Jantung Samboja berdetak keras. Jalan menuju desa kelahirannya
telah di depan mata. Angkutan pedesaan yang ditumpanginya berhenti untuk
menurunkannya. Setelah angkutan pedesaan melanjutkan perjalanan, laki-laki tua
itu sendirian di ujung desa Tretes, desa kelahirannya. Mata tuanya tiba-tiba terasa
panas, tanpa sadar ia menyeka dengan punggung tangannya. Beberapa jenak
kemudian ia memandang jauh di seberang persawahan , mulutnya terkatub. Dari
jauh sebatas mata memandang, Tretes tampak tak berubah. Laki-laki itu kini benar-benar menangis. Lutut tuanya
tak sanggup menahan rasa harubiru di dadanya. Tubuhnya jongkok, lututnya
bertelekan tanah.
“Tretes….. !” Samboja bergumam menyebut nama desanya. Air matanya
semakin deras.
Tiga puluh tahun silam laki-laki itu meninggalkan desanya. Tepat
sekarang seperti janjinya terhadap dirinya sendiri, ia akan datang lagi.
Benar-benar Tuhan mengabulkan keinginannya dengan diberinya umur panjang.
Di desa itu Samboja sebenarnya sudah tak punya siapa-siapa. Sanak
saudara tak ada. Dialah orang terakhir dari keluarganya yang meninggalkan
Tretes setelah rumah warisan orang tuanya dijual untuk bekal merantau ke
kota. Kedatangannya ke Tretes hanya satu tujuan, ingin memberikan kujang
perak bergagang kayu pinang kepada Lentik
“Tapi ….. apakah kujang itu masih ada?” pertanyaan itulah yang
muncul dalam hatinya.
Samboja ingat benar ketika benda itu ia kubur bersamaan waktunya
dengan pemakaman Narada, suami Lentik. Tiga puluh tahun lalu baginya seterang
bayangan kemarin sore. Saat-saat hatinya menjadi remuk redam dengan dinikahkannya
Lentik dengan laki-laki teman sepermainannya waktu kecil.
Lentik bukanlah nama sesungguhnya. Nama gadis itu Lestari. Nama
Lentik adalah panggilan sayang Samboja pada gadis itu, sebab bulu mata Lestari
memang lentik indah .
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Lentik menyadarkan Samboja.
“Aaa… anu…. kagum saja, pada bulu matamu.” Samboja tergagap.
“Kan tiap hari Akang melihatnya.”
“Justru itulah aku sedang bingung, kenapa aku tak pernah jemu
melihat bulu matamu yang indah. Kau tampak begitu mempesona… anggun…. hmhhhh….. bikin gemas……”
“Huh! Rayuan gombal!” kata Lentik namun tak urung tawanya pecah
juga sambil mencubit lengan Samboja. Dada Samboja berdetak kencang.
“Yaaaa… memang aku rasanya hanya bisa merayu. Untuk mengharapkanmu
lebih jauh rasanya sulit, ayahmu tidak setuju, buktinya kalau melihat aku
mukanya gelap. Tak enak dilihat. Jadinya aku segan, bahkan takut.”
“Sebenarnya itu kan alasanmu untuk menjauh dariku ya Kang?”
“Ooo tidak, tidak…. tidak. Aku benar-benar takut pada ayahmu. Aku
tahu diri, aku minder pada ayahmu. Ayahmu orang kaya. Aku hanya seorang
pedagang barang souvenir, batu akik, cincin, replika senjata tradisionil,
gelang akar bahar….. “
“Yaaa.. aku tahu, sebenarnya yang dibenci ayahku itu bukang Akang,
tapi ya barang-barang jualanmu itu Kang. Barang-barang jualan Akang itu berbau mistis, klenik,
berbau-bau aliran hitam, dan sejenisnya.”
“Ya menurut aku itu biasa saja. Aku ambil barang-barang itu dengan
cara biasa, bukan dari bertapa , tetugur, pati geni atau sejenisnya. Aku beli barang-barang itu dari
pasar batu akik Jatinegara. Apa itu berbau mistis? Paling juga itu alasan
ayahmu yang memang tidak suka padaku atau mungkin pada keluargaku. Atau karena
di sini sebatang kara, tak ada sanak keluarga, tak ada yang membuat kebanggaan
keluarga besarmu. Iya kan?”
