Gambar : Dokumentasi Nadila Dirgantari
Hanya Sekejap di
Malaysia
(Request Nadila Dirgantari)
Gunung Panten. Arena Paralayang Majalengka. Angin
semilir.
Panorama kota kecil Majalengka begitu indah di mata
Nadila Dirgantari. Gadis yang sejak menjadi pengurus OSIS di SMPN 1 Majalengka
dipanggil “Dede” , menebarkan pandangan matanya ke tempat yang jauh . Guratan
wilayah Majalengka semakin ke utara tampak semakin maya tersaput halimun. Tak
jauh dari tempatnya duduk, tiang kantong angin berkelebet bergoyang tak henti.
“Dede ..... “ ada suara pelan di sebelahnya. Yang
dipanggil tetap diam. Gadis itu melepas kacamatanya, kemudian mengelapnya
dengan tissue.
“Apa Kak?” tanyanya ketika ia sudah memakai kacamatanya
kembali.
“Dede tadi lama melihat apa ke utara lama sekali?”
“Halimun ..... “
“Mengapa halimun? Bukankah lebih baik melihat sesuatu
yang lama eksis. Halimun hanya ada sekejap, kemudian hilang berganti bentuk.”
“Entah mengapa aku akhir-akhir ini suka begitu Kak , beda
dengan kakak, sekarang sudah kuliah setahun, sudah bisa berkreasi sesuka atau
merancang sebuah prestasi. Ya itu bisa, dan enak, karena kakak sudah melewati
semuanya.”
“Dede berfikir tentang kuliah? Takut nggak diterima?
Jangan begitu aaaah, jaman sekarang asal ada kemauan kuliah di manapun bisa.
Pikiran nggak harus ke PTN, PTS yang berkualitas juga banyak. Memang perjuangan
yang inti hanya satu: Cara masuknya. Setelah jadi mahasiswa apa? Nggak ada
bedanya. Di lapangan pekerjaan, nggak ada bedanya.”
“Iya sih .... eh Kak, ngomong-ngomong nanti kakak pingin
jadi apa sih?”
“Dede inginnya aku jadi apa?”
“Iiiiiih Kak Aryo! Masa malah tanya ke aku!”
“Ya barangkali ada saran, inginnya sih belajar setinggi
langit. Paling tidak kaya sekarang di Gunung Panten, bisa melihat yang di bawah
kita dengan leluasa.”
“Dosen?”
“Heheee.... pantas nggak De?”
“Heheee......”
“Kok malah ketawa! Kenapa?”
“Lucu....”
“Awas, ntar akan kutunjukkan bahwa aku tak pantas Dede
tertawakan!”
“Maksudnya jadi dosen beneran?”
“Doakan De!”
“Beneran? Takutnya ntar aku salah berdoa!”
“Aaaah.... Dede! Kamu itu selalu begitu, maksudnya Dede
doakan aku, aku minta, Dede mengiyakan. Ya Kak Aryo, aku doakan ... semoga ....
semoga ... gituuuuuh! Aaaah Dede!”
Keduanya akhirnya tertawa bersama.
“Kenapa kita jadi ngomongin dosen ya Kak?” kata Dede
sambil beranjak berdiri.
“Makhluk apa dosen itu ya De?”
“Makhluk planet kali?”
“Planet bumi!”
Sejak Dede kelas XI SMA ia mengenal Aryo Bimo.
Seorang pemuda yang bersekolah di
sekolah lain. Mungkin orang lain menilai mereka berdua pacaran, tetapi nyatanya
Nadila tak pernah mengakui itu. Ia anggap kebersamaannya sebuah hal biasa,.
Tapi ia pernah mengatakan bahwa
persahabatan itu ada bumbunya sedikit. Kepada
Aryo Bimo juga mengatakan hal yang sama.
“De, kita sudah tiga tahun bersahabat. Tapi kayaknya
hambar ya ....”
“Iiih Kakak, hambar kayak masakan saja.”
“Ya iyalaaah .... tambahin bumbunya dong De!”
“Makanya kakak dulu kuliah jangan di jurusan teknik!”
“Lalu? Jurusan apa seharusnya?”
“Tata boga!”
“Busyeeettttt.... adikku yang satu ini selalu nggak
pernah bisa diajak serius.”
“Ya ini aku bercandanya juga serius!”
“De... sudahlah, nggak lucu! De dengarkan..... dengarkan
.... dengar nggak?”
