Kyai Salam meletakkan rumput dan singkong yang dibawanya. Matanya heran melihat ada sedan di dekat masjidnya. Keheranan Kyai Salam bertambah ketika dari dalam sedan keluar seorang lelaki gendut berpakaian necis tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Kyai lupa sama saya ?” Tanya lelaki itu seraya menggengggam tangan Kyai Salam.
“Aaah… anak ini siapa ya ?” Tanya kyai Salam mengernyitkan dahinya.
“Jawahir ! Anak Pak Damri …. “
“Oooo Jawahir ? Ya Alloooh… tak kusangka. Aku begitu pangling …. Bagaimana kabar bapakmu ? Pak Damri ?”
“Bapak sudah lama meninggal , paling tinggal bapak mertua .”
“Ooo… innalillahi wa inna ilaihi roojiuun…“
Siang itu Kyai Salam mendapatkan tamu dari kota . Tak ada dalam benak Kyai Salam, Jawahir seperti sekarang ini. Dulu, Jawahir paling bandel di antara anak-anak lain. Jika mengaji ke masjid , sukanya bergurau. Kadang mengganggu anak-anak perempuan yang sedang shalat. Otaknya bebal, menghafalkan suratan pendek saja sangat sulit, apalagi yang panjang-panjang. Sering penggaris kayu Kyai salam mendarat di pantat anak bengal itu. Tetapi kini jauh berbeda .
Sekarang ada perasaan jeri di hati Kyai Salam. Melihat sedan mulus warna coklat susu metalik hatinya merasa kecil. Apalagi ketika menengok rumah sendiri yang berlantai plur biasa, di bagian bawah temboknya penuh lumut. Demikian pula masjid miliknya, masjid satu-satunya di kampung Sidotentrem, tak jauh beda dengan rumah Kyai Salam. Temboknya penuh lumut. Dulu ia biasa mendamprat Jawahir, tetapi sekarang untuk menatap mata bekas muridnya itu rasanya tak sanggup.
“Kau sekarang sudah menjadi orang Hir ! Mobilmu bagus, tentu mahal ya ? Istrimu tentu cantik , rumahmu besar ……” Kata Kya Salam membuka kata terhadap tamunya.
“Ah Kyai bisa saja, semua itu titipan Tuhan. Saya sebenarnya malu Kyai, saya ingat betulbetapa dulu menjadi anak nakal, di masjid ini saya suka mengganggu anak lain yang
beribadah . Saya juga tidak tahu kenapa Tuhan begitu murah memberi saya harta seperti sekarang ini .” Kata Jawahir datar.
beribadah . Saya juga tidak tahu kenapa Tuhan begitu murah memberi saya harta seperti sekarang ini .” Kata Jawahir datar.
Ada semacam dugaan dalam diri Kyai Salam terhadap ucapan Jawahir, entah kesombongan atau apa, yang menyatakan bahwa begitu murah Tuhan memberinya harta. Tentu di dalamnya ada makna : begitu gampangnya mencari harta. Tetapi tentu itu su’udzon , sehingga Kyai ingin menepis rasa itu.
“Hir, kata-katamu sangat bagus, kau sangat menyadari keadaan dirimu. Tentunya selama ini kau sangat menyadari bahwa harta itu harus dicuci bukan? “
“Hahaaa ! Kyai , Kyai…. saya tahu, yang Kyai maksudkan adalah zakat bukan?”
“Nah ! Itu yang sangat penting !”
“Insya Allah Kyai, Insya Allah , harta saya selalu saya cuci dengan cara selalu berzakat, tetapi sebagai manusia biasa saya juga tidak tahu apakah zakat saya sanggup mencuci harta saya sampai bersih benar ? “
“Hir, memang manusia tidak tahu , bersihnya harta dari mudzarat itu sampai di mana. Kita tidak sedang mencuci pakaian yang tampak kotorannya, hanya diri kita sendiri yang tahu benar seberapa kotor harta yang kita miliki.”
Mendengar kata-kata Kyai Salam , Jawahir menggangguk-angguk . Lelaki gendut itu kini melempar pandangan ke luar ke arah masjid yang kini nampak semakin kumuh. Temboknya penuh lumut seperti bangunan yang tak terpakai. Air wudlu dari sumur dengan timba katrol, WC yang tak terurus menyebarkan bau tidak sedap. Genteng juga penuh lumut . Plafon dari bilik yang telah lapuk Kitab-kitab yang ada di dalamnya juga sudah tidak putih lagi. Kitab-kitab yan dulu putih kini telah berwarna kuning tua bahkan coklat dimakan usia.