“Hmh…. tak tahu lah Kang. Tapi Akang serius suka sama aku kan?”
“Ya serius.”
“Kalau
serius, lamar aku Kang! Bagaimana jawaban ayah nanti saja urusan
belakang. Aku tidak ingin pacaran
… malu Kang.”
“Lah kita ini sekarang di pinggir kali berduaan. Pacaran bukan?”
“Ya iyalah, mungkin ini yang namanya pacaran. Ya kebersamaan
seperti inilah yang membuat aku malu. Ini desa Kang, bukan kota ……”
“Kenapa harus malu, aku tidak pernah ngapa-ngapain kamu.
Lentik adalah gadis terhormat yang harus aku jaga. Aku tahu diri, walaupun aku
tidak pandai, tapi aku mengerti agama.”
“Syukurlah kalau Akang mengaku mengerti agama.”
Beberapa jenak keduanya diam. Semilir angin sepoi-sepoi membelai
persawahan desa Tretes sore itu. Hawa sejuk begitu meresap ke hati Samboja.
Kehadiran Lentik dalam hidupnya membawa rasa bahagia. Ia membayangkan betapa
bahagianya jika bisa hidup berumah tangga dengan gadis itu. Punya anak-anak
yang lucu, menggarap sawah di desa. Makan di dangau berdua, sementara
anak-
anaknya bermain di lumpur. Dan bayangannya sebenarnya sudah sangat dekat dengan kenyataan. Lentik juga menyukainya. Tinggal ayah gadis itu yang masih tidak menentu. Samboja ingin mengubah nasibnya hingga secara ekonomi cukup kufu di mata ayah Lentik. Tapi dalam waktu dekat hal itu amatlah berat.
anaknya bermain di lumpur. Dan bayangannya sebenarnya sudah sangat dekat dengan kenyataan. Lentik juga menyukainya. Tinggal ayah gadis itu yang masih tidak menentu. Samboja ingin mengubah nasibnya hingga secara ekonomi cukup kufu di mata ayah Lentik. Tapi dalam waktu dekat hal itu amatlah berat.
“Lentik …… “ panggil Samboja pelan.
“Ya… “ Lentik menoleh. Gadis itu menatap tajam. Dada samboja
bergetar menatap mata Lentik. Ia merasakan deburan harubiru bahagia menatap
mata gadis itu. Ia yakin, dirinya benar-benar telah jatuh cinta dengan
sebenar-benarnya, bukan hanya simpati. Samboja menata nafasnya. Ia redakan
gemuruh di dadanya. Setelah nafasnya tertata , pemuda itu mengeluarkan sesuatu
dari balik bajunya.
“Kau lihat ini Lentiiiik….. “ kata Samboja.
“Hah?! Kaa… kauuuu….” gadis itu kaget. Matanya terbelalak.
“Ini kujang , Lentiiik…..”
“Kau mau membunuhku Kang?!” tanya Lentik sambil matanya melihat ke
arahkujang kecil warna perak bergagang hitam.
“Aaa… aaa…. maaf lentik! Aku hilaf! Ini kujang biasa …. siapa yang
akan membunuhmu? Aku maksudmu? Aku ini mencintaimu Lentik….. mana mungkin
membunuhmu.” Samboja tertawa.
“Kujang itu …. “ kata Lentik sambil menunjuk kujang yang dipegang
Samboja.
“Lentik, maaf, aku telah mengagetkanmu. Aku mau merantau ke kota
akhir bulan ini. Aku menunggu rumah kecilku di desa ini laku dijual, untuk
modal berusaha di kota. Nanti setelah sukses aku kembali ke Tretes untuk
meminang Lestari.”
“Terus, apa hubungannya dengan kujang itu?”
“Oooo begini, maksudku, aku mau minta ijin padamu, bolehkah namamu
aku ukir di gagang kujang ini?”
“Buat apa?”
“Buat obat kangen. Ukiran nama ini akan menjadi pengobat rinduku
pada gadis Tretes yang anggun, yang menjadi impianku. Nanti kalau aku sudah
sukses, kujang ini aku persembahkan untukmu. Boleh ya namamu ditoreh di sini?” tanya
Samboja penuh harap. Lentik memalingkan wajahnya ke arah bentangan sawah.