“Dengar Kaaak.....”
“Besok aku berangkat ke Bandung.”
“Iya.”
“Aku minta fotomu ya ..... kali ini sajaaa......” kata
Aryo sambil menyiapkan kamera HP-nya.
“Nggak. Nggak mau.”
“Dede, keterlaluan. Ntar kalau aku kangen, aku harus
ngliatin apa?”
“Ngliatin dosen hahaaa!”
“Dede! Keterlaluan. Ini serius. Mau ya? Dua gambar saja.
Latar belakangnya itu ... kota Majalengka.”
“Nggak. Sekali nggak tetap nggak. Kalau mau yang di FB!”
“Nggak! Dede mah sengaja posting foto yang jelek-jelek!
Jebing, molotot dan sejenisnya!”
“Ya sudah, memang begitu aku.”
“De, kalau nggak boleh dua, satu saja .... satuuuuu saja
ya? Jawab ya gitu?!”
“Nggak! Nggaaak!”
“Kalau aku nangis?”
“Dosen kok nangis!”
“Tega De?”
“Buat apa fotoku?”
“Tapi janji ntar kalau aku sudah kasih alasan, mau difoto
ya?”
“Nggaak!”
“Terus kapan aku dapat fotonya?”
“Kapan-kapan...”
“Ya iya, kapan-kapannya kapan?”
“Nggak tahu ah! Sudah, nggak... jangan bahas lagi!”
Hari itu Aryo Bimo berangkat kembali ke Bandung dengan
kecewa. Sebenarya Nadila merasa tidak tega, tetapi entah kenapa ia bersikukuh
untuk tidak mau difoto. Ia masih merasa, tak seharusnya pemuda itu menyimpan
fotonya.
***
Bandung, kota Pendidikan.
Di ruang dosen, Aryo Bimo sendirian. Beberapa kali ia
mencoba menghubungi Nadila “Dede” Dirgantari di fakultas lain tak mendapat
respon. Dosen muda itu mendesah. Berapa tahun ia mencoba untuk mengerti watak gadis itu, tak pernah
berhasil. Sejak gadis itu masih SMA, ia gagal untuk memahami sifatnya. Nadila
adalah cadas yang sulit ditembus. Ketika saat ini keduanya telah sama-sama
menjadi dosen, Aryo masih belum menemukan sifat Nadila yang sesungguhnya. Aneh.
Ia kadang-kadang heran. Mengapa ia selalu percaya dalam hati, bahwa Nadila
adalah orang baik. Tapi logikanya kadang membantah. Nadila kurang baik untuk
dirinya. Bagaimana mungkin akan memulai, gadis itu tak pernah membuka jalan
baginya untuk masuk dalam kehidupan pribadinya.
Selama ini hanya persahabatan? Ia benarkan itu. Tapi
kini, Aryo mulai meragukan penerimaan gadis itu terhadap dirinya. Apalagi
akhir-akhir ini ia melihat kedekatan
Nadila dengan seniornya. Ya, Nadila kini menjadi asisten dosen seniornya.
Ting! Ting! Ting! Nada panggil.
Aryo terhenyak. Dede mamanggilnya.
“Iya hallo Dede
....”
“Kakak tadi menelpon ya?”
“Iya. Ada waktu De?”
“Emmm..... kayaknya nggak Kak. Hari ini juga aku harus mengolah data untuk
penelitian. Itu yang blockgrand dari Jepang. Doktor Mirwan memintaku untuk
fokus membantunya.”
“Sebentar saja De ...”
“Ini aku masih di dekatnya.”
“Ooooh .... ya sudah. Tapi, tolong dengarin aku sebentar saja ya ....”
“Apa Kak?”
“Menjauh sedikit dari Pak Mirwan ... cari tempat terlindung, aku mau tanya
serius.”
“Berlindung? Wah kakak bisa saja, kayak mau berperang. Sudah niiih, aku
sudah menjauh. Ada apa Kak?”
“De, maaf ya .... kayaknya Dede semakin dengan Doktor Mirwan ya?”
“Kak, kenapa tanya begitu?”
“Kemarin juga aku lihat Dede bareng dia, satu mobil.”
“Oooh kemarin? Itu ke rektorat Kak ...”
“Dede suka dengan Doktor Mirwan?”
“Emmm...... aaah.... apaan sih Kak Aryo! Sudahlah, maaf ya, lain kali kita
sambung lagi.”
