Pengarang: Didik Sedyadi Penerbit: Herya Media ISBN: 978-602-1032-13-8 Tebal: vi+260 halaman Harga: Rp 50.000,00 |
Sejak lokalisasi Dolly ditutup, migraine Raeni sering kambuh. Kemarin
seharian wanita itu tergolek di kamar sewaan, jauh dari kota Surabaya. Ia
mendengar kabar tentang status teman-temannya sekarang. Banyak pilihan dan
ragam yang dilakukan anak-anak Dolly. Ada
yang mengambil pesangon sebagai modal usaha, ada yang mengambil pesangon untuk
foya-foya dan mabuk-mabukan, ada yang menggunakan pesangon sebagai uang pangkal
kordinator membuka usaha grup prostitusi terselubung
di tempat baru. Ada yang menerima pesangon, kemudian menyewa kamar di tempat
tertentu, tetapi masih membuka jasa prostitusi secara sendiri-sendiri. Ada yang
menjadi perempuan panggilan. Ada yang memilih menjadi gundiknya cukong.
Sebagian lagi memandang keputusan Bu Risma
sebagai sebuah momen tepat jalan keluar dari tempat itu. Jika dulu-dulu Raeni ingin
keluar tidak berani, sekarang mumpung ada kebijakan resmi, ia gunakan untuk
segera memanfaatkan peluang itu. Salah satunya adalah Raeni. Sejak lama hati
kecilnya ingin melepaskan diri dari kehidupan lingkungan gang Dolly, namun
banyak pertimbangan. Sungkan dengan mama-nya,
tidak enak dengan teman-temannya, malu disebut sok sucilah,
takut dengan bodyguard mama-nya, dan lain-lain.
takut dengan bodyguard mama-nya, dan lain-lain.
Ketika teman-temannya menjadi bercerai berai,
perempuan itu merasa punya kesempatan. Bahkan ia sendiri waktu itu menyelinap
meninggalkan gang itu. Uang kompensasi yang dijanjikan sama sekali tak terpikir
olehnya. Yang penting adalah lari, jauh yang sejauh-jauhnya. Keinginan
hatinyapun sebenarnya ingin pula membuang jauh-jauh pengalaman hidupnya, namun
selama pikirannya masih normal, gang Dolly dengan sejuta ceritanya tak akan
bisa dihapus dalam pikirannya hingga akhir hayat.
Hmh…….
Raeni mendesah. Matanya dibuka perlahan
dengan berat. Perempuan itu kaget melihat Artiti, anaknya, duduk di kursi dekat
tempat tidurnya. Gadis kecil yang masih duduk di kelas 2 SD hanya bisa menatap ibunya
dengan air mata berlinang. Perlahan Raeni melihat anaknya. Ia memberi isyarat kepada
gadis kecil itu agar mendekat. Artiti mendekat. Perempuan itu memeluk anaknya.
“Kenapa menangis sayang?” tanya Raeni
perlahan.
“Lapar Bu… “
“Ochhh… astaghfirullloh!” Raeni kaget.
Pelukan pada anaknya dikendorkan. Ia pandangi mata anaknya sambil memegang
bahunya. Air mata Raeni mengembang.
“Maafkan Ibu ya ….. ibu lupa, ibu ketiduran.
Kenapa tidak bangunkan ibu sayang?”
“Kasihan ibu. Ibu sakit.”
“Titi …… “ air mata Raeni kini menderas.
Gadis kecil itu dipeluknya kembali.
Beberapa saat kemudian setelah isaknya
mereda, Raeni melonggarkan pelukannya. Perempuan itu mengambil dompet. Ia ambil
lembaran lima ribuan diberikannya kepada Artiti.
“Titi
beli sendiri ya? Nasi uduk , atau apa saja yang mengenyangkan. Ibu masih sedikit
pusing….”
“Ya bu …..”