“Buat obat kangen Lentiiiik ….. boleh ya?”
“Hmh….”
“Pandang aku doong….” pinta Samboja. Sejurus kemudian Lentik
menoleh, matanya menatap mata Samboja.
“Boleh?”Samboja mengulangi.
“Ya.“ kata Lentik hampir tak terdengar.
Tak terkira bahagianya Samboja ketika gadis itu mengijinkan
namanya ditorehkan di gagang kujang perak kecil. Beberapa torehan bahkan Lentik
sendiri yang melakukannya. Hingga beberapa saat kujang perak bergagang kayu
pinang hitam itu telah tertoreh nama LENTIK. Samboja puas. Ia pandangi Lentik
dengan penuh cinta.
“Terima kasih Lentik …. mulai sekarang, benda ini ini adalah
simbol pengganti dirimu. Gadis Tretes yang kelak aku harapkan menjadi istriku
……”
“Terima kasih Kang.”
Dengan penuh perasaan Samboja mendekap kujang itu di dadanya. Ia
pandangi Lentik yang tersenyum manis. Samboja membalas senyuman itu. Kemudian kujang
itu ia cium perlahan dengan penuh perasaan. Wajah gadis itu memerah malu, lalu
melempar pandang ke tempat lain. Dari samping Samboja tiba-tiba melihat
mata gadis itu berkaca-kaca, bahkan kemudian menitikkan air mata. Lenting
menyekanya dengan punggung tangannya.
Selang dua minggu sejak kebersamaan dengan Lentik mengukir gagang
kujang perak, hati Samboja luluh lantak. Kabar yang tersiar sampai di
telinganya, Lentik akan dinikahkan orang tuanya dengan Narada, teman
sepermainannya. Berhari-hari Samboja mengurung diri dalam rumah yang telah
dijualnya sebelum ditinggalkan ke kota. Tak pernah tampak pemuda itu ke luar
rumahnya.
Akhir bulan ini desa Tretes mengalami berita duka. Narada, suami
lentik meninggal mengalami kecelakaan di kebunnya, nampaknya ia jatuh dari
pohon ke semak belukar. Beberapa bagian dari tubuhnya tertusuk ranting semak
belukar. Jadilah Lentik seorang janda. Melihat keadaan ini Samboja bingung
harus berbuat apa, atau harus berbicara apa terhadap Lentik. Lentikpun
nampaknya masih trauma dengan kematian suaminya di masa pengantin baru.
Perempuan itu tak pernah keluar rumah. Di tengah kebingungannya , Samboja
memilih meninggalkan Tretes merantau ke kota, tanpa pesan apapun kepada Lentik.
Dug! Dug! Dug! Samboja terhenyak dari lamunannya.
Bedug masjid Tretes masih terdengar seperti dulu. Di matanya desa
kelahirannya tak banyak berubah. Hanya mungkin penghuninya banyak yang tak ia
kenal. Anak-anak yang dulu kecil, sekarang tentu telah menjadi orang tua
setelah tiga puluh tahun ia tinggalkan. Sebagian mungkin masih mengenalinya.
Samboja tak ingin kedatangannya diketahui orang, makanya ia memlih jalan
persawahan menuju tepi pemakaman. Hatinya berdebar melihat pohon kaweni di
timur pemakaman. Pohon itu masih ada. Tingginya telah tiga kali lipat dari
ketika ia tinggalkan dulu.
Setelah yakin tak ada orang lain yang melihat, Samboja menggali
tanah di bawah batu sebesar kepala. Ketika linggis kecilnya menerpa benda keras
ia bersyukur.
“Kotaknya masih ada … “ gumamnya.
Ia menggali lebih cepat lagi. Benar. Apa yang dicarinya masih ada.
Kotak yang terbuat dari kuningan itu masih utuh. Tanah-tanah yang melekat
disaputnya dengan jarinya. Hanya saja gembok kecil yang melekat telah karatan.
Laki-laki itu mengerahkan tenaga untuk mencongkelnya, namun tetap bergeming.
Akhirnya Samboja membabatkan linggis kecil dengan sekuat tenaga. Gembok karatan
lepas.