Ketika Nadila mematikan HP, Aryo hanya mendesah dalam.
Rasanya sudah tak ada harapan lagi bagi dirinya mengharapkan Nadila lebih dari
yang selama ini. Pemuda itu kecewa. Sangat kecewa.
Kesibukan melakukan penelitian atas biaya dari Jepang,
membuat Nadila benar-benar melupakan Aryo. Aryo sendiri yang sudah merasa patah
arang, tak banyak mengontak lagi. Untuk apa mengontak jika hanya kekecewaan
berulang yang ia dapat?
Aryo Bimo yang semula tegar, kini runtuh ketegarannya. Ia
mencoba menghapus semua kenangan, rancangan dan harapannya terhadap Nadila. Ia
ganti semua nomor kontak dirinya. Ia ingin melupakan Bandung. Dalam waktu yang
bersamaan, kedua orang tuanya yang perantau, pindah menjalani masa tua di
kampung halamannya di Banten. Kini Bandung tak tersisa dalam hatinya.
Majalengka pun tak tersisa dalam hidupnya. Ia tinggalkan kota Bandung tanpa
memberi tahu Nadila, sama seperti Nadila yang tak pernah memberi tahu segala
hal kepadanya seperti dulu.
Sepeninggal Aryo, sempat suatu ketika Nadila mencarinya.
Namun gadis tak menemukan siapa-siapa. Menurut informasi, Aro telah resign dari perguruan tinggi itu, tanpa memberi tahu apa alasannya.
***
Forum Ilmiah ASEAN. Bandung suatu malam.
Gemerlap lampu ruangan sidang ilmiah “Satu Riset
Untuk ASEAN Emas” begitu berwibawa. Nadila “Dede” Dirgantari tertunduk. Air
matanya menitik. Dada gadis magister itu bergetar sebuah kebanggan berada di
tengah ratusan pakar, ilmuwan dan mahasiswa terpilih.
Orasi berikutnya dari Malaysia. Mata Nadila melihat
ke podium. Pembawa acara mengumumkan bahwa orasi yang seharusnya oleh Prof. Dr.
Tuanku Daulat Amin, digantikan oleh pakar pengganti.
Aryo Bimo Wicaksono,P.Hd. dari Malaysia!
Dada Nadila
bergetar. Aryo Bimo Wicaksono? Kak Aryo?
Kak Aryoooo? Bibirnya bergetar mengeja nama
itu. Mata Nadila terbelalak ketika melihat sosok yang
berwibawa berjalan menuju ke podium diiringi
sinar lampu tembak.
Masya Allaaahhhhh….. Aryo, Aryo Bimoooo! Kau Kak
Aryo!
Kerongkongan gadis itu terasa tersumbat. Nafasnya
tersengal-sengal. Yang dilihatnya adalah Aryo, ya Aryo Bimo yang dikenalnya.
Perlahan ia mencoba menguasai dirinya. Beberapa jenak gadis itu bergulat dengan
perasaannya yang membuncah. Orasi yang disampaikan doktor dari Malaysia itu
sama sekali tak masuk dalam otaknya. Gadis itu tertunduk. Kedua telapak
tangannya ditutupkan ke wajahnya. Ia menangis. Beberapa saat ia terisak. Tak mampu menahan perasaan, gadis itu keluar
ruangan. Langkahnya cepat meninggalkan Aryo yang masih memberikan orasi.
Menghirup udara luar ada perasaan berbeda. Kini dadanya
dirasa cenderung ringan. Ia mencari tempat duduk. Disekanya air matanya. Dari
luar terdengar sayup-sayup suara Aryo. Ya, suara yang dirindukan. Suara yang
telah menghilang tanpa pesan.
Usai acara, gadis itu bersiap menjemput Aryo. Hingga
hampir separo peserta pertemuan ilmiah keluar, gadis tak mendapati pemuda itu.
Ketika ia menengok pelataran, ia melihat Aryo keluar lewat pintu samping
membuka pintu mobil. Nadila mengejar sambil berteriak.
Kak Aryoooooooo!!!!!!
Teriakan yang cukup keras membuat Aryo menghentikan
tangan yang membuka pintu mobil. Laki-laki diam sejenak, kemudian menoleh. Kini
Nadila satu meter di hadapannya.
“Kak ... Kak ... Kak Aryo.... “ kata terbata-bata.
“Dede? Dede? Inikah Dede? Deee..... “
“Iya Kak, ini Dede... Nadila ...”