Sepeninggal anaknya, Raeni termenung. Uang di
dompetnya tinggal empat puluh ribu. Ia bingung dari mana unuk menyambung hidup
berikutnya. Kehidupan di gang Dolly telah memberikan kebiasaan mendapatkan uang
dengan mudah. Ketika Bu Risma telah memutuskan menghentikan kegiatan gang
tersebut, banyak hal yang muncul sebagai sebuah efek. Termasuk yang dialami Raeni,
salah satunya.
Perlahan Raeni bangkit dari pembaringan.
Kepalanya terasa sakit dan berat. Matanya
sembab dan perih. Namun beban yang ditanggungnya lebih besar dibanding
apa yang dirasakan fisiknya. Hanya ada satu motivasi yang selama ini untuk
bertahan dengan keadaanya, anaknya, ia tak ingin anaknya terlantar. Jika toh
apa yang dilakukannya dosa, ia siap menanggung akibat dosa itu demi anaknya.
Sampai saat ini memang belum ada pilihan lain. Ajakan dari orang tuanya untuk
kembali ke Tambak Lorok belum disanggupinya. Ia malu pulang kampung. Semua
telah terlanjur mengenal dirinya sebagai wanita gang Dolly.
Sekitar enam bulan yang lalu, sebelum
penutupan lokalisasi.
Seorang laki-laki bernama Rotama, datang ke gang
Dolly menemui dirinya. Tadinya ia mau mengelak, namun ia tak kuasa karena mami-nya mengisyaratkan agar dirinya
tidak protes. Rotama adalah laki-laki yang dulu pernah membuat dunia ini
menjadi indah. Laki-laki yang pertama menyatakan cinta dalam hidupnya. Bagi
Raeni, Rotama adalah segalanya. Tempat bergantung. Tempat berharap. Tempat
menikmati keindahan. Hingga tak disadarinya keindahan yang dinikmati itu akan
membawa cerita panjang, ia hamil. Rotama yang dulu dipujanya ternyata tak lebih
dari buaya, nilai Raeni. Laki-laki itu tak mau bertanggung jawab dengan
menikahinya. Raeni memilih minggat, membawa kandungan mudanya. Hingga dengan
perantaraan teman, ia menjadi penghuni gang Dolly. Artiti, anaknyapun lahir di
sana.
Hari itu Rotama ada di hadapannya, di
kamarnya.
“Silakan lakukan apa saja padaku. Ingin
bernostalgia silakan. Kamu masuk ke sini membayar ke mama untuk menikmati aku.
Silakan, jangan sungkan-sungkan…..” kata Raeni demi melihat Rotama hanya duduk
di hadapannya.
“Tidak Rae, aku ke sini tidak mau membelimu.
Aku membayar ke ibu yang di depan hanyalah untuk tiket masuk. Aku ke sini
dengan niat suci….”
“Apa? Hihihi…. niat suci? Sejak kapan kamu
menjadi baik Tama?”
“Sejak aku ingat anakku. Aku ingin ketemu
anakku… di mana dia?”
“Tidak. Aku tidak ingin anakku berfikiran
kotor tentangmu.”
“Aeh, Rae! Jika dewasa, mau menikah, nanti
dia butuh wali.”
“Dari mana kau tahu anakku perempuan?”
“Orang yang niatnya kuat, apa saja pasti
ditempuh untuk mencari keterangan.”
“Okelaaah …. tapi anakku tidak butuh wali
dari orang sepertimu!”
“Tapi aku ayahnya.”
“Terserah. Dengan wali hakim beres.”
“Tapi kalau aku masih ada?”
“Katakan saja ayahnya sudah mati!”
“Kamu berdosa membohongi anakmu sendiri Rae!”
“Dosa? Kamu masih tidak malu bicara tentang
dosa?”
“Sudahlah Rae, ayolah ………. , tinggalkan
tempat ini, bersamaku…..”
“Laki-laki yang masuk ke sini adalah untuk
memperoleh pelayananku. Bukan untuk ngobrol tak jelas.”
“Rae, aku mengajakmu menikah. Itu sangat
jelas. Kamu segera tinggalkan tempat penuh dosa ini….” Pinta Rotama.