Jawahir menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Kyai Salam.
“Masjid kita memprihatinkan Kyai…..” Katanya terus terang.
“Kau jangan malu melihat masjid itu sangat jelek Hir , jelek-jelek begitu juga di dalamnya penuh dengan ajaran mulia. Demikian pula, kau tak perlu malu bahwa kau juga pernah belajar di situ hahaha…! “
“Oh tidak…saya tidak malu. Mmmm…. apakah warga kampung tak pernah berniat merenovasi masjid ini Kyai?” Tanya Jawahir tak menghiraukan tawa Kyai Salam.
“Orang kampung ini orang susah Hir, maksudnya susah dalam ekonomi. Kau lihat keadaan kampung ini Hir, semenjak kau pindah bersama orang tuamu itu kampung ini hampir tidak berubah. Mereka tak ambil pusing terhadap apa yang bukan kewajiban pokoknya. Mungkin sebenarnya yang harus memikirkan keadaan masjid ini adalah aku, tapi kau tahu sendirilah…… untuk makan saja bagi saya … hahaa….. cukup singkong . Naahhh ini dia singkong godog itu makanan pokok kami . Kau jangan malu , dan kami tak pernah iri dengan orang-orang kota yang jauh dari singkong…… “
Jawahir ikut tertawa hingga perutnya yang gendut ikut berguncang-guncang. Setelah reda tertawa, laki-laki gendut itu mencoba makan singkong. Berulang kali lelaki itu mengatakan bahwa singkongnya enak. Kyai Salam merasa bangga mendapat pujian itu. Ketika beberapa jenak keduanya ngobrol tak ada ujung pangkal, Jawahir menyatakan maksud kedatangannya.
“Saya ingin menyumbang sesuatu untuk warga kampung kita ini Kyai.”
“Ooo bagus, apa itu ?”
“Saya ingin merenovasi masjid ini. “
“Ooo…..” Kyai Salam terhenyak. Kemudian kepala lelaki tua itu mengangguk-angguk.
“Masjid ini akan saya renovasi , bolehlah disebut renovasi, tapi sebenarnya lebih tepat dipugar total.”
“Pugar total?”
“Jika masjid ingin bagus dan kokoh, tentu harus dengan pondasi yang kuat, juga harus ada tiang dari rangka beton, jika tidak maka akan membahayakan…. tapi, tapi itupun kalau Kyai Salam mengijinkan.”
“Emmm… bagaimana ya?” Kyai tua itu berfikir keras.
Lima puluh tahun masjid itu berdiri hampir tak pernah berubah. Paling-paling jika bulan Ramadhan ditambah dengan atap tambahan dari terpal untuk menampung jamaah yang umunya bertambah banyak untuk shalat tarowih. Lima puluh taun bagi lelaki tua tentu memberikan banyak kenangan yang bisa dinikmati di masa-masa tuanya. Biarpun masjid itu tua, bahkan terkesan kumuh , namun memberikan ketenteraman baginya. Jika dipugar ? Kyai itu tentu saja merasa sangat terkejut. Artinya harus ada sebuah keputusan untuk menolak atau mengiyakan permintaan Jawahir.
“Kyai keberatan?”
“Oh, tidak, tidak.” Kya Salam tergagap. Lelaki tua itu sendiri tak mengerti mengapa mulutnya harus mengucapka kata-kata itu.
“Terimakasih kalau memang Kyai tidak keberatan. Kyai, masyarakat kampung tentu ingin di lingkungannya ada nuansa yang beda, nuansa modern. Insya Allah masjid ini nanti akan menjadi kebanggan masyarakat kampung kita. Masjid yang megah dengan arsitektur yang mutakir dan pengelolaan yang baik . Dengan begitu pasti akan menarik banyak jamaah karena merasa ana suasana baru….. Islam tidak terkesan kumuh dan terbelakang. Semua akan dimordenisir. Sumur timba, akan diganti dengan jet-pump atau kita pesan pipa khusus ke PDAM , tempat wudlu akan dibuat nyaman. Kita membayar tenaga untuk menjaga kebersihan masjid ini.”
“Membayar ? Siapa yang mau membayar?”
“Saya Kyai, segalanya dari saya . “
“Tentu banyak sekali.”
“Saya sudah siap semuanya Kyai, dari membangun masjid hinga biaya perawatan setiap bulannya. Nanti, pada saat peresmian, saya akan mengundang Bupati untuk meresmikannya !”
“Bupati ? Bupati betulan?”