“Deeeee!” tanpa sadar laki-laki beranjak kemudian memeluk
gadis yang didepannya. Membenamkan kepalanya di dadanya. Gadis itu kaget.
“Jangan Kaak!” kata Nadila sambil mendorong tubuh Aryo.
“Och... maaf, maaf.... aku tidak sadar....”
Beberapa saat
keduanya melangkah mundur. Nadila melihat wajah Aryo. Gadis itu masih tak
percaya. Ia menutup mulutnya. Perlahan
air matanya meleleh.
“Sehat Dede? Apa kabarnya?” kata Aryo sambil mengulurkan
tangan. Perlahan Nadila menyambut uluran tangan Aryo. Hati Nadila berdesir,
kemudian jantungnya berdetak cepat ketika tangannya berada di genggaman Aryo.
Perlahan gadis itu mencium tangan laki-laki itu. Sesuatu yang belum pernah ia
lakukan sama sekali terhadap laki-laki selain ayahnya, kakek, paman dan
uwaknya.
“Seh....sehat Kakak ..... “ kata Nadila masih menggenggam
tangan Aryo. Ia seolah tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya.
Gadis itu menangis sambil mencium tangan Aryo. Tangan
laki-laki itu basah oleh air mata Nadila. Aryopun maklum, ia membiarkan
tangannya digenggam lama oleh gadis itu.
“Sudah Dede.....” kata Aryo mengingatkan.
“Maafkan Dede ... maafkan Dede Kaaak....” kata Nadila
sambil melepas tangan Aryo perlahan.
“Kenapa minta maaf?”
“Aku telah membuat Kak Aryo kecewa....”
Aryo mendesah dalam. Laki-laki itu menggelang perlahan.
Bibirnya terkatub rapat. Di depannya baginya bukan mimpi, ya, itu adalah Nadila
“Dede” Dirgantari, si hati cadas yang dulu ia kenal. Dulu tak seperti ini. Seumur hidup, baru kali
ini melihat gadis itu menangis. Dulu ia berfikir, gadis seperti Nadila tak bisa
menangis.
“Ayo .... kita duduk di ruang dalam De....., nggak baik
di sini...” ajak Aryo.
Nadila terdiam. Gadis itu hanya menurut ketika Aryo
mengenggam jemarinya, membimbingnya masuk ke dalam. Keduanya duduk berhadapan.
“Dede minta maaf Kak...” kata Nadila memulai perkataan
setelah beberapa saat keduanya diam.
“Kenapa?”
“Karena Dedelah Kak Aryo pergi. Pergi tanpa meninggalkan
pesan sedikitpun.... “
“Bagaimana mungkin aku meninggalkan pesan De, dulu setiap
aku hubungi, HP-mu selalu tidak aktif.”
“Dede salah kak. Tahukah kakak? Betapa aku merasa
bersalah ketika aku mencari Kakak ke fakultas, katanya kakak resign. Tak ada orang di kampus yang
tahu Kakak ke mana.....”
“Memang kakak kecewa waktu itu ... kecewaaa.... kecewa
yang dalam banget De....”
“Maafkan Dede Kaaak..... Dede.... “
“Sudahlah Dede.... Kakak nggak apa-apa kok. Biarlah,
mungkin ini takdir Kakak harus begini.”
“Kak, setelah aku cari Kakak di kampus tak ada, aku
langsung ke Majalengka. Aku cari Kakak, apa yang terjadi Kak? Rumah Kakak sudah
menjadi milik orang lain.”
“Iya De .... memang aku yang membawa kedua orang tuaku
kembali ke kampung halaman. Ketika orang tua bertanya kenapa, aku sendiri tak
bisa menjawab. Aku hanya ingin menghilangkan nama Majalengka dari pikiranku,
dari hatiku.... kota yang pernah memberikan harapan besar, harapan besar untuk
memiliki.. untuk memetik salah satu bunga .... tapi tak pernah kesampaian.
Bahkan ketika dulu aku hanya sekedar meminta satu jepretan foto, aku tak
mendapat ijinnya.....”
Nadila tersedot hatinya. Gadis itu menangis. Ia
menelungkupkan wajahnya di meja, isaknya terdengar sangat jelas. Sementara Aryo
menahan rasa tak keruan dalam dadanya. Laki-laki itu bersandar pada punggung
kursi.
“Dede... sudahlah.... ayo dong .... sudah jangan nangis.
