11. Ancaman Kepala Sekolah
Beberapa jenak
kepala sekolah diam, namun kemudian tampak menemukan jawaban yang pas.
“Yaaaa…. Biar
saya bisa mengawasi kamu lewat ibumu. Kalau kamu bikin masalah di sekolah, saya
bisa langsung telephone ibumu!”
“Tidak usah
telephon ibu, langsung tindak saja saya Pak!”
“Kamu susah
diajak bicara Niar.”
“Bukan susah
diajak bicara Pak, tapi ceritakan dulu yang jelas, mengapa Bapak akan memberi
ibu saya HP. Jangan-jangan ibu saya mengenal Bapak.”
“Tidak. Semua
atas dasar keterangan Pak Nanto. Pak Nanto yang cerita tentang seluruhnya.”
“Tidak masuk
akal….”
“Zaniar!” Pak
Layang membentak.
“Ini lebih tidak
masuk akal lagi ….”
“Apa katamu?”
“Lebih tidak
masuk akal.”
“He ingat! Saya
ini kepala sekolah! Saya bisa membuat merah biru kehidupanmu! Ini sekolah saya.
Saya yang berkuasa di sini! Kamu telah menyangkal ucapan kepala sekolahmu
sendiri! Itu namanya sangat tidak sopan! Tidak tahu etika.”
“Etika itu hanya
ada kalau pembicaraan fokus pada pokok permasalahan. Nah ini, saya tidak tahu
pokok permasalahan …..”
“Niar, untung
kamu ngomong seperti ini di ruangan. Kalau kamu ngomong seperti ini di hadapan
guru, kamu langsung saya usir dari sekolah ini! Tahu!”
“Tidak tahu Pak
…..”
“Bodooooh!”
“Saya permisi
saja Pak. Memang saya sekolah setahun lebih di sini tidak bertambah pintar,
tetap saja bodoh! Mungkin sekolah ini tidak bisa memintarkan saya …… permisi
Pak.” Kata Zaniar seraya
bangkit dari duduknya.
“Awas kamu! Saya
tidak main-main! Berani ngomong ke guru lain, kamu saya usir!”
“Silakan saja
Pak.”
“Tanpa surat
keterangan pindah!”
“Silakan Pak.
Jaman Rasulullah juga tidak ada sekolah. Tapi mutu orang-orangnya tak ada
tandingannya dengan lingkungan ini yang katanya sekolahan!”
“Keluar!
Keluaaaar!”
Sesak dada
Zaniar. Pagi itu dirinya merasa memasuki sebuah belantara baru. Sebuah
belantara yang sama sekali tidak pernah terpikir di hari-hari sebelumnya.
Zaniar
mengakhiri ceritanya kepada Pak Nanto. Pak Nanto diam. Sebagai wali kelas kini
ia menghadapi sebuah masalah yang cukup besar juga. Ancaman Pak Layang untuk
mengeluarkan Zaniar dari sekolah bisa jadi bukan gertakan semata.
“Pak Nanto ….. “
“Ya Niar?”
“Kenapa Bapak
diam?”
“Kamu telah
masuk ke masalah besar. Kamu telah menceritakan perihal kisahmu dengan Pak
Layang. Kalau Pak Layang sampai tahu kamu cerita kepada Bapak, bisa-bisa Pak
Layang mengeluarkanmu.”
“Bagi saya ini
masalah kecil.”
“Aaah bisa saja
kamu!””
“Karena masalah
ini Bapak juga ikut memikulnya.”
“O pasti.”
“Karena di awal
Bapak yang meminta saya untuk bercerita …… “
“Hah? Apa?”
“Bukannya Bapak
yang menyuruh Niar bercerita tentang kasus Niar dengan kepala sekolah. Saya
sudah siap keluar Pak Nanto.”
“Nnnn…. nanti
dulu Niar.”
“Tidak apa-apa
Pak. Apakah selama ini Bapak pernah melihat saya bersedih? Mudah-mudahan tidak
Pak. Saya selalu riang, galak, dan keras kepada teman-teman yang malas belajar.
Saya tidak bersedih.”
“Kalaupun harus
keluar, pahitnya dikeluarkan, pihak sekolah harus mengeluarkan surat pindah,
agar kamu bisa bersekolah lagi di tempat lain.”