“Hahaa… Kyai, Kyai…. mana ada bupati bohongan. Biarpun saya orang kota lain kabupaten, saya sanggup mendatangkan bupati ke sini. Kebetulan mertua saya pensiunan pejabat propinsi. Apa sulitnya mendatangkan bupati.”
“Ooo…..”
“Ada satu lagi yang saya minta Kyai….”
“Apa itu ?”
“Nama masjid Hidayatul Mufied harus diganti dengan nama masjid Al Jawahir. Bagaimana ? Tentu ini tepat, sebab sayalah orang yang memugarnya.”
Kyai Salam tak banyak berkata-kata. Akhirnya apa yang dikatakan Jawahirsemuanya disetujui. Benar, Islam tidak boleh terkesan kumuh. Apalagi menurut Jawahir masjid itu akan diresmikan bupati , tentu hal itu akan menjadi bahan perbincangan masyarakat. Gengsi masyarakat pemakai masjid tentu akan terangkat. Perihal penggantian nama, sebenarnya Kyai Salam sedikit keberatan, akan tetapi dari mulutnya tak terlontar sepatah kata untuk amenolak keinginan Jawahir.
Ketika akhirnya Kyai Salam menyatakan ijin kepada Jawahir, laki-laki gendut itu sangat gembira. Ia menjanjikan seminggu lagi akan datang sambil mendrop material dari kota. Ketika hendak berpamitan, Jawahir memberikan amplop kepada Kyai Salam.
“Apa ini ?” Kyai Salam kaget.
“Shodaqoh dari saya selaku bekas murid Kyai, ala kadarnya.”
Kyai Salam tak kuasa menolak pemberian Jawahir. Ia genggam amplop itu hingga Jawahir benar-benar meninggalkan rumahnya. Ketika Jawahir telah hilang dari pandangannya, lelaki tua itu membuka amplop. Matanya terbelalak melihat isi amplop berupa uang ratusan ribu sebanyak sepuluh lembar. Jantung Kyai Salam berdegup keras. Tak pernah dirinya selama ini memegang uang sebesar itu, kini itu bukan khayalan, tapi nyata telapak tangannya menggenggam.
Ketika degupan jantungnya terasa kembali normal, Kyai Salam mengucap syukur , ia yakin bahwa Allah memberi rizki melalui Jawahir. Kyai tua itu merasa sangat bersyukur ketika ingat ia sangat memimpikan sebuah kain sarung corak bugis di toko Hikmah , baju takwa Al Najim dan sebuah peci Haji Iming . Lebaran yang baru lewat , anak-anaknya tidak membelikan apa-apa, karena ekonominya sedang morat-marit.
Selang seminggu material yang dijanjikan Jawahir benar-benar datang. Banyak orang kampung yang diajak bekerja untuk memugar masjid , tentu bukan dengan cuma-cuma. Mereka membutuhkan upah . Dan Jawahirpun memang mengupahnya. Ia tahu jaman sekarang untuk membangun tempat ibadahpun tak ada kata-kata gotong royong sukarela. Semua harus dengan uang.
Lima bulan kurang sedikit kini telah berdiri masjid baru yang sangat anggun. Seluruh lantainya dari keramik kelas satu. Kaca-kaca jendela dihias dengan lukisan ornamen gaya persia. Kusen-kusen jendela dan pintu semuanya terbuat dari kayu jati tua. Seperangkat sound system baru menambah bagus penampilan pada interior dalamnya. Daya listrik 1300 Watt telah terpasang. Tower penampungan air dari pompa pada sumur telah berdiri. Di sebelah kiri masjid telah dibangun pula ruang sekretariat yang menyambung dengan rumah Kyai Salam yang telah telah direnovasi bagian depannya. Tentu yang merenovasi juga Jawahir. Sementara itu di puncak atap yang menjulang, ada sebuah kubah yang kokoh dengan warna perak . Di puncak kubah terdapat lampu hias dengan model tulisan ﷲ .
Ada perasaan bangga dalam diri Kyai Salam ketika mata tuanya menatap kubah yang kokoh itu. Tetapi ia sendiri merasa sangat asing. Ia merasakan kini berdiri bukan di hadapan masjidnya sendiri. Dulu ada nama Hidayatul Mufied, tetapi kini nama itu telah lenyap. Ada suatu ketentraman yang pernah ia miliki dengan nama itu, tetapi kini tak ada lagi. Yang ada kini adalah Al Jawahir, sebuah nama asing yang kini menjadi kenyataan di hadapannya. Tetapi ia tak berlama-lama memikirkan hal itu . Lelaki tua itu kini membayangkan betapa nanti ia menjadi imam masjid yang megah. Tentu membaca suratan atau ayat-ayat lain akan lebih terasa khusyu, sebab lelaki tua itupun merasakan bahwa tempat yang bagus harus pula dihiasi dengan suara yang bagus. Kyai itu telah membulatkan tekad untuk memaksimalkan kualitas bacaanya.