“Sok suci kamu! Kau katakan tempat ini apa?
Penuh dosa?”
“Iya kan?”
“Okelah, terserah apa katamu Tama, menurutmu
aku memang bergelimang dosa. Tapi ingat Tama, paling tidak harga diri aku masih
punya!”
“Harga diri yang mana?”
“Paling tidak harga diriku lebih tinggi dari
kamu!”
“Aaahh… mana mungkin!”
“Tama, kamu yang datang ke sini! Kamu yang
butuh aku! Harga diriku lebih tinggi dari kamu. Aku tidak butuh kamu! Kalau
kamu masih punya pikiran waras bicara tentang dosa, siapa sebenarnya yang
dosanya lebih besar antara aku dan kamu. Kamulah penyebab pertama hingga aku
seperti sekarang ….”
“Makanya aku mengajakmu menikah! Aku ingin
menebus kesalahan.”
“Tak perlu kau tebus Tama. Kau nikmati saja
kesalahan jika kamu masih waras hingga mengerti apa itu kesalahan! Biarkan aku
tetap dengan jalanku, biar orang lain mengatakan aku ini salah!”
“Aku mohon Rae…”
“Mengemislah Tama!”
“Di mana anak kita dulu?”
“Anak yang mana? Jangan sebut kata kita. Kamu
keluar sekarang.”
“Aku ingin mengangkat derajatmu Rae…..
menikahlah denganku….. ayolah Rae!”
“Orang sepertimu masih mengira punya derajat
hingga sok baik mau mengangkat derajat orang lain? Hahaaa! Tamaaaaa…. Tamaaa
mimpi kamu! Keluarlah dari tempat penuh dosa ini ….., tempat yang tidak layak
untukmu manusia baik sepertimu!”
Akhirnya Rotama keluar kamar. Laki-laki itu
gontai melangkah meninggalkan Raeni. Beberapa sekon perempuan itu mencoba
mengamati punggung Rotama. Air matanya mengembang di pelupuk matanya. Ia
membayangkan jika laki-laki itu adalah laki-laki yang bertanggungjawab.
Alangkah bahagianya Artiti, anaknya dari laki-laki itu.Tak urung juga air mata
Raeni menetes.
Dulu, di saat-saat keindahan masih dirasakan,
keduanya sering menyewa perahu dari pantai Tambak Lorok ke arah tanggul di
tengah laut. Di tanggul yang dipenuhi dengan para pemancing, keduanya hanya
meletakkan joran dan umpan. Raeni duduk menggelar tikar kecil, sementara Rotama
mengembangkan payung. Di saat-saat seperti itulah, Raeni merasakan bahwa laut
lepas di hadapannya adalah saksi bahwa cinta mereka akan abadi.
Selain teluk Tambak Lorok, keduanya sering
melancong pula ke Kopeng, atau ke mana saja di sepanjang dataran tinggi dari
Ungaran ke arah Salatiga. Bahkan sesekali perjalanan berlanjut hingga ke
Kaliurang. Tak sekali dua kali keduanya sampai menginap di mana saja. Pandangan
mata Rotama bagi Raeni adalah pandangan yang menyejukkan. Ia merasa terlindungi
di pelukan cintanya. Hingga akhirnya pergaulan yang melenakan dirinya, membawa
dirinya ke saat-saat ia tak memiliki sesuatu lagi yang bisa dibanggakan. Yang
menyebabkan dirinya menjdi gamang menjalani hidup adalah ketika Rotama
meninggalkan dirinya.
Raeni hamil. Perempuan itu menyampaikan
kepada Rotama, namun Raeni marah bukan kepalang ketika Rotama menggeleng.
“Kamu tidak mengakui ini anakmu?”
“Bukan masalah itu! Ternyata kamu perempuan
murahan!”
Plak! Tangan Raeni menyambar pipi Rotama.
“Apa katamu? Murahan?! Enak saja kamu
mengakan itu!”
“Perempuan yang kuat imannya adalah perempuan
yang mampu menahan godaan laki-laki! Tidak seperti kamu!”
