Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Sabtu, 27 Januari 2018

Cerpen Remaja: Maharku, Sapu Tanganmu

foto dok. Eva Permata

Eva mengunci motor.
Tas yang digendongnya ia turunkan sejenak, kemudian ia mencari-cari sesuatu dari tasnya. Wajahnya pucat seketika. Gadis kelas XI MIPA 3 itu gelisah. Tugas matematika tentang Probabilitas tidak ada. Ia ingat benar bahwa tugas itu telah dia masukkan, ketika kemarin sore belajar bersama di sekolah.
Eva bergegas masuk ke ruang kelas.
"Va, ngapain wajahmu gelisah begitu?" tanya Evi teman sebangkunya sambil menghalangi langkahnya.
"Emang kelihatan Vi?"
"Ya iyalaah!"
"Tugas matem Vi."
"Kenapa dengan tugas?"
"Ketinggalan, atau hilang."
"Nggak laaah ... tadi KM sudah menghitung. Nggak ada yang kurang. Mimpi kali kamu Va?"
"Mimpi bagaimana maksudnya?"
"Tugas kelas kita sudah lengkap."
"Nggak mungkin!"
Gadis itu menengok ke arah Armin, sang ketua kelas. Ia memanggil namanya. Anak laki-laki itu buru-buru mendekat.
"Kamu nggak salah panggil Va? Biasanya cuek."
"Nggak lah, Ar-min, si tokoh anime."
"Yaaaah ..... kirain mau serius. Ini malah ngeledek."
"Gini Ar, kata Evi, tugas kita sudah full ya, sudah ngumpulin semua."
"Sudah."
"Yakin?"
"Iya laah. Yakin."
"Punyaku?"
"Ada?"
"Perasaan tugasku ketinggalan di rumah Ar, kok jadi aneh ya? Apa ini mimpi?"
"Tadi sudah aku simpan di meja Pak Ramdhan, dan oleh beliau langsung ditutup resmi. Nggak ada yang boleh menyusul."
"Kamu yakin tugasku ada?"
"Yakin."
Eva diam sejenak, lalu gadis itu memutuskan untuk beranjak, meninggalkan Armin. Namun gadis itu kaget ketika Armin bersegera menghalanginya.
"Apa lagi Ar?"
"Aku punya motor baru Va." Kata Armin sambil tertawa.
"Motor? Syukurlah kalau begitu ..."
"Motor baru Va."
"Iya, baru. Motor baru. Lalu apa hubungannya dengan aku?"
"Biasanya kalau ke sekolah kan agak lambat ...."
"Sekarang kenceng gitu?"
"Iya."
"Lalu apa hubungannya dengan aku?"
"Aku biasanya tempuh rute Jatiwangi Sukaraja Majalengka."
"Oooo nggak aneh ya memang itu rutenya."
"Ini istimewa." kata Armin ngeyel.
"Apa istimewanya?"
"Aku sekarang ganti rute."
"Oooo...."
"Sekarang Jatiwangi, Cideres, Giri Mukti teruuus....       Leuwikidang."
"Leuwikidang?"
"Iya, lewat itu. Desa terindah ... ternyaman ..."
"Kenapa lewat desaku?"
"Pengennya si ada yang nunggu di pinggir jalan."
"Maksudnya?"
"Nanti bisa aku boncengin."
"Siapa?"
"Eva Per-ma-ta! Heheee....."
"Iiiiihhh...... nggak banget! Minggir."
Gadis itu kesal mendengar jawaban Armin menyebut desa dan dirinya. Ia mendorong Armin yang menghalangi jalan ke tempat duduknya. Melihat Eva cemberut, Armin terkekeh-kekeh.
***
Kantin. Pukul 10.05. Tiga hari kemudian.
Evi, sahabat Eva sudah duduk di kantin menanti pesanan. Sementara Eva masih ada di kelas. Beberapa saat ketika pesanan datang, seorang anak laki-laki duduk di dekatnya.
"Ada yang lapar rupanya?" katanya kepada Evi.
"Aaah kamu Erja! Memangnya kamu ke sini nggak lapar?"
"Ya lapar sih! Mana Eva?"