“Saya mau lebih
fokus di pesantren Pak. Saya bisa full di
sana.”
“Tapi bukan
pelarian Niar.”
“Mohon Bapak
jangan ulangi kata pelarian Pak……”
“Ooohh…. Ooohh…
maaf Niar. Bapak gugup, bapak khawatir keadaan kamu.”
“Saya ikhlash
Pak. Ribuan, bahkan mungkin jutaan anak-anak yang tidak sekolah di sekolah
formal Pak. Tetapi mereka lebih merasakan kebahagiaan. Dan saya ingin menjadi
salah satu di antara mereka Pak. Barangkali pesantren memang lebih cocok untuk
keadaan saya yang seperti ini …..”
“Niar…..”
“Bapak jangan
merasa salah jika suatu saat Pak Haji Layang mengeluarkan saya.”
“Niar …..”
“Saya permisi
dulu Pak…. Assalaamu’alaikum!” Kata Zaniar perlahan sambil beranjak
meninggalkan wali kelasnya yang masih duduk bengong. Laki-laki yang menjadi
wali kelasnya justru nampak begitu bodoh berbicara dengan muridnya.
Mulut Pak Nanto
hanya komat-kamit tak bersuara menjawab salam muridnya. Hingga beberapa jenak
laki-laki itu tidak menyadari bahwa dirinya tinggal sendirian. Zaniar telah
jauh dari ruang lobby. Pak Nanto mengejar. Laki-laki itu hanya bisa berdiri
sambil menghela nafas panjang melihat muridnya telah masuk angkot dan membawanya
pergi.
Beberapa hari
yang lalu Zaniar hampir saja mampu melupakan kejadian dengan kepala sekolahnya.
Namun permintaan Pak Nanto mampu membuat dadanya kembali sesak. Ia tidak
mengerti, seharusnya ia mengucapkan “ ….. selama
setahun sekolah ini tak mampu memintarkan saya ….. “ kepada kepala sekolah
akan memuaskan atas hasrat kritiknya. Tetapi ia tidak tahu mengapa ia tidak
lega perasaannya. Ia juga menyalahkan dirinya sendiri mengapa ia mau
menceritakan semuanya kepada Pak Nanto, padahal ada ancaman kepala sekolah
terhadap dirinya.
Kadang-kadang
Zaniar sendiri juga heran, mengapa menjadi manusia semuda dirinya begitu banyak
masalah yang harus dihadapi. Tetapi ia juga aneh kenapa ia lebih banyak
menyimpan masalah dalam dadanya. Seperti halnya kasus dengan kepala sekolah,
sudah sekitar dua minggu ia simpan terhadap ibunya. Namun entah dorongan macam
apa hingga malah bercerita kepada wali kelasnya.
“Ibu harus tahu
masalah ini!” Niatnya dalam hati.
Pukul 16.30-an.
Turun dari
angkot Zaniar berjalan cepat melintasi tanah lapang di mana di ujung baratnya
terdapat gang yang menuju rumahnya. Keramaian anak-anak yang sedang bermain
sepak bola sama sekali tidak menarik perhatiannya. Beberapa anak laki-laki
tanggung yang dilewati kadang menggodanya, tak digubrisnya.
Selang lima
menit gadis itu memasuki gang yang mengarah rumahnya. Namun kakinya tertahan
ketika melihat di halaman sempit rumahnya terdapat motor jantan warna hitam.
Dia tidak tahu motor siapa itu. Zaniar menenangkan degup jantungnya. Nafasnya
ditahan sejenak kemudian dihembuskannya perlahan. Ia ulangi sekali lagi.
Setelah nafasnya tenang ia melangkah perlahan menuju pintu rumahnya.
“Assalaamu’alaikum!”
Salamnya.
“Wa’alaikumussalam
…. “ Jawab salam orang-orang yang di dalam.
Zaniar melangkah
masuk. Gadis itu kaget melihat orang yang duduk sedang ditemui ibunya.
“Ustadz Hong!”
Pekiknya.
“Ya ini aku ……
baru pulang rupanya?” Tanya Ustadz Hong sambil tersenyum.
“Eeemm…. Iya
Ustadz. Saya tidak mengira Ustadz sampai ke sini …..”
“Kamu tidak
mengenali motorku di depan itu ?”