Sesekali pikiran lelaki itu menerawang jauh, seandainya saja masjid yang seperti itu ia miliki sejak dulu, alangkah bahagianya. Tetapi ketika ia ingat bahwa usianya telah mendekati udzur , iapun masih tetap mensyukuri bahwa masjid itu kini telah menjadi bagus. Berarti tak ada peninggalan kumuh yang akan jadi bahan omongan warga kampung ketika kelak dirinya mati.
Seminggu setelah semua kegiatan pemberesan selesai, masjid itu akan diresmikan oleh Bupati . Kyai itu merasa benar-benar itu seperti mimpi : seorang bupati akan singgah di kampungnya, di masjidnya. Sementara itu Jawahir sendiri mengatakan bahwa peresmian itu akan dihadiri pula oleh mertuanya, seorang pensiunan pejabat di kota .
Ketika acara peresmian itu benar-benar dilaksanakan , ada perasaan kebanggaan yang luar biasa dalam diri Kyai Salam. Panggung dibuat seindah mungkin. Grup qasidah Sadarul Kalam didatangkan dari kota. Penerima tamunya juga didatangkan dari sahabat-sahabat Jawahir. Orang-orang kampung, ibu-ibu dan para gadisnya hanya kebagian tugas di belakang. Menjadi pencuci piring atau apa saja yang pantas untuk orang kampung.
Pejabat-pejabat kabupaten seperti Sekda, Asda , Kabag atau kepala-kepala instansi datang menyertai rombongan bupati. Lelaki tua itu kini mengenakan sarung , baju takwa dan kopiah baru . Tetapi sebagai warga kampung yang kecil, ia tetap saja merasa sangat kecil di hadapan para pejabat tersebut. Tak seorangpun yang dikenalnya, dan tak seorangpun mengenalnya.
Peresmian ditandai dengan pengguntingan pita oleh ibu bupati, dilanjutkan dengan pembukaan pintu oleh bapak bupati. Ketika sirine meraung-raung tanda diresmikannya masjid tersebut, masyarakat yang datang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah.
Selesai acara peninjauan ke seluruh sudut masjid, sambutan-sambutan pun dimulai. Mulai dari ketua panitia, kepala desa hingga bupati. Yang terakhir menyampaikan sambutannya adalah Jawahir selaku orang yang paling penting dalam acara tersebut.
“Saya bersyukur atas segala bantuan dari masyarakat, khususnya Kyai Salam yang telah menghibahkan tempatnya untuk mendirikan masjid yang megah ini. Kepada Bapak bupati pula, saya selaku pribadi dan wakil dari warga masyarakat di sini mengucapkan syukur, karena kehadiran Bapak meresmikan masjid merupakan penyempurnaan keindahan yang kini menjadi menjadi milik warga kampung !”
Gemuruh tepuk tangan warga yang hadir.
“Dalam kesempatan ini pula, disaksikan langsung oleh bapak bupati beserta ibu dan seluruh pejabat yang berkenan hadir, saya memperkenalkan Bapak mertua saya, Bapak Doktorandus Haji Zakaria Ahmad, mantan pejabat departemen agama di propinsi, yang kini tengah membangun rumah di kampung ini juga.Selepas pensiun, niat beliau adalah beristirahat di kampung ini, sambil tetap ingin menyumbangkan kemampuan yang masih beliau miliki, semampunya, utamanya di dalam masalah kehidupan beragama.”
Kini warga kampung menjadi paham bahwa proyek bangunan yang tidak jauh dari masjid Al Jawahir adalah rumah mertua Jawahir.
“Disaksikan oleh bapak bupati dan para pejabat pula, saya merasa sangat berterima kasih kepada sesepuh kita, Kyai Salam, yang telah legowo, mempersilakan pembangunan masjid baru di bekas masjid yang lama. Yang lebih penting, yang terhormat Kyai Salampun telah dengan legowo memberikan kesempatan kepada bapak mertua saya, bapak Haji Zakaria Ahmad menjadi imam masjid Al Jawahir !”