"Tanyain saja yang ada!" kata Evi masih tidak peduli masih asyik dengan androidnya.
"Maksudnya?"
"Nanyain aku dong!" kata Evi sambil menengok.
"Iiihhhh... nggak!"
"Penakut kamu Er!"
"Kalau nanyain kamu Vi, nanyain apa saja ... bisa. Tapi kan nggak enak, ntar ada yang cemburu." kata Erja sambil melihat ke arah kelas Eva.
"Siapa yang cemburu?"
"Hehe!"
"Hehe apaan si?"
"Vi, dia akan bangga banget punya pengagum seperti kamu ya?"
"Kenapa aku?"
"Aktivis OSIS, cantik lagi!"
"Ih gombal!"
"Bener Vi, dia bangga lho, dikagumi sama kamu!"
"Dia siapa?"
"Kakak kelas kitaaaa!"

"Siapa?"
"Arkaaan!"
"Erjaaa! Awas ya! Tahu dari mana?"
"Dari semua orang.... hehehee..."
Mendengar pernyataan seperti itu wajah Evi memerah. Sahabat Eva itu salah tingkah ditebak nama orang yang disukainya.
Ketika Evi sedang menenangkan diri, Eva datang. Gadis itu langsung duduk di samping Evi.
"Kamu kenapa Vi?" tanya Eva demi melihat sahabatnya seperti tidak enak duduk.
"Itu .... ada yang nakal."
"Siapa?"
"Itu depanmu Va."
"Nakal apa? Gini Va, bukannya Evi itu pengagum kak Arkan?"
"Oooo.... itu prive. Jangan campuri urusan dia Kak." Kata Eva sambil menggeleng.
"Waduh! Ini, Evaaaa..... jangan buat aku takut!" kata Erja sambil terkekeh.
"Ya Kak Ahmad sendiri yang nakal. Biarkan Evi berjalan di relnya sendiri."
"Aduuuh .... Ini dua gadis kecil manggil namaku kok beda-beda sih?"
"Bebas lah, Ahmad Eren dipanggil Ahmad boleh kan? Eva nggak salah. Aku panggil Erja itu karena Eren Jaeger itu kebetulan dia adalah tokoh anime kesukaanmu kan?" kata Evi yang kini telah pulih dari salting-nya.
"Yaaah .... What is a name! Apalah artinya nama!" gumam Erja.
"Bawa-bawa Shakespeare ....." sergah Eva.
"Pakai Kak lagi."
"Kenapa?" tanya Eva sambil tersenyum.
"Ngerasa tua saja!"
"Memang tua. Kan ntar bulan depan punya KTP."
"Evaaaaaa! Cicing!" kata Evi memperingatkan.
"Eh maaf, aku salah ngomong ya?"
"Ge-er tuh si Kakak. Memang kamu tahu tanggal lahirnya ya Va?"
"Hihihi.... maaf... maaf... ngarang saja!"
"Heheee.... Sudahlah, kalian makan. Dingin tuuh." kata Erja mengalihkan perhatian.
Diingatkan demikian dua gadis dengan absen berurutan itu terhenyak. Pesanan di depannya sudah beberapa saat yang lalu datang. Evi mulai menyuap TO, tutug oncom, sedangkan Eva tampak berselera dengan nasi hangat, sayur kangkung dan telur mata sapi setengah matang.
"Kamu nggak makan Er?" tanya Evi.
"Nggak ah."
"Jadi mau apa Kak?" Eva menyela.
"Mau lihat bintang kembar."
"Maksudnya?"
"Mau lihat kalian berdua saja."
"Iiiih .... norak! Bener nggak makan?" tanya Evi mengulang.
"Kamis Vi, Va."
"Ooohhh tahu .... anak sholeh! Puasa ya?"
"Insya Allah."
"Malamnya istikhoroh?"
"Insya Allah ...."
"Milih apa sih?"
"Satu dari dua bintang kembar hehee..... "
"Mau jadi ahli astronomi?"
"Mau milih satu dari dua yang ada di depanku ... hehe...." kata Erja sambil bergegas meninggalkan kantin.
