil agar menemani berjalan bersama ke kampus lain. Ia tidak
tahu apakah benar sang dosen itu punya tujuan ke kampus lain atau tidak.
“Ratih asalnya dari Majalengka ya?” ketika itu
sang dosen bertanya. Ratih kaget.
“Bapak tahu dari mana?”
“Kan biodata mahasiswa di database lengkap.”
“Och…”
“Dari dulu kamu suka berkata och ya?”
“Och!”
“Naaah itu kan?”
“Maaf Pak, kebiasaan…. memang.”
“Kebiasaan yang mudah diingat orang. Termasuk bapak suka
mengingatnya!”
“Och!”
“Nhaaa…. Ya kan?”
“Och! Iya… maaf…maaf…”
“Kapan pulang kampung? Akhir semester ini pulang nggak?”
“Belum tahu.”
“Bapak orang Majalengka juga lho ….. “
“Och! Majalengka?”
“Iya. Kamu belum tahu ya? Bukannya waktu awal-awal kuliah Bapak
sudah sampaikan perkenalan?”
“Ohh… maaf Pak, hari-hari awal kuliah saya sakit. Dua
perluliahan bapak saya tidak ikut. Jadi tidak tahu Bapak waktu perkenalan.”
“Awas ya, satu
kali lagi kamu tidak ikut, kamu tidak
boleh ikut ujian lho….”
“Maaf Pak. Mohon jangan begitu Pak.”
“Peraturan harus begitu.”
“Kan sama-sama orang Majalengka.”
“Wah nggak boleh mencampur adukkan primordialisme dalam urusan
ini.”
“Ya sudah Pak, empat perkuliahan berikutnya saya harus selalu
hadir.”
“Makanya harus sehat ya?”
“Insya Allah Pak. Doakan saya ya Pak?”
“Hey! Masa ke dosenmu minta didoakan?”
“Och! Maaf…. maafff pak, minta maaf Pak.” Wajah Ratih memerah kemudian ditutupinya dengan
kedua telapak tangannya.
“Ya, ya….. cuma bercanda kok. Ya semoga sehat terus ....."
"Terimakasih Pak."
" Tapi Bapak ingin
kapan-kapan kita pulang bareng ke Majalengka ya?”
“Emmm….. “
“Sudah, nggak usah dijawab. Bapak sudah tahu jawabannya kok…..”
“Emm... mmm.”
“Jawabannya iya kan?”
***
Dua bulan berlalu.
Di hadapan teman-teman
Ratih tak ada yang tahu. Antara Ratih dan Kamajaya sering kontak lewat HP.
Ratih tahu, dosen muda itu menaruh perhatian kepadanya. Iapun sebenarnya sudah
sejak kasus ujian lalu menaruh perhatian juga. Hingga berganti hari rasa yang
ada dalam hatinya tumbuh tidak hanya sekedar perhatian, tetapi menjadi sebuah
kekaguman terhadap dosennya itu.
Suatu kali pulang kuliah, Ratih mengajak Agung ke bangku taman kampus.
Agung adalah sahabat karibnya semasa SMA di Majalengka dulu. Sebagai sahabat yang
dikenalnya sejak SMA , pemuda itu adalah sahabat yang baik. Sekarang,sebagai mahasiswa yang beda jurusan itu
tahu hampir semua kehidupan Ratih semasa SMA-nya.
“Gung, kamu pernah jatuh cinta nggak?”
tanya
Ratih.
“Pernah, dulu sudah lama. Kesininya bukan jatuh lagi, tapi
merasakan cinta.”
“Bagaimana rasanya.”
“Sulit dikatakan Tih. Hanya bisa dirasakan. Tak sepadan
kata-kata kita untuk melukiskan cinta.”
“Gung, benar katamu……. aku rasanya sedang jatuh cinta.”
“Bukannya sejak SMA kamu sudah punya rasa itu?”
“Tidak Gung. Baru kali ini aku mengalami kegaguman, dan mungkin
cinta, kepada laki-laki. Ia pemberani.”
“Oooohhhh…..”