Tepuk tangan kembali riuh rendah setelah hadirin mendengar pernyataan Jawahir. Lain halnya dengan Kyai Salam. Jantungnya serasa hampir lepas. Detaknya menjadi tak teratur. Duduknya kini menjadi gelisah. Tetapi Jawahir tak mempedulikan, ketika kemudian ia melanjutkan bahwa seolah-olah di masjid yang baru itu telah terjadi serah terima pengelola masjid antara Kyai Salam kepada haji Zakaria Ahmad.
Pantat Kyai Salam serasa terpanggang di atas bara api, tetapi karena duduk di tengah-tengah para pejabat, ia merasa tak mungkin meninggalkan tempat itu.
“Kau terkutuk Jawahir ! Kau telah telah menipuku ! “ Ketika acara telah bubaran, Kyai Salam melabrak Jawahir.
“Apa ? Bukankah Kyai telah merelakan semuanya kepadaku ? Masjid lama, dipugar, seluruh biaya bulanan saya yang bakal menanggung. Kyai tahu , berapa harga masjid ini ? Enam ratus juta rupiah ! Kyai tahu berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk mendatangkan bupati dan para pejabat ? Dua puluh lima juta ! “
“Persetan dengan itu semua ! Aku tidak rela ! Tidak rela ! Imam masjid tetap menjadi hak-ku !”
“Kyai , apa Kyai pantas menjadi imam masjid Al Jawahir yang megah ini ? Dulu Kyai, hingga sekarang, yang namanya mengaji di masjid lama hanya itu-itu saja ! Hafalan surat-surat pendek, kitab sapinah, kitab sulam, malam jum’at perjanjen sambil membagi nasi kuning. Kyai tak pernah ajarkan kepada yang mengaji tentang nahfu sorof, karena memang Kyai tidak paham ! Kyai adalah orang tradisional ! Beda dengan mertua saya, mantan pejabat depag propinsi, sarjana agama yang mumpuni, semasa mudanya menjadi juara MTQ tingkat propinsi, menjadi penasehat dalam urusan manasik haji , pengurus badan amil zakat di propinsi . Lengkap kamahiran beliau dalam mengurus manajemen masjid. Apa Kyai sanggup menandingi beliau ? Apa pantas masjid sekaliber Al Jawahir pengelolanya adalah kyai tradisional seperti Anda ?”
“Keterlaluan kamu Jawahir ! Aku akui, aku orang kecil yang tak ada artinya sama sekali , tetapi ingat, ucapanmu seperti ucapan setan ! Jika kamu orang benar, maka ucapanmu akan berhikmah dan membawa barokah ! Tetapi ucapan yang keluar dari mulutmu menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang sedang dalam masalah besar ! Masalah kesombongan ! Ingat Hir, kesombongan hanya mampu bertahan sesaat ! Aku pikir kau Jawahir hanya bandel di waktu kecil, tetapi ternyata hingga tua tidak berubah, tidak tahu adat ! “
Kyai salam benar-benar tak dapat meredam emosinya, hingga lupa untuk menyebut sekedar istighfar . Akhirnya kyai tua itu tak sudi tinggal di kampungnya lagi, dekat masjid Al Jawahir. Rumahnya ia tinggalkan begitu saja . Ia memilih menumpang di rumah salah satu anaknya di kampung lain.
Beberapa bulan berlalu masjid Al Jawahir nampak semarak, apalagi dibawah pimpinan mantan pejabat tinggi , kampung terasa ada gregetnya. Sering pengelola masjid mengadakan acara-acara yang betajuk syi’ar seperti lomba untuk anak-anak, remaja, antar masjid atau antar pesantren .
Namun pada suatu hari di rumah yang megah itu Jawahir datang dengan wajah kuyu .
“Bapak, bagaimana mungkin semua menjadi kacau ? Usaha bapak melindungi bandar-bandar judi dan miras tercium wartawan gila.”
“Apa ?! “
“Inisial Bapak ada di koran hari ini, wartawan memberitakan pula bahwa masjid kita ini diduga juga didanai dari sana ! “
“Gila !”
Sebulan kemudian masjid Al Jawahir ditinggalkan jamaahnya setelah tahu bahwa dana yang digunakan untuk membangun bermasalah. Nama mertua Jawahir dan Jawahir sendiripun menjadi semakin lekat di benak warga kampung itu ketika masjid megah itu disegel polisi .
Masyarakat kini kembali memikirkan Kyai Salam. Mereka berfikir sebaiknya kyaitradisional itu harus dijemput kembali untuk mengajar mengaji dan mengajar akhlak anak-anak di kampung. Urusan nanti mengaji di mana tempatnya gampang . Yang jelas masyarakat kampung tak mau menempati masjid Al Jawahir .
Najis, kata mereka . ***