“Tidak Ustadz.”
“Pantas wajahmu
kaget begitu. Wah, rugi aku ……. “
“Rugi kenapa
Ustadz?”
“Ya rugi dong,
kamu tidak mengenal motorku ….. tapi aku malah sampai di rumahmu hihihi…….”
“Pasti Fathonah
atau Nurjanah yang memberi tahu .”
“Benar. Dari si
Nur itu ….”
Zaniar
benar-benar merasa kikuk didatangi guru mengajinya di Babussalam. Rasanya
sangat tidak pantas. Ia merasa malu. Dalam perasaannya tak banyak masalah yang
dikedepankan kepada orang lain, tetapi ia heran mengapa banyak orang yang
berinteraksi dengannya.
Setelah beberapa
jenak terdiam dalam duduknya, Ustadz Hong mendeham sambil memulai bicara.
“Niar, saya ke
sini bukan tanpa sebab. Ini darurat.”
“Ada masalah apa
lagi Ustadz?”
“Bukan masalah
besar, hanya saja panitia provinsi mengajukan persyaratan pengiriman peserta
lomba itu besok pagi.”
“Besok pagi?”
“Iya besok pagi,
ya setengah siang laaaah. Maksudnya kalau harus dikirim secepat itu, maka hari
harus ada kepastian. Sementara kamu belum memberi jawaban pasti, mau ikut apa
tidak, diijinkan ibumu apa tidak?”
“Oooohh……”
Zaniar mendesah sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Gadis itu diam
beberapa saat. Diliriknya ibunya.
“Pak Ustadz,
saya memang telah menyampaikan semuanya kepada ibu perihal turnamen silat itu. Tapi
terserah ibu ….. kalau ibu mengijinkan saya siap, kalau ibu tidak mengijinkan,
saya tidak mau Pak Ustadz…… silakan ibu…..”
“Bagaimana ibu?”
Tanya Ustadz Hong. Wartini diam sejenak ditanya demikian.
“Kamu sendiri
bagaimana Zan?”
“Terserah ibu……”
“Kok jadi ibu
yang bingung. Terserah Pak Ustadz saja ……”
“Kok jadi saya?”
“Terserah maunya
Pak Ustadz apa ……. “
“Ibu, sebelumnya
saya minta maaf. Tapi kalau memang ibu berpendapat demikian, ya saya akan
menjawab. Ibu, dan kamu Niar, tentu sudah dapat menimbang seberapa besar
harapan pesantren kepadamu, dengan saya datang ke sini …… kalau bukan karena
harapan besar, tidak mungkin pimpinan pesantren meminta saya datang ke sini.”
“Kalau begitu
saya ijinkan Zaniar menjadi wakil Babussalam.”
“Alhamdulillaaahh……”
Gumam Ustadz Hong dengan wajah memancarkan rona sukacita, “ …… terimakasih atas
ijin Ibu, mudah-mudahan semuanya akan bermanfaat.”
“Amin.”
Setelah beberapa
waktu mereka membicarakan hal lain-lain, Ustadz Hong berpamitan. Namun sebelum
melengkah pintu keluar, laki-laki itu berhenti dan menoleh kepada Wartini,
“Ibu ….. mmmmm…
bagaimana kalau untuk memudahkan komunikasi, Zaniar memiliki HP bu?”
“HP? Aaaah ….
saya rasa belum perlu. Benar, belum perlu.”
“Maaf Bu, anggap
ini fasilitas dari kami selaku lembaga, untuk atlit yang membawa nama
pesantren.”
“Maksudnya
pesantren akan memberi Zaniar HP, begitu?”
“Benar.”
“Bagaimana Zan?”
Tanya Wartini kepada anaknya. Zaniar menggeleng.
“Terimakasih.”
“Kalau mau, barangnya
ada di bagasi motor Niar …. “
“Tidak usah
Ustadz. Terimakasih ……” Zaniar tetap menolak.
Mendengar
jawaban tegas Zaniar, Ustadz Hong manggut-manggut. Laki-laki itu kemudian
berpamitan. Beberapa jenak kemudian deru motor itu meninggalkan halaman
menyusuri Gang Panday ke arah jalan raya. Zaniar dan ibunya saling
berpandangan. ***
(Bersambung)