Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Kamis, 28 April 2016

Novel: Zaniar dan Ahmad Hong (11)


11. Ancaman Kepala Sekolah

Beberapa jenak kepala sekolah diam, namun kemudian tampak menemukan jawaban yang pas.
“Yaaaa…. Biar saya bisa mengawasi kamu lewat ibumu. Kalau kamu bikin masalah di sekolah, saya bisa langsung telephone ibumu!”
“Tidak usah telephon ibu, langsung tindak saja saya Pak!”
“Kamu susah diajak bicara Niar.”
“Bukan susah diajak bicara Pak, tapi ceritakan dulu yang jelas, mengapa Bapak akan memberi ibu saya HP. Jangan-jangan ibu saya mengenal Bapak.”
“Tidak. Semua atas dasar keterangan Pak Nanto. Pak Nanto yang cerita tentang seluruhnya.”
“Tidak masuk akal….”
“Zaniar!” Pak Layang membentak.
“Ini lebih tidak masuk akal lagi ….”
“Apa katamu?”
“Lebih tidak masuk akal.”
“He ingat! Saya ini kepala sekolah! Saya bisa membuat merah biru kehidupanmu! Ini sekolah saya. Saya yang berkuasa di sini! Kamu telah menyangkal ucapan kepala sekolahmu sendiri! Itu namanya sangat tidak sopan! Tidak tahu etika.”
“Etika itu hanya ada kalau pembicaraan fokus pada pokok permasalahan. Nah ini, saya tidak tahu pokok permasalahan …..”
“Niar, untung kamu ngomong seperti ini di ruangan. Kalau kamu ngomong seperti ini di hadapan guru, kamu langsung saya usir dari sekolah ini! Tahu!”
“Tidak tahu Pak …..”
“Bodooooh!”
“Saya permisi saja Pak. Memang saya sekolah setahun lebih di sini tidak bertambah pintar, tetap saja bodoh! Mungkin sekolah ini tidak bisa memintarkan saya …… permisi Pak.” Kata Zaniar seraya
bangkit dari duduknya.
“Awas kamu! Saya tidak main-main! Berani ngomong ke guru lain, kamu saya usir!”
“Silakan saja Pak.”
“Tanpa surat keterangan pindah!”
“Silakan Pak. Jaman Rasulullah juga tidak ada sekolah. Tapi mutu orang-orangnya tak ada tandingannya dengan lingkungan ini yang katanya sekolahan!”
“Keluar! Keluaaaar!”
Sesak dada Zaniar. Pagi itu dirinya merasa memasuki sebuah belantara baru. Sebuah belantara yang sama sekali tidak pernah terpikir di hari-hari sebelumnya.
Zaniar mengakhiri ceritanya kepada Pak Nanto. Pak Nanto diam. Sebagai wali kelas kini ia menghadapi sebuah masalah yang cukup besar juga. Ancaman Pak Layang untuk mengeluarkan Zaniar dari sekolah bisa jadi bukan gertakan semata.
“Pak Nanto ….. “
“Ya Niar?”
“Kenapa Bapak diam?”
“Kamu telah masuk ke masalah besar. Kamu telah menceritakan perihal kisahmu dengan Pak Layang. Kalau Pak Layang sampai tahu kamu cerita kepada Bapak, bisa-bisa Pak Layang mengeluarkanmu.”
“Bagi saya ini masalah kecil.”
“Aaah bisa saja kamu!””
“Karena masalah ini Bapak juga ikut memikulnya.”
“O pasti.”
“Karena di awal Bapak yang meminta saya untuk bercerita …… “
“Hah? Apa?”
“Bukannya Bapak yang menyuruh Niar bercerita tentang kasus Niar dengan kepala sekolah. Saya sudah siap keluar Pak Nanto.”
“Nnnn…. nanti dulu Niar.”
“Tidak apa-apa Pak. Apakah selama ini Bapak pernah melihat saya bersedih? Mudah-mudahan tidak Pak. Saya selalu riang, galak, dan keras kepada teman-teman yang malas belajar. Saya tidak bersedih.”
“Kalaupun harus keluar, pahitnya dikeluarkan, pihak sekolah harus mengeluarkan surat pindah, agar kamu bisa bersekolah lagi di tempat lain.”