Kedua gadis itu hanya bisa menggeleng dan saling berpandangan melihat kelakuan Ahmad Erja. Namun kemudian keduanya terkekeh-kekeh setelah saling pandang. Keduanya melanjutkan makan.
Namun hari ini rupanya bukan hari yang nyaman bagi Eva dan Evi. Sepeneinggal Erja, datang si KM, Armin.
"Biiii......" kata Armin memanggil pemilik warung.
"Ya A, ada apa?"
"Pesan satu porsi yang sama dengan neng ini." Kata Armin sambil menunjuk ke arah Eva. Gadis itu kaget.
"Armin? Apa-apaan?" tanya Evi demi melihat Eva kaget.
"Mau makan."
"Kenapa harus nyamain punya Eva?"
"Memang ada larangan ya?"
"Kadang ada."
"Ya nggak laaah! Coba kalau aku duduk di depan kantin Mang Ojak, kamu pesen apa?"
"Baso!"
"Aku juga baso bukan?"
"Iya sih!"
"Vi ... sudah, jangan banyak protes."
"Uuuuh kamu mah!"
"Dah laaah maafin. Nih Vi, Va, tugas yang dulu itu dibagi. Oke?" kata Armin sambil menyodorkan lembaran tugas yang sudah dikoreksi. Eva dan Evi menerima kertas dari Armin yang tersenyum sambil manggut-manggut.
"Ini tulisan siapa?" tanya Eva demi melihat pekerjaan itu bukan tulisannya.
"Mana ... manaa, waaah iya ya? Ini bukan tulisanmu Va!" kata Evi sambil mencermati tulisan tugas.
"Memang kenapa?" tanya Armin masih sambil cengar-cengir.
"Ini tulisanmu kan Ar?" tanya Eva sambil mengernyitkan dahi.
"Hehe iya...."
"Jadi? Oooo waaah! Ini nggak sah! Nggak saaah!" kata Evi menimpali.
"Bener nggak sah." kata Eva sambil menggeleng.
"Jadi ini tulisanmu Ar?"
"Iya!"
"Nggak sah!"
"Aku mau menolong Eva. Pekerjaan Eva belum ada, jadi aku buatkan."
"Tahu dari mana punyaku belum ada?"
"Kamu datang terlambat. Pasti pekerjaannya juga  terlambat."
"Aku berani menanggung resiko kok!" kata Eva dengan wajah tidak suka.
"Kita lapor Pak Ramdhan saja!" usul Evi kepada Eva.
"Iya. Lebih baik begitu, daripada suatu saat terbongkar bahwa ini bukan pekerjaanku? Ya kan?"
"Aduuuuh jangan Vi, jangan Vaaa.... please! Asli jangaaan. Aku mohon jangan laporkan! Nanti aku disetrap!"
"Kalau salah ya harus disetrap!"
"Vaaa... Viiiii ..... sudah deh, kali aku yang mbayarin makan! Aku traktir, beneran." kata Armin serius.
"Nggak, makasih."
Armin hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika dua gadis itu akhirnya makan sambil tidak mempedulikan dirinya. Bahkan kemudian ketika si bibi menyodorkan makanan pesanan, anak laki-laki itu memilih untuk menjauh dan makan sendiri.
***
Hari Jumat siang, usai sekolah.
Eva sedang duduk di kursi depan ruang wakasek sendirian. Ia masih menanti sahabatnya, Evi, yang sedang berkonsultasi dengan Pak Imam pembina OSIS. Gadis itu duduk tenang sambil membaca buku. Antimainstream memang. Standar umum jaman sekarang biasanya ketika  siswa sendirian,  lebih akrab dengan gadget di tangannya.
Assalaamu'alaikum!
Ada yang memberi salam. Demi mendengar salam di dekatnya, Eva menghentikan membaca. Ia menoleh.
"Eh Kak Ahmad .... wa'alaikumussalaam."
"Jangan pakai Kak laaah..."
"Biar saja, kan lebih tua hehehe..."
"Laaah paling juga tuaan dikit."
"Hehe biar saja ah!"
"Oiya Va, ni aku mau nitip tas ini sebentar ya .... aku mau konsul sama guru." kata Ahmad Eren sambil meletakkan tas sekolahnya di samping duduk Eva.