Tangan Samboja bergetar meraba tutup kotak kuningan. Benda
kenangan yang tak jadi dibawa ke kota terbayang di matanya. Namun mata
laki-laki itu terbelalak ketika kujang perak itu tak ada di dalamnya. Ia hanya
menjumpai gulungan plastik berlapis-lapis.
Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia meyakinkan diri
bahwa di sekitarnya tak ada siapa-siapa. Kini jarinya meraba gulungan plastik
itu. Dada Samboja berdetak keras ketika di dalam gulungan plastik itu terdapat
secarik kertas. Kertas itu telah suram warnanya. Namun tulisan di dalamnya
masih terbaca.
“Tulisan Lentiiik ……. “ Samboja bergumam.
Ia mencoba mengingat saat ia menguburkan kotak kuningan itu di
bawah pohon kaweni. Memang waktu itu harinya bersamaan dengan pemakaman suami
Lentik. Tapi ia yakin bahwa tak ada yang melihat dirinya, sebab ia telah
mengitari seluruh penjuru pemakaman sebelum mengubur kotak. Namun ketika ia tak
menjumpai kujang perak, berarti Lentik mengatahui dirinya ketika mengubur kotak
itu. Samboja menelan ludah.
Dilihatnya tulisan perempuan yang dicintainya. Matanya nanar .
Perasaannya tak keruan.
“Kang Boja, kenapa kujang berukir namaku tak kau bawa serta
dalam perantauanmu? Kujang itu kini aku simpan. Kang Boja bisa
ambil kapan saja, kecuali jika aku sudah mati ….. “
Mata Samboja memanas. Air matanya berlinang.
Hatinya memendam harapan membaca kalimat
tersebut. Rasa rindu pada wanita itu menggelora. Dalam bayangannya Lentik masih
seperti ketika dulu ia tinggalkan. Gadis yang sederhana, anggun, dengan bulu
mata indah. Ah, seperti apa sekarang Lentik? Hati Samboja
bertanya-tanya. Sudah menikah lagikah? Sudah punya anakkah? Sudah
keriputkah wajahnya? Laki-laki itu membandingkan dirinya yang sekarang telah
berusia enam puluh lima tahun. Rambutnya telah beruban, tubuhnya kurus dan
wajahnya sudah tak segar lagi.
“Tapi hatiku selalu segar untuk berbicara
cinta pada Lentik …… “ gumam Samboja seraya
beranjak meninggalkan tepi pemakaman.
Setelah bertanya ke beberapa orang, Samboja
diantar ke rumah kayu di pinggir kampung. Samboja tak menyangka kalau itu rumah
Lentik. Sama sekali tak ada tanda-tanda kekayaan orang tuanya. Beberapa saat
Samboja tak melihat siapa-siapa di situ. Rumah sepi.
“Mencari siapa?” Tiba-tiba terdengar suara
menyapa di belakangnya. Samboja menoleh.
Samboja terperangah. Demikian pula perempuan
tua yang menyapa. Hingga beberapa jenak keduanya terdiam dalam rasa kaget.
Tatapan mata dan suara masing-masing dikenal satu sama lain. Yang memandang laki-laki kerempeng wajah
kusut, yang lain memandang perempuaan tua denngan kondisi yanag sama.
“Kang Boja? Kang Bojakah?”
“Lentik? Lentikkah ini?”
“Ya…. berarti benar ini Kang Boja? “
“Lentiiiikkkkk……”
Tanpa sadar keduanya berpelukan. Namun hanya beberapa detik
keduanya kaget. Keduanya sadar bahwa mereka bukan apa-apanya. Keduanya saling
melepas pelukan.
“Maafkan aku Lentik….”
Siang itu keduanya duduk di beranda rumah
kayu sederhana, di pinggiran desa Tretes yang terpisah dari keramaian perumahan
penduduk yang lain. Suasana sangat kaku. Namun akhirnya keduanya bisa saling bicara.
“Aku dikucilkan oleh penduduk. Beruntung
mereka tak mengusirku keluar desa ini …..”
“Kenapa?”
“Aku dituduh membunuh suamiku, karena dalam penyelidikan ketahuan ada luka
mencurigakan di ulu hati kang Narada.” Kata perempuan itu menunduk. Air matanya
membayang di pelupuk.
“Kau dituduh membunuh suamimu?” Samboja
kaget.
“Ya.”
“Terus bagaimana?”
“Aku dipenjara.”
