Dosa itu
urusan agama. Yang berhak berbicara bagusnya adalah guru agama, agama
apapun. Biasanya pernyataan dosa atau tidak dosa dasarnya adalah dogma. Agama
tidak boleh ditelusuri secara logika, karena nanti pasti akan menjadi bahan
perdebatan yang sangat panjang.
Nyontek itu
urusan ujian. Pelakunya adalah siswa atau peserta ujian. Jika siswa pelakunya,
maka itu merupakan sebuah bentuk kenakalan siswa, kenakalan anak atau apa saja
yang setara dengan itu. Jika pelaku nyontek itu orang dewasa, maka itu
merupakan kenakalan orang dewasa. Kenakalan anak-anak bisa dimaafkan.
Seharusnya orang dewasa yang memaafkan kenakalan anak-anak, jadi semestinya
tidak boleh ikutan anak-anak yang nyontek. Itu logikanya. Sebab kalau
orang dewasa nyontek, siapa lagi yang bisa dibanggakan?
orang dewasa nyontek, siapa lagi yang bisa dibanggakan?
Di mana siswa
nyontek? Tentu di tempat ada ujian atau mengerjakan soal. Ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan kenaikan kelas, ujian sekolah, ujian nasional.
Atau pasca siswa - pra mahasiswa, pada saat ujian masuk perguruan tinggi.
Di mana lagi
siswa nyontek? Pada saat mengerjakan tugas. Menyontek LKS kepunyaan teman,
menyontek tugas teman, mengkopi file tugas teman (kemudian mengembangkan
sedikit sehingga tidak kelihatan kalau itu hasil copy-paste).
Di mana orang
dewasa nyontek? Di ujian pegawai, di ujian penyaringan karyawan, di ujian online, di ujian sertifikasi, di ujian
penyetaraan Paket A-B-C, di ujian-ujian mahasiswa, di ujian TOEFL, dan di
tempat-tempat lain yang saya lupa.
Dosa Besar
Menurut
pandangan Islam, dosa besar di antaranya kesaksian palsu, durhaka kepada orang
tua, dan syirik. Saya tidak akan membahas yang tiga di atas, sebab saya bukan
ahlinya. Marilah kita biasakan untuk tidak membahas sesuatu yang kita tidak
ahli.
Kebetulan saya
menjadi guru sejak tahun 1989. (Saya
katakan “kebetulan” karena cita-cita saya waktu awal SMA adalah menjadi
jurnalis . Maaf, curhat). Jadi saya sudah cukup banyak berkecimpung dalam
hal contek-menyontek. Mungkin ada
heran, bukankah guru harusnya akrab dengan pendidikan? Ini malah akrab dengan
menyontek. Begini, sifat dasar manusia itu suka mengingat kejelekan orang lain,
walaupun itu hanya sedikit atau kejelekan kecil. Kebaikan yang banyak biasanya tidak tampak,
tidak mendapat reward. Orang akan
mengatakan: kebaikan itu wajar, jadi untuk apa diberi reward. Inilah
pendapat orang-orang yang anti kebaikan.
Menyontek bagi
sebagian siswa adalah merupakan sebuah kondisi keterpepetan. Alasan klasik
biasanya membantu orang tua. Maksudnya
membantu agar orang tua senang karena nilainya bagus, walaupun hasil menyontek.
Bagi sebagian lain, menyontek adalah sebuah perjuangan. Yang parah adalah jika
siswa menganggap berhasil menyotek adalah pahlawan. Ya, pahlawan. Si pelaku ini
dengan bangganya, seusai ulangan tertawa bangga sebagai ekspresi bahwa usahanya
tidak diketahui gurunya. Ada dampak negatif yang tumbuh tak disadari. Dampak bagi
anak lain, sudah tahu temannya menyontek tetapi tidak memberi tahu guru.
Akhirnya terdapat sebuah solidaritas yang salah dalam diri siswa di lingkungan
itu.
Ada sebuah
pemahaman yang harus diungkapkan (bahkan harus berkali-kali) secara
intens kepada siswa sebagai generasi muda. Apa itu? Nyontek. Marilah kita beri
pemahaman kepada para siswa kita , kepada anak-anak kita, keponakan-keponakan
kita, kepada cucu-cucu kita, kepada anak-anak asuh kita untuk menghentikan
menyontek (dari dulu nasehat juga begitu).
Ketika seorang
siswa menyontek, maka keinginan hanya satu. Gurunya tidak melihat. Maka ketika
ia menyontek, ia berkata (umumnya dalam hati) : mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat. Ketika ia mengucapkan “mudah-mudahan” sesungguhnya ia sedang
berdoa. Kepada siapa ia berdoa? Bukankah doa itu pasti kepada Tuhan? Mustahil
jika manusia berdoa tidak kepada Tuhan.
Hanya orang-orang yang sesat lupa
sajalah ketika berdoa tidak kepada Tuhan.
Jadi, menyontek
pasti berdoa. Berdoa pasti melibatkan Tuhan. Kalau sudah berurusan dengan
Tuhan, tidak ada hal yang tidak serius. Melibatkan Tuhan pasti berurusan dengan
sesuatu yang maha dahsyat. Tuhan diminta untuk membuat agar bapak/ibu guru tidak melihat. Padanan
dari “tidak melihat” adalah “buta”. Paling tidak “meleng” / “lengah”.
Mari kita
bayangkan betapa kurangajarnya doa para penyontek jika kita maknai lebih dalam
:
Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat!
Ya Tuhan,
mudah-mudahan bapak/ibu guru buta!
Ya
Tuhan, mudah-mudahan
bapak/ibu guru meleng!
Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat!
Ya Tuhan,
mudah-mudahan bapak/ibu guru buta!
Ya
Tuhan, mudah-mudahan
bapak/ibu guru meleng!
Sejak kapan
dia menjadi penyontek? Misalnya sejak SD. Berarti sejak saat itulah ia mulai
melibatkan Tuhan untuk urusan menyontek. Jika sekarang si penyontek telah kelas
XII SMA, maka telah 12 tahun ia berdoa kepada Tuhan memohon agar para gurunya
(SD,SMP,SMA) buta. Inilah akumulasi dosa kecil yang lantas menggunung menjadi
dosa besar karena dosa itu selalu diulang dan selalu diulang secara disadari.
Mari kita
renungkan secara dalam dan kepala dingin. Guru adalah sosok yang paling banyak didoakan
jelek oleh para siswa (si penyontek itu). Alangkah sedihnya guru. Guru tidak
bersalah apa-apa, didoakan jelek. Guru orang yang selalu memberikan nasehat,
memberikan motivasi, memberikan ilmu, membuka wawasan pengetahuan dan
bimbingan. Semestinya ia mendapat ucapan
terimakasih setiap saat dari para siswa. Bukan sebaliknya didoakan buta.
Mari kita
berikan pemahaman semacam ini kepada para siswa. Sampaikanlah dengan seloroh.
Saya yakin mereka akan memahami. Siapa tahu siswa tersebut adalah putra putri
anda para pembaca, atau adik anda, atau keponakan anda, atau cucu anda, atau anak
asuh anda. Hilangkan kejelekan yang ada ketika kejelekan itu telah kita
ketahui. Sedini mungkin.
Ya, sedini mungkin. Mudah-mudahan dari ajakan ini,
ada sebuah harapan besar untuk membangun karakter terpuji bagi para siswa.
Karakter terpuji generasi muda kita.***