“Saya mau lebih fokus di pesantren Pak. Saya bisa full di sana.”
“Tapi bukan pelarian Niar.”
“Mohon Bapak jangan ulangi kata pelarian Pak……”
“Ooohh…. Ooohh… maaf Niar. Bapak gugup, bapak khawatir keadaan kamu.”
“Saya ikhlash Pak. Ribuan, bahkan mungkin jutaan anak-anak yang tidak sekolah di sekolah formal Pak. Tetapi mereka lebih merasakan kebahagiaan. Dan saya ingin menjadi salah satu di antara mereka Pak. Barangkali pesantren memang lebih cocok untuk keadaan saya yang seperti ini …..”
“Niar…..”
“Bapak jangan merasa salah jika suatu saat Pak Haji Layang mengeluarkan saya.”
“Niar …..”
“Saya permisi dulu Pak…. Assalaamu’alaikum!” Kata Zaniar perlahan sambil beranjak meninggalkan wali kelasnya yang masih duduk bengong. Laki-laki yang menjadi wali kelasnya justru nampak begitu bodoh berbicara dengan muridnya.
Mulut Pak Nanto hanya komat-kamit tak bersuara menjawab salam muridnya. Hingga beberapa jenak laki-laki itu tidak menyadari bahwa dirinya tinggal sendirian. Zaniar telah jauh dari ruang lobby. Pak Nanto mengejar. Laki-laki itu hanya bisa berdiri sambil menghela nafas panjang melihat muridnya telah masuk angkot dan membawanya pergi.
Beberapa hari yang lalu Zaniar hampir saja mampu melupakan kejadian dengan kepala sekolahnya. Namun permintaan Pak Nanto mampu membuat dadanya kembali sesak. Ia tidak mengerti, seharusnya ia mengucapkan “ ….. selama setahun sekolah ini tak mampu memintarkan saya ….. “ kepada kepala sekolah akan memuaskan atas hasrat kritiknya. Tetapi ia tidak tahu mengapa ia tidak lega perasaannya. Ia juga menyalahkan dirinya sendiri mengapa ia mau menceritakan semuanya kepada Pak Nanto, padahal ada ancaman kepala sekolah terhadap dirinya.
Kadang-kadang Zaniar sendiri juga heran, mengapa menjadi manusia semuda dirinya begitu banyak masalah yang harus dihadapi. Tetapi ia juga aneh kenapa ia lebih banyak menyimpan masalah dalam dadanya. Seperti halnya kasus dengan kepala sekolah, sudah sekitar dua minggu ia simpan terhadap ibunya. Namun entah dorongan macam apa hingga malah bercerita kepada wali kelasnya.
“Ibu harus tahu masalah ini!” Niatnya dalam hati.
Pukul 16.30-an.
Turun dari angkot Zaniar berjalan cepat melintasi tanah lapang di mana di ujung baratnya terdapat gang yang menuju rumahnya. Keramaian anak-anak yang sedang bermain sepak bola sama sekali tidak menarik perhatiannya. Beberapa anak laki-laki tanggung yang dilewati kadang menggodanya, tak digubrisnya.
Selang lima menit gadis itu memasuki gang yang mengarah rumahnya. Namun kakinya tertahan ketika melihat di halaman sempit rumahnya terdapat motor jantan warna hitam. Dia tidak tahu motor siapa itu. Zaniar menenangkan degup jantungnya. Nafasnya ditahan sejenak kemudian dihembuskannya perlahan. Ia ulangi sekali lagi. Setelah nafasnya tenang ia melangkah perlahan menuju pintu rumahnya.
“Assalaamu’alaikum!” Salamnya.
“Wa’alaikumussalam …. “ Jawab salam orang-orang yang di dalam.
Zaniar melangkah masuk. Gadis itu kaget melihat orang yang duduk sedang ditemui ibunya.
“Ustadz Hong!” Pekiknya.
“Ya ini aku …… baru pulang rupanya?” Tanya Ustadz Hong sambil tersenyum.
“Eeemm…. Iya Ustadz. Saya tidak mengira Ustadz sampai ke sini …..”