“Tama!”
“Mungkin saja jika tidak denganku kamupun
akan melakukan hal ini! Pasrah pada laki-laki!”
Raeni tak sanggup mengeluarkan kata-kata di
depan Rotama. Raeni yang sudah bukan gadis lagi berlari meninggalkan Rotama.
Laki-laki itu hanya tersenyum memandang Raeni yang semakin jauh.
Hancur hati Raeni. Ia tak berani mengatakan
yang sesungguhnya kepada kedua orang tuanya. Ia kasihan jika orang tuanya
menanggung malu akibat perbuatannya. Akhirnya Raeni memilih mengontak
sahabatnya, yang membawanya terdampar di kota Surabaya.
***
Siang itu Artiti belum pulang membeli
makanan.
Raeni yang sendirian di rumah mencoba dengan
tertatih-tatih mencari minuman. Sebutir obat sakit kepala ia telan. Ia berharap
migraine yang dideritanya hilang.
Setelah itu mencoba ke luar ruangan di samping rumah utama. Kamar yang terpisah
inilah yang ia tempati sebagai peneduhan sementara.
“Rae!” Belum lagi ia membuka secara penuh,
ada yang berteriak di hadapannya. Raeni kaget.
“Tama! Ada perlu apa ke sini?”
“Raeni, sabar ….. dengarkan dulu kata-kataku.
Berita tentang penutupan gang Dolly yang membuatku melacakmu ke sini.”
“Apa urusanmu dengan Dolly?”
“Karena ada kamu Rae. Boleh aku duduk?” Tanya
Rotama sambil menunjuk kursi di depan ruangan.
“Duduklah.”
“Terima kasih Rae.”
Rotama duduk. Raeni pun akhirnya terpaksa
duduk. Keduanya terdiam beberapa saat.
“Ada apa kamu datang ke sini?"
“Kamu tidak sehat Rae?” Rotama balik
bertanya.
“Bukan urusanmu. Ada apa datang?”
“Aku prihatin atas penutupan Dolly oleh Bu
Risma.”
“Oooo
kenapa?”
“Emm….
tidak, tidak tahu.”
“Kamu
ini aneh Tama, setengah tahun lalu kamu mengajakku keluar dari Dolly, sekarang
Dolly ditutup kamu malah prihatin. Jangan-jangan pikiranmu sedang kacau.”
“Eee….
eeee …. anu, maaf.”
“Jangan-jangan
kamu prihatin karena sekitar seribu limaratus PSK kehilangan pencaharian, para
germo kehilangan anak buah, para bodyguard
kehilangan wilayah, para penjaja obat blingsatan, para laki-laki hidung belang
kelihangan tempat rekreasi! Begitu?! Katakan saja begitu!” kata Raeni berteriak
sambil berdiri.”
“Maaf
Rae, bukan, bukan itu. Ini tak ada hubungannya antara Walikota, Dolly dengan
aku. Aku hanya prihatin dengan keadaanmu.”
“Prihatin
kenapa?”
“Aku
kasihan padamu Rae, pada anak kita ….. “
“Kamu
ulangi kata-katamu itu lagi? Ingat Tama, aku perempuan mandiri. Aku tidak
cengeng.”
“Aku
punya usaha yang maju. Kita bisa hidup tenang.”
“Apa
urusanya denganku? Majulah usahamu. Hiduplah kamu yang tenang …..”
“Tapi
aku ingin denganmu.”
“Agar
ada kekeset? Agar kau merasa di atas
diriku. Dulu saja kau begitu tak menghargaiku, apalagi sekarang.”
“Aku
menghargaimu.”
“Aku
tak akan pernah percaya.”
“Aku
punya usaha di Sukabumi. Jauh dari kampung kita di Tambak Lorok. Tak ada orang
yang tahu bahwa kau adalah …… adalah …… “
“Adalah
apa?”
“Ngggg……
nggg….. emm maaf… tidak Rae. Jangan kau sudutkan aku seperti itu.”