Belum sempat berkomentar, anak laki-laki itu sudah  berlari meninggalkan Eva sendirian. Gadis hanya bisa menggeleng melihat Ahmad masuk ke ruang guru. Ia menengok ke arah tas Ahmad. Eva mendesah. Titipan tas berarti amanah. Ia kini tak senyaman tadi. Beberapa kali gadis itu menoleh ke arah ruang wakasek, Evi belum muncul. Ini ketambahan titipan tas Ahmad menambah gelisah.
Sekitar setengah jam ia duduk terpaku tak beranjak. Namun hatinya menjadi lega ketika melihat Ahmad muncul dari ruang guru.
"Lama ya Va?"
"Pakai banget."
"Maaf ya... hehe...."
"Konsul ke siapa sih?"
"Guru biologi...."
"Ooo Bu Euis. Tapi beres?"
"Beres dong. Ayo pulang?"
"Nggak, ini lagi nunggu Evi, sedang konsul dengan Pembina OSIS. Di dalem nih ..."
"Oooo... begitulah aktivis!"
"Iya."
"Eh Va, ini kan hari Jumat siang." kata Ahmad sambil membetulkan tas di punggungnya.
"Lalu?"
"Aku mau pulang kampung."
"Aku ikuut..." kata Eva dengan mata berbinar.
"Iya, boleh! Boleh banget!"
"Boleh apanya?" tanya Eva heran.
"Boleh apanya gimana? Bukanya tadi Eva bilang mau ikut?"
"Ikut ke mana?"
"Pulang kampung."
"Aku ikut?"
"Iya, tadi Eva bilang gitu. Aku ikuuuut ... gitu."
"Och! Benarkah?" gadis itu kaget sambil menutup mulutnya.
"Iya nggak apa-apa ikut, tapi minta ijin dulu ke ayah, dan harus ditemani Evi."
"Nggak! Nggaaak! Maluuuu Kaaak!"
"Eva?"
"Tadi aku ngomong gitu kak?"
"Iya Va."
"Och .... nggak sadar, maaaaf .... aku duluan Kak." kata Eva sambil beranjak berlari kecil meninggalkan Ahmad.
"Eva, tunggu ...." Ahmad cepat-cepat menghalangi Eva.
"Ada apa?"
"Aku punya buku bagus Pit. Mau ya? Kamu kan suka baca."
"Pit?"
"Oh maaf, Eva."
"Lain kali ....."
"Tapi mau ya?"
Eva tak menjawab. Namun Ahmad melihat ada senyum Eva yang ditahan. Entah karena apa, anak laki-laki itu tidak tahu. Padahal nggak ada yang lucu.
Eva berjalan terus ke arah timur menuju parkir motor. Ia sudah putuskan untuk meninggalkan Evi yang masih konsultasi dengan Pembina OSIS. Ia tidak menyadari bahwa sejak ia pergi hingga hilang dari pandangan karena berbelok di balik gedung, Ahmad mengawasi terus.
***
Kelas XII. Masa-masa sisa di SMA.
Bulan Januari 2018 telah berlalu. Itu artinya tinggal tersisa dua kali Tanggal satu sebelum rest dari SMA. Tanggal 1 Maret dan 1 April. Pertengahan April telah UNBK. Tentulah bisa dipastikan setelah UNBK anak-anak sudah pada berpencar dengan kepentingan masing-masing.
Siang itu di desa Leuwikidang. Rumah Eva Permata.
Kelompok 11 usai mengerjakan tugas penerapan rumus barisan geometri dalam pertumbuhan. Anggota kelompok Mikasa, Acherman, Armin, Carla dan Ghrisa sudah pulang duluan. Memang nama-nama itu rasa anime banget. Semua terkait dengan Eren Jaeger, yang dinisbatkan untuk nama Ahmad Eren. Di ruang sisi rumah tempat pengamatan praktek tinggal Eva, Evi dan Ahmad Eren. Sementara itu Evi sendiri sedang dipanggil ngobrol dengan ibunya Eva.