Dede nggak salah, aku juga nggak apa-apa kok.” kata Aryo perlahan. Perlahan
Dede mengehentikan tangisnya, masih tertelungkup wajahnya.
“Kakak... maafkan Dede ...”
“Nggak apa-apa De... nggak ada yang salah.”
“Aku ingin dengar kata maaf dari Kakak.”
“Nggak penting lah De. Oh iya? Bagaimana kabar suamimu?
Doktor Mirwan?”
“Tidak tahu Kak... mungkin baik.”
“Apa? Kenapa mungkin baik?”
“Kenapa Kakak bertanya tentang suamiku?”
“Ya nggak apa-apa laah...”
“Doktor Mirwan sekarang di LA Kak, dia nikah dengan
Jessie Alexia, mahasiswa tamu yang dulu dibimbingnya membuat tesis.”
“Ochhh......”
“Jadi kenapa Kakak harus bertanya mengaitkan Doktor
Mirwan dengan aku?”
“Aku nggak tahu. Mungkin
.... mungkiiin..... “
“Kakak mengira seniorku itu menjadi suamiku?”
“Iya laah, dulu Dede sangat dekat dengan dia.”
“Sebagai asisten ya harus dekat Kak. Kakak harus bisa
membedakan mana yang prive mana yang pekerjaan.”
“Kadang-kadang kedekatan bisa menumbuhkan cinta De. Dede
dengan Doktor Mirwan cocok.”
“Kalau cocok, kenapa nggak ngomong dari dulu?”
“Bagaimana mau ngomong, HP Dede selalu tidak aktif. Itu
memang pertanda Dede sudah tidak mau lagi sahabatan dengan aku, dengan Aryo
.... anak kampung ....”
“Kak, jangan bilang begitu. Sekarang semua orang sudah
tahu, anak kampung itu telah menjelma menjadi manusia hebat, menjadi seorang
doktor, seorang doktor dari Malaysia.”
“Doktor yang sakit hati.”
“Kak.”
“Doktor yang melarikan diri ke luar negeri karena telah
kehilangan harapan..... “
“Maafkan Dede Kak...”
“Beruntung, sebab dulu ketika aku ke Malaysiapun
sesungguhnya hampir gagal. Aku berjuang dalam hempasan badai. Pertama
kehilangan harapan dari Dede, kedua, ibuku telah wafat......”
“Innalillaahi wa inna ilaihi roojiuun..... turut berduka
cita Kak..... semoga amal ibadahnya diterima Allah. SWT....”
“Aamiin. Terima kasih doanya De.”
“Ibu sakit Kak?”
“Iya sakit. Ibu wafat di Jedah, tepat ketika beliau mau
pulang dari menunaikan ibadah haji tahun lalu ........”
Sampai kalimat itu Aryo terdiam. Matanya kelihatan
mengambang. Namun ia mencoba bertahan untuk melawan rasa yang berusaha mendesak
ai matanya keluar. Hingga beberapa lama keduanya diam.
“Besok aku harus kembali ke Kuala Lumpur De.....”
“Och... secepat itu Kak?”
“Iya. Lusa aku harus memberi kuliah para mahasiswaku.”
“Maafin Dede Kak.... sebenarnya .... ah, tidak, tidak.
Salam buat keluarga ya Kak?”
“Dede... keluarga yang mana?”
“Yang di Kuala Lumpur.’
“Dede, sebenarnya Kakak baru merencanakan sebuah keluarga
saja. Mungkin sebentar lagi jika. Itupun jika dia mau.... biarlah, karena Dede
sahabat sejak SMA, walaupun sahabat yang pelit .... yang tak pernah mau memberi
aku foto.... , sekarang akan aku perlihatkan orang yang mungkin mau berkeluarga
denganku. Lihatlah ini Dede, seperti.... sepertinya dia yang bakal menjadi
calon istriku .....”
Aryo mengeluarkan laptop. Beberapa saat keduanya menunggu
layar aktif. Nadila mendesah. Hatinya kecewa saat ini dirinya bakal tahu dengan
siapa Aryo akan menambatkan hatinya. Dalam kekecewaan? Dalam pelarian? Itu
pertanyaan Nadila.
Ketika desktop terbuka, Nadila terhenyak. Bibirnya
bergetar. Matanya kembali terasa panas. Ia melihat gambar wanita di desktop
laptop Arya. Ya, gambar dirinya.