“Benar Gung, tak terlukis dengan kata-kata.”
“Baru kali ini katamu?”
“Iya.”
“Dari dulu-dulu, sewaktu SMA, bagaimana?” tanya Agung dengan pandangan heran.
“Aku juga heran. Ketika SMA banyak temanku yang berpasangan,
pacaran, atau apalah namanya. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Aku bahkan sempat berfikir aku
ini normal apa tidak? Namun baru kali ini ada jawaban. Dadaku bergetar. Hati
berdesir. Pikiranku tak tenang. Aku selalu ingat pada Pak Kamajaya. Apalagi
ketika aku tahu bahwa beliau orang Majalengka juga.”
“Kau mencintainya?”
“Sepertinya…..”
“Ratih .....mmmm apakah kamu tidak merasa bahwa sejak SMA ada yang menaruh hati
padamu?” tanya Agung perlahan.
“Menaruh hati? Cinta maksudnya?”
“Iya.”
“Tidak Gung, tidak pernah.”
“Ratih, apakah kamu tidak merasa bahwa Agung ini mencintaimu dari dulu?” kata Agung dengan bibir bergetar. Ratih kaget. Ditatapnya Agung dalam-dalam.
Hingga lama keduanya diam.
“Gung, be... be ..benarkah?" tanya Ratih tergagap.
"Iya Ratih." kata Agung hampir tak terdengar.
"Gung, kenapa kamu tak pernah ngomong?”
“Apakah
kalau cinta harus dikatakan?”
“Harus.
Bagiku harus. Perkataan cinta ibaratnya perjanjian.”
“Apakah
perbuatan dan perhatianku selama ini tidak pernah Ratih tangkap sebagai
sinyal-sinyal?”
“Manusia bukan mesin Gung. Tak semua
perempuan berhati sama untuk menangkap sinyal-sinyal. Nah aku ini sepertinya
orang yang tak mengerti sinyal-sinyal. Bolehlah aku ini kau anggap terlalu bodoh.”
“Pertimbangkanlah kembali Ratih. Sejak kelas
dua SMA, hingga sekarang kita kuliah semester ke-5. Berapa tahun Tih? Lama Ratih...”
“Agung….
sahabatku. Aku minta maaf. Ratih memang diciptakan menjadi perempuan yang tidak
memahami sinyal. Selama ini aku menganggapmu tulus bersahabat denganku …… “
“Bukannya
kamu tahu selama bersama kamu aku tak punya pacar?”
“Akupun
selama ini tak punya pacar….”
“Sekarang
pertimbangkan Ratih, mudah-mudahan aku
belum terlambat .”
Tak mudah bagi Ratih
untuk menjawab. Hingga lama pula Agung membiarkan Ratih diam berfikir. Hatinya
penuh harap. Di detik-detik akhir ini ia mengharap ada sebuah keputusan besar
dalam hidupnya.
“Gung…….” akhirnya Ratih memecah keheningan, “ maafkan Ratih
ya.”
“Apa maksudnya maaf?”
“Aku tidak bisa mengabaikan ini …………….. “ kata Ratih sambil menyorongkan HP di meja depan Agung.
Mata Agung melihat nama pengirim WA, Aa Kamajaya.
“…… Ratih, aku berasal dari keluarga yang tak
mengenal pacaran. Seperti kesediaanmu, bulan depan Aa menghadap Bapak dan Ibumu,
untuk mengkhitbahmu ….. semoga kesediaanmu menjadi awal kebahagiaan kita.
Aamiin.”
Lemas lutut Agung.
Keringat dingin membasahi dahinya. Dalam kekecewaannya ia mengeja nama Ratih - Kamajaya,
sebuah legenda cinta dalam kitab Mahabharata, Kamajaya-Kamaratih.
Ia menyesali dirinya, mengapa sejak dulu tak pernah ia katakan bahwa ia
mencintai Ratih. ***
=========================================================
Cerpen ini ada di dalam buku antologi cerpen Pelarian Gang Dolly.
Dapat dibaca di Perpustakaan SMAN 1 Majalengka.