"Va, Leuwikidang nyaman banget ya?" kata Ahmad sambil membereskan peralatan kerja kelompok.
"Nyaman gimana?"
"Nyaman ya nyaman. Adem.. jalan sedikit ada gunung batu yang indah!"
"Aaaah ngarang ah! Kalah indah. Tempat si Kakak sendiri malah lebih indah, di gunung beneran."
"Hehehee... iya, aku anak gunung ya Va."
"Anak gunung itu malah anak-anak yang sehat fisik, setiap hari sejak kecil dicatu udara segar yang jauh dari polusi."
"Ah bisa saja kamu Va."
"Ya memang begitu. Eh Kak, minumnya nambah ya?" kata Eva sambil menuang air syrop ke gelas yang tinggal seperempatnya.
Ketika Eva menuang syrop, Ahmad melirik sekilas. Ia mencuri pandang ke pipi gadis itu yang lesung. Hanya beberapa detik. Ia mendesah dalam, kemudian memalingkan mukanya ke arah lain.
"Kak...."
"Oooh ...."
"Minumnya."
"Iya."
"Terima kasih .... Eva, manis banget Va."
"Eva manis Kak?" tanya Eva sambil tertawa.
"Hehe.. ii ii...mm ..  syropnya." Ahmad tergagap.
"Syrop ya manis ah!"
"Aaah Eva mah ... jadi buyar nih. Mau ngomong apa tadi? Lupa."
"Ngomong apa si?"
"Eva manis. Eh, bukan ... bukan itu. Va, Eva mmm.... Eva suka membaca buku ya?"
"Emmm suka dikit. Kadang buku, kadang komik."
"Komik?"
"Ya, kalau sedang suntuk. Naruto yang gitu-gitu."
"Kalau buku?"
"Suka juga, cuman agak berat sih, harus merenung dulu sambil berfikir makna yang ada di buku. Tapi memang pasti lebih banyak manfaat yang buku dibanding komik."
"Va... mmmm .... aku pernah lihat kamu baca buku Wise to Win."
"Hmh?"
"Yang sampulnya hitam, tulisannya kuning. Karangan Arief Risman."
"Ooo iya, ada, pernah, sedang, kadang-kadang hehe. Bacanya kadang-kadang...."
"Aku pernah lihat buku itu di Gramedia Cirebon."
"Ooo, Kakak punya?"
"Nggak punya aku mah. Kalau  sahabatku punya. Dulu dia beli bareng aku di Gramed."
"Oooo...."
"Eva, maafkan aku ya?"
"Kenapa?"
"Mau tanya boleh nggak?"
"Tanya apa?"
"Apakah buku Wise to Win yang Eva baca itu buku dari Armin?" tanya Ahmad Eren hampir tak terdengar. Eva menatap sejenak mata Ahmad. Ahmad memalingkan muka.
"Kak...." panggil Eva memaksa anak laki-laki itu menoleh.
"Iya Eva...."
"Benar, itu buku pemberian Armin. Sahabat Kakak. Lucu. Ada Ahmad Eren, Eren Jaeger, Yeager. sahabatan dengan Armin Arlet di dumay. Ternyata ada di dunia nyata. Kedua-duanya suka baca buku."
"Heheh iya ya? Emmm.... Eva suka sama buku itu?"
"Suka. Isinya bagus, memotivasi. Anak seumurku perlu banyak motivasi dengan mencari dari sumber-sumber semacam buku. Kenapa Kak?"
"Aaaah nggak apa-apa. Mmmm... berapa banyak buku dari Armin yang ada di Eva?"
"Cuma satu, yang itu saja."
"Oooo .... kalau buku yang dari aku ada berapa?" tanya Ahmad sambil tersenyum tertahan.
"Nol heheee....."
"Kalau aku kasih buku, mau nggak?"
"Atas apa?"
"Sudah nuangin syrop hehee...."
"Aaaahhh..... itu mah karena Kakak sebagai tamu."
"Tapi aku rasa, nggak rasa tamu deh. Kayak di rumah sendiri, mau minum ada yang nuangin minum."
"Hihi... lucu aaah! Buku? Ngg.... nggak ah. Masak, cuma nuangin gitu aja mau bibalas ngasih buku."