“Kamu tidak mengenali motorku di depan itu ?”
“Tidak Ustadz.”
“Pantas wajahmu kaget begitu. Wah, rugi aku ……. “
“Rugi kenapa Ustadz?”
“Ya rugi dong, kamu tidak mengenal motorku ….. tapi aku malah sampai di rumahmu hihihi…….”
“Pasti Fathonah atau Nurjanah yang memberi tahu .”
“Benar. Dari si Nur itu ….”
Zaniar benar-benar merasa kikuk didatangi guru mengajinya di Babussalam. Rasanya sangat tidak pantas. Ia merasa malu. Dalam perasaannya tak banyak masalah yang dikedepankan kepada orang lain, tetapi ia heran mengapa banyak orang yang berinteraksi dengannya.
Setelah beberapa jenak terdiam dalam duduknya, Ustadz Hong mendeham sambil memulai bicara.
“Niar, saya ke sini bukan tanpa sebab. Ini darurat.”
“Ada masalah apa lagi Ustadz?”
“Bukan masalah besar, hanya saja panitia provinsi mengajukan persyaratan pengiriman peserta lomba itu besok pagi.”
“Besok pagi?”
“Iya besok pagi, ya setengah siang laaaah. Maksudnya kalau harus dikirim secepat itu, maka hari harus ada kepastian. Sementara kamu belum memberi jawaban pasti, mau ikut apa tidak, diijinkan ibumu apa tidak?”
“Oooohh……” Zaniar mendesah sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Gadis itu diam beberapa saat. Diliriknya ibunya.
“Pak Ustadz, saya memang telah menyampaikan semuanya kepada ibu perihal turnamen silat itu. Tapi terserah ibu ….. kalau ibu mengijinkan saya siap, kalau ibu tidak mengijinkan, saya tidak mau Pak Ustadz…… silakan ibu…..”
“Bagaimana ibu?” Tanya Ustadz Hong. Wartini diam sejenak ditanya demikian.
“Kamu sendiri bagaimana Zan?”
“Terserah ibu……”
“Kok jadi ibu yang bingung. Terserah Pak Ustadz saja ……”
“Kok jadi saya?”
“Terserah maunya Pak Ustadz apa ……. “
“Ibu, sebelumnya saya minta maaf. Tapi kalau memang ibu berpendapat demikian, ya saya akan menjawab. Ibu, dan kamu Niar, tentu sudah dapat menimbang seberapa besar harapan pesantren kepadamu, dengan saya datang ke sini …… kalau bukan karena harapan besar, tidak mungkin pimpinan pesantren meminta saya datang ke sini.”
“Kalau begitu saya ijinkan Zaniar menjadi wakil Babussalam.”
“Alhamdulillaaahh……” Gumam Ustadz Hong dengan wajah memancarkan rona sukacita, “ …… terimakasih atas ijin Ibu, mudah-mudahan semuanya akan bermanfaat.”
“Amin.”
Setelah beberapa waktu mereka membicarakan hal lain-lain, Ustadz Hong berpamitan. Namun sebelum melengkah pintu keluar, laki-laki itu berhenti dan menoleh kepada Wartini,
“Ibu ….. mmmmm… bagaimana kalau untuk memudahkan komunikasi, Zaniar memiliki HP bu?”
“HP? Aaaah …. saya rasa belum perlu. Benar, belum perlu.”
“Maaf Bu, anggap ini fasilitas dari kami selaku lembaga, untuk atlit yang membawa nama pesantren.”
“Maksudnya pesantren akan memberi Zaniar HP, begitu?”
“Benar.”
“Bagaimana Zan?” Tanya Wartini kepada anaknya. Zaniar menggeleng.
“Terimakasih.”
“Kalau mau, barangnya ada di bagasi motor Niar …. “
“Tidak usah Ustadz. Terimakasih ……” Zaniar tetap menolak.

Mendengar jawaban tegas Zaniar, Ustadz Hong manggut-manggut. Laki-laki itu kemudian berpamitan. Beberapa jenak kemudian deru motor itu meninggalkan halaman menyusuri Gang Panday ke arah jalan raya. Zaniar dan ibunya saling berpandangan. ***

(Bersambung)