“Di penjara? Berapa tahun?”
“Dua puluh lima tahun.”
Kata perempuan itu hampir tak terdengar.
“Selama itu?”
“Ya , biarlah ini pengorbanan Lentik untuk orang yang saya
cintai Kang… “
“Apa maksudmu pengorbanan?”
“Saya tahu siapa yang membunuh Kang Narada.”
“Kamu tahu Lentik?”
“Yaaa aku tahu.”
“Siapa orangnya Lentik?”
“Aku melihat kejadian itu. Akang jangan berpura-pura. Aku
juga melihat Akangketika mengubur
sesuatu di bawah pohon kaweni dekat makam. Peristiwa itulah yang menyebabkan
kujang perak tak jadi kau bawa merantau Kang? Karena di kujang itu ada darah
orang yang kau benci . Katakan
iya Kang!” Kata Lentik yang
tiba-tiba matanya basah. Ia menangis. Badannya berguncang-guncang.
Bagaikan dihantam godam seribu, kepala Samboja terasa melayang.
Pandangannya nanar. Beberapa jenak laki-laki itu diam. Ia tatapi perempuan tua
di hadapannya. Benar apa yang dikatakan Lentik.
“Aku memang membunuh Narada…”
“Aku tahu Akang pembunuh.”
“Aku
akui. Aku memang pembunuh.
Hari ini aku
akan lapor polisi, biar aku habiskan masa tuaku hingga mati di penjara.” kata Samboja lirih. Lentik menghela nafas.
“Tak perlu Kang.”
“Aku harus bertanggung jawab!”
“Terlambat. Kesadaran Akang terlambat. Kenapa tidak dulu-dulu.”
“Aku tidak tahu …. Aku pengecut. Jadi biarlah polisi menangkapku,
pengadilan menghukumku.”
“Sudahlah Kang, sudah. Cukup aku yang membayar dengan separuh hidupku. Aku hanya menyesal Kang, dulu Akang
pernah katakan bahwa Akang orang yang mengerti agama, tak berbuat maksiat
apa-apa ketika kita bersama, tetapi mengapa orang yang mengerti agama membunuh
orang?”
“Aku mata gelap Lentik.”
“Alasan klasik….”
“Lagi
pula kenapa waktu itu tak kau katakan kalau aku yang membunuh Narada?”
“Sudah terlanjur Kang. Aku tak tahu kenapa
waktu itu aku mengaku membunuh suamiku sendiri. Mungkin karena aku melihat
Akang begitu mencintaiku. Aku ingin melindungimu
Kang. Tapi aku paham alasanmu membunuh, hingga apapun penghalang keinginanmu terhadapku kau
singkirkan. Akang tahu kejadian apa
berikutnya?”
“Tidak…. Aku sudah menutup semuanya untuk Tretes waktu itu.”
“Keluargaku
marah, keluarga Kang Narada juga. Mereka memutuskan hubungan saudara. Aku
akhirnya tahu ayah ibuku mati merana ketika aku di penjara….. “ Terhenti cerita
Lentik. Ada nada sesak di kerongkongan. Samboja tak tahan , laki-laki itu
meneteskan air mata.
“Pengorbananmu terlalu besar Lentiiik…. “
“Tak apa Kang, aku puas menghabiskan hidupku
di penjara. Aku tak pernah ingkar pada cintaku Kang. Aku senang bisa membantu
Kang Boja lolos dari penjara, tapi aku tak bisa menolong pengadilan berikutnya
Kang ….. “
“Apa itu?”
“Pengadilan Allah Kang. Akang tak akan pernah
lolos dari pengadilan itu . Kita sudah tua sebentar lagi kita akan mati. Pintu
kematian semakin dekat ….. “
“Ya, aku mengerti Lentik.”
Samboja menangis. Ia tak pernah mau berfikir
panjang tentang apa yang terjadi di Tretes sepeninggalnya dulu. Tak pernah
berfikir untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Namun , jikalaupun ia
dihukum, pengadilan Allah tetap akan diterima.
Setelah beberapa jenak keduanya tak bicara,
Lentik masuk ke rumah. Ketika keluar di tangannya tergenggam bungkusan kain
hitam. Perlahan bungkusan itu dibuka di hadapan Samboja.
“Ini kujang milik Akang.”
“Ooo..oooooo….hhhhh kujaaang peraaaak…..” Gumam Samboja.
“Dulu
ketika aku di penjara ,
kujang ini aku
titipkan ke Kyai Sodri. Ketika aku keluar penjara empat tahun yang lalu Kyai
Sodri sudah wafat. Beruntung kujang ini disimpan Mahmud, Kyai Mahmud, sahabat
kita dulu waktu kecil.”
Samboja menghela nafas dalam. Lawon hitam
pembungkus ia buka. Ketika terbuka kujang perak itu bersinar cemerlang. Hari
ini kujang perak gagang hitam berukir nama LENTIK ada di hadapannya. Benda itu
dirabanya pelan, kemudian ia ambil perlahan. Gagang hitam dari kayu pinang ia
tatapi, ukiran nama perempuan di hadapannya ia eja perlahan. Lentiiiiik……..
gumam Samboja seraya mendekapkan kujang perak di dadanya. Perempuan tua di
hadapannya memalingkan pandangan ke tempat yang jauh. Air mata embali membayang di pelupuk
matanya.
“Kau tak menikah lagi Lentik?” Tanya Samboja
menyelidik. Lentik menoleh.
“Tidak Kang, beberapa hari setelah aku
ditahan polisi hingga putusan pengadilan aku tak lagi berfikir tentang
laki-laki.”
“Kenapa?”
“Hidup
tidak harus dengan laki-laki Kang.”
“Pengorbananmu teramat besar dan berat
Lentiiik……”
“Tidak tahulah Kang.”
“Hari
ini aku melamarmu jadi istriku!”
“Tidak Kang! Aku tak mau merusak kebahagiaan
keluargamu……lagi pula kita sudah kakek-kakek nenek-nenek. Sudah tak pantas,
kita tinggal menghitung hari ….”
“Kau keliru Lentik, aku kembali ke Tretes
setelah tiga puluh tahun memang nadzarku untuk memberikan kujang ini padamu.
Aku tak peduli seandainya kau sudah berkeluarga, kujang ini akan tetap aku berikan.”
“Hmh….”
“Aku
masih bujangan Lentik, aku tak pernah mengenal wanita. Aku tetap Samboja yang
dulu. Samboja yang dulu ….
Lentik, yang mencintai Lentik …..” kata Samboja serak di kerongkongan. Air matanya berlinang. Haru
biru hatinya akibat mengetahui pengorbanan Lentik tak urung mampu mendorong air
mata laki-lakinya keluar.
Lentik mengatubkan bibir. Kerongkongannya juga sesak. Matanya
terasa panas. Beberapa jenak kemudian butiran air hangat merambati pipi dari
pojok matanya.
“Kang Boja ……” hampir tak terdengar kata-kata Lentik. Ada banyak
rasa. Cinta yang lama terpendam. Rasa iba atas kesendirian Samboja yang
ternyata setia kepada janjinya, dan entah rasa apalagi yang sangat sulit
diungkapkan dengan kata-kata.
***
Keduanya tak pernah bermimpi akan bertemu
kembali di masa tua. Masa-masa muda keduanya telah terlewat tak ada keluarga.
Masing-masing memegang janjinya walaupun tak pernah bertemu sejak kepergian
Samboja ke kota. Sehari berikutnya keduanya menikah dengan wali hakim di masjid
Tretes tanpa ada perayaan apapun.
Setelah itu Lentik ikut suaminya ke kota. Rumahnya di
Tretes akhirnya ditinggalkan karena rumah itu hanya rumah sewa. Di kota Samboja
telah memiliki kios kecil berisi barang dagangan seperti dulu, batu akik,
cincin, replika senjata, gelang akar bahar, serta barang sejenisnya. Kini di
dinding kios kujang perak berukir nama Lentik dipajang sebagai hiasan dalam
pigura berkaca.
“Kenapa tersenyum?” Tanya Samboja suatu
ketika memergoki Lentik sedang tersenyum menatap kujang perak hiasan dinding.
“Maskawin yang paling aneh. Biasanya uang,
emas, atau seperangkat alat sholat.”
“Lalu?”
“Ada laki-laki aneh dengan maskawin kujang …… “ kata Lentik disambung tawanya.
Samboja tertawa bahagia. Didekapnya Lentik
dengan mesra.***