"Ya udaah, kalau begitu itung-itung rasa terima kasih, atas nungguin tasku waktu di kelas XI."
"Di kelas XI? Wiiiihhh sudah lama banget Kak."
"Tapi aku masih ingat."
"Ingat apanya?"
"Ingat wajah Eva dengan  ekspresi tersiksa. Dititipin tas terus ditinggal, satu jam lamanya..."
"Aaaah .... kenapa ngomong tersiksanya sekarang? Kenapa nggak dulu-dulu."
"Tes memori!"
"Iiih...."
"Mau ya Va ...."
"Buku apaan sih? Komik?"
Beberapa saat kemudian Ahmad membuka tasnya kemudian mengambil buku, lalu disodorkan ke Eva.
"Young on Top, cocok untuk Eva!"
foto dok. pribadi
"Wow Kak? Judulnya keren banget."
"Eva mau?"
"Kalau Kakak ikhlas, aku mau."
"Ikhlas Va ......"
"Kakak jadi nggak  punya dong?"
"Aku beli dua kok Va."
"Oww... sudah direncanakan ya Kak?"
"Iya, sudah aku rencanakan sejak kelas XI. Hanya belum kesampaian. Baru kesampaian hari ini, ngasih buku ini ke Eva di kelas XII. Ketika kita sudah hampir berpisah ..... dua bulan lagi kita pisah."
"Aaah... ngomong berpisah jadi sedih mau ninggalin Smansa."
"Sedih nggak sedih, Smansa tercinta hatus ditinggalin."
"Iya sih."
"Buka segelnya Va." Ahmad Eren meminta Eva untuk membuka plastik  pembungkus. Gadis itu membukanya beberapa saat. Kemudian ia baca daftar isinya. Wajah Eva sumringah. Ahmad tersenyum melihat Eva tersenyum.
"Mau aku kasih note nggak?"
"Boleh."
Beberapa saat kemudian Ahmad menulis kata-kata di halamana dalam depan buku. Setelah itu disodorkannya kepada Eva. Gadis itu menerima, kemudian membacanya.
foto dok. pribadi
Usai membaca ia menoleh ke arah Ahmad.
"Tercapai dan diridloi?" tanya Eva.
"Iya, semoga tercapai dan diridloi."
"Apanya?"
"Young on Top and the other ...."
"The other-nya apa?"
"Eva inginnya apa? Doakan agar semua tercapai....."
"Iyaaah .. terima kasih Kak."
"Emmm sudah siang ah, aku pamit dulu. Ntar pamitin sama Evi dan Ibu."
"Iya..."
"Selamat membaca ya Pit...."
Mendengar kalimat ini Eva melengos menahan tawa. Ahmad sendiri kaget. Ia tak sengaja mengucapkan kata "Pit".
"Kak .... kata itu terulang lagi..... salam untuk Pit ya Kak? Hehehe..."
"Terulang?"
"Ya, dulu waktu Kakak habis titip tas ke aku, juga bilang gitu Pit gituuu... hehehee..... semoga diridloi dengan Pit ya Kak..."
"Aamiiin... Piiiit...."
"Kak?"
"Kenapa?"
"Aku Eva, E-va-Per-ma-ta! Bukan Pit hehe...."
Mendengar kata-kata Eva, Ahmad Eren tersenyum. Ia tak buru-buru berkata. Anak laki-laki itu berjalan perlahan menghampiri sepeda motornya. Sejurus kemudian ia sudah siap di jok.
"Eva, sini sebentar ..... aku pamit."
"Iya."
"Sini...."
"Iya ... ada apa?"
"Pit itu Pipit, Eva tahu siapa Pipit?"
'Enggak. Tapi kayaknya pacar Kak Ahmad deh!"
"Aku sih nggak punya pacar, dan bakal tak punya pacar hingga kuliahku beres kelak. Paling kalau mau sahabatan. Niat mah ada. Di hati, suka kepada lawan jenis mah itu sudah sunatullah untuk anak seusia kita. Tapi memang Pipit itu sudah lama menarik hati, sesekali menjadi bahan singgah di saat pikiranku sedang capek. Iya, dia hampir selalu berbeda dengan anak lain kebanyakan."