“Kakaaak..... ini .... ini..... “
“Ini Dede... Nadila Dirgantari..... ini... ini mungkin
yang menjadi calon istriku.....”
“Kakak.... kakak dari mana dapat gambar Dede?”
“Kalau seorang laki-laki mencintai wanita, apapun akan
diperjuangkan De .... kayak prinsip ayah Dede yang militer itu, semua harus
dihadapi dan diperjuangkan.”
“Kakak dari mana dapat gambar Dede?!”
“De, ingat nggak, dulu kakak pernah pinjam flashdisk.”
“Aaaa... iya ....”
“Dari benda itulah. Maaf De .... Dede tahu nggak betapa
sampai aku jadi dosen, Dede tak pernah memberikan ijin untuk menyimpan foto
Dede satupun. Sakiiit De .... memendam keinginan itu sakit. Makanya niatku ini bukan
mencuri, tapi pinjam. Ijinnya sekarang, boleh ya De ..... ijinkan foto Dede ada
di laptopku. Setiap aku memberi kuliah, aku tayangkan, maka yang pertama kali
aku lihat adalah Dede. De.... Deeee ijinkan ya? Ayooo dooong.... ” kata Aryo
meminta.
Lama Nadila tak menjawab pertanyaan Aryo. Laki-laki itu
mendesah dalam.
“Hmh... akankan aku gagal lagi?”
“Kaaak....”
“Apa De?”
“Yah...... Dede ijinkan .....” kata Nadila hampir tak
kedengaran.
Raut wajah Aryo tampak bahagia. Laki-laki itu tersenyum
sambil menatap mata Nadila. Nadila memgalihkan pandangan. Ada rasa bahagia
dalam diri Nadila. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Aryo Bimo menyimpan
gambarnya di dalam pelariannya ke Malaysia.
“Dede ..... lihat gambar Dede.” panggil Aryo.
“Iya Kak.... “ Nadila menoleh.
“Lihatlah gambar Dede, begitu cantiknya, cantiiiikk.....
hhhh, ini, ini, senyum Dede inilah yang
mempesona aku sejak dulu. Sayang dulu Dede selalu ketus dan sulit ditebak apa
maunya. Tapi hari ini, aku, Aryo Bimo nekad, apapun yang terjadi, apapun respon
Dede ......”
“Apa Kak?”
“Ijinkan Kakak untuk mencintai gadis yang gambarnya jadi
walllpaper ini ......”
“Kaa..k.”
“Boleh ya cantiiik..... ijinkan kali iniiii saja .....”
“Hmh..... “
“Nadila, Dede,.. tak cukupkah kekecewaan kakak yang Dede
sudah tahu, mencairkan si hati cadas?”
“Aku bukan si hati cadas Kaaak... aku ...”
“Ijinkan ya ....ijinkan ya......”
“Yaaa.....”
Alhamdulillaaaaahhhhhh!
Nadila melihat betapa sinar mata Aryo bahagia. Laki-laki
itu bersandar di kursi, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ketika
tangan itu dibuka, senyum Aryo tampak mengambang.
“Terima kasih Dede.... Dede....... berapa tahun kamu
permainkan hati kakak Deee.... Dedeee....”
“Nggak tahu Kaaak....”
“Dede .... lihat Kakak dong .....”
“Apa Kak?”
“Kakak akan kembali ke Kuala Lumpur besok.”
“Iya Kakak, semoga selamat, lancar segalanya.”
“Di Kuala Lumpur aku mau langsung packing!”
“Mau ke mana lagi Kak?”
“Ke Indonesia lagi, kembali ke Bandung.... ke Bandung, untuk Dede-ku, Nadila
Dirgantari-ku aku ingin tinggal di Bandung selamanya..... bersama Dede.... “
“Kakak....”
“Dede, Kakak mencintai Dede...... “
“Hmh.... iya, Dede juga...... mencintai... mencintai
Kakaaak.....”
Nadila melihat wajah Aryo Bimo begitu bahagia. Gadis itu
menitikkan air mata. Ia ingat benar betapa sudah ratusan kali sejak bertemu
dengan Aryo, tak pernah memberinya harapan yang membahagiakan. Ingat semua itu
rasa cintanya mendadak tumbuh menjadi sangat dalam. Dulu bagi Nadila,
bibit-bibit itu telah ada. Hari ini bibit-bibit itu tumbuh subur setelah
bertemu kembali dengan laki-laki tampan itu, Aryo Bimo. ***
Majalengka, 13 April 2016