“Sebut
saja aku ini pelacur! Yang pernah kau sebut perempuan murahan!”
“Tidak
Rae….”
“Sekarang
kau pergi dari sini! Bawa niat baikmu ke Sukabumi, masih banyak perempuan
baik-baik, buat kamu laki-laki yang baik! Jangan ganggu hidupku, pergiiiii!”
“Rae……
tak adakah kata maaf sedikitpun dalam hatimu.”
“Belum
saat ini.”
“Kapan
Rae?”
“Pergilah
Tamaa… pergi…. pergiiiiii!” Raeni berteriak keras.
Tak urung laki-laki itu menggeleng. Perlahan
laki-laki itu pergi dengan gontai. Teras gazebo kamar sewaan Raeni kembali
lengang. Perempuan itu menjatuhkan pantatnya di kursi. Keringat dingin membasahi
dahinya. Pening di kepalanya semakin menjadi. Ia memejamkan matanya.
Bayangan Rotama berkelebat. Laki-laki itu
tersenyum. Tapi ia memandangnya sebagai sebuah senyuman culas. Ia tidak yakin laki-laki
itu dengan tulus mengajaknya menikah. Namun kadang-kadang ia berfikir akan
bagaimana hidupnya kelak, serta bagaimana Artiti kelak. Kadang-kadang ia
mencoba menegarkan hati tatkala melihat keluarga-keluarga yang berbahagia.
Namun ia cepat-cepat mengibaskan khayalannya, karena yang dihadapi saat ini
adalah realita.
“Ibuuu…… “ tiba-tiba Raeni dibangunkan dari
pejaman matanya oleh teriakan Artiti yang dating membawa nasi bungkus.
“Oooh .. apa sayang? Kok nasinya dibawa
pulang?”
“Titi ingin makan di rumah saja, bareng ibu.”
“Ooo …. iya, iya boleh …. ayo masuk. Kita
makan di dalam.” ajak Raeni sambil menuntun anaknya.
“Ibu.. tadi di sana ada bapak-bapak termenung
melihat ke rumah ini terus, ibu kenal?” tiba-tiba anaknya bertanya. Raeni
terhenyak.
“Bapak-bapak yang mana?”
“Jaket merah. Tuh tadi setelah lama melihat
ke sini, jalan ke ujung gang….”
“Jaket merah? Bawa tas kecil?”
“Iya benar. Ibu kenal?”
“Oooo tidak, Mungkin orang minta-minta….
sudahlah…. ayo makan.”
Artiti tak menggubris lagi perkataan ibunya.
Raeni sendiri memastikan bahwa itu adalah Rotama, ayah Artiti. Namun perempuan
itu tak memperpanjang angan-angannya, ia menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Walaupun ia juga ragu, apakah Tuhan masih mendengar pintanya sebagai seorang
perempuan semacam dirinya.
***
Jauh
di ujung gang.
Rotama
yang gontai menuju sebuah MPV yang menunggu. Di dalamnya ada seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Keduanya melihat Rotama dengan serius.
“Bagaimana?
Rot?” tanya si perempuan ketika Rotama telah masuk ke dalam mobil.
“Gagal.”
“Hahaaa!
Gagal! Kena batunya kau sekarang! Dua kali kamu mencoba meyakinkan bekas
pacarmu itu, tapi gagal.”
“Hhh
… sudahlah … ayo jalan!” kata Rotama memberi aba-aba.
“Oke
Boss! Kita cari perempuan lain saja. Atau cari perempuan pelarian Dolly yang
lain, yang masih mau melanjutkan kegiatannya …. “
Rotama
diam. Laki-laki itu menghela nafas dalam. Laki-laki itu berfikir akan kembali
mengejar Raeni di waktu lain, tetapi bukan untuk diserahkan kepada sindikat. Ia
sangat mengagumi Raeni yang begitu tegar dan kokoh dalam prinsip dan
pendiriannya.
“Aku
terlambat mengagumimu Raeni ……” gumam Rotama sambil melihat ke luar jendela.***