"Oooo ... cantik anaknya Kak?"
"Cantik banget."
"Aku suka tertawanya."
"Gimana sih?"
"Coba Eva tertawa kaya biasanya... lucu pasti."
"Hehehehe...."
"Iya persis gitu ketawanya. Pipit juga gitu tertawanya. Tertawanya lucu, tertawanya manja, aku suka banget, kayaknya frekuensi suaranya memilik kesempatan dengan celah di hati ini untuk tetap terjaga."
"Hehehee.... bisaan Kakak main teori fisika ah!"
"Pit... eh... emmmm.... Va."
"Ya?"
"Pipit itu anaknya sekelas dengan aku sejak kelas XI."
"Apa Kak? Kelas kita nggak ada yang namanya Pipit lho."
Ahmad tersenyum tertahan. Bibirnya terkatub. Gadis di sebelahnya juga tampak wajahnya bingung. Dahinya berkerut sedang berfikir keras untuk mencari gadis bernama Pipit di kelasnya.
"Va...."
"Ya?"
"Nama Pipit nggak ada ya?"
"Nggak ada."
"Kalau ..... kalau.......kaa... kalau emmm..."
"Kalau apa?"
"Kalau gadis di kelas kita, yang kalau tersenyum pipinya lesung pipit ada nggak?" tanya Ahmad pelan sambil tersenyum menatap Eva.
Mendapat pertanyaan seperti itu muka Eva memerah. Gadis itu menahan gejolak rasa. Di kelasnya hanya ada satu gadis yang lesung pipit jika tersenyum atau tertawa. Ya, hanya dirinya. Eva Permata. Gadis itu langsung menutup wajahnya yang memerah.
Hingga beberapa saat keduanya diam.
"Eva .... Maafkan jika Ahmad memanggil Eva dengan nama Pipit."
"Ngg..."
"Ijinkah aku memanggilnya Pipit ya? Kapan saya suka memanggil dengan sebutan itu, mohon diijinkan ya Va."
"Kak..."
"Maafkan saya Va, saya pamit dulu......"
"Tapi ...."
"Pipit, lesung pipit Eva yang tampaknya tak bakal terlupakan ....."
Usai mengucap salam, Ahmad menjalankan motornya perlahan.
Gadis tu tergagap menjawab salam Ahmad. Gadis itu masih mematung menatap kepergian Ahmad. Ada nama baru yang ia miliki. Pipit. Itu ada di pikiran Ahmad Eren. Ia sama sekali tak menyangka bahwa siang itu teman satu kelasnya telah menabur sesuatu yang membuat dirinya gelisah. Gelisah karena penasaran, gelisah karena bingung, gelisah pula karena sanjungan Ahmad.
Ketika Ahmad hilang dari pandangan, Eva menatap buku pemberian anak laki-laki itu. Ia buka kembali halaman note yang diberikan.
"Eva Permata, Insya Allah tercapai & diridloi."
Doa Ahmad untuk dirinya bermakna banyak. Tercapai apanya? Harapan dirinya atau harapan Ahmad terhadap dirinya? Diridloi apanya, usahanya atau apa? 
Gadis itu mendesah panjang. 
Tampaknya mulai detik ini ia akan menghadapi panggilan baru dari Ahmad untuk dirinya. Pipit, si Lesung Pipit.
Ahmad Eren ...... gumam Eva tak terasa mengeja nama itu.

***

November 2022.
Kota Purwokerto tampak tak terlalu panas. Awan berarak. Beberapa lembar awan kadang melintasi puncak gunung Slamet yang tampak tak terlalu jauh dari pelataran kampus Unsoed. Kampus inilah yang telah empat tahun ditapaki Eva dalam rangka menimba ilmu Gizi.
Banyak hal yang ia dapatkan dari kehidupannya di Purwokerto. Ia hafal Karang Wangkal sebagai lokasi kampus utama. Spot-spot keramaian di kota kripik juga sebagian hafal. Moro, Alun-alun, Gedung Kesenian Soetedja, Andhang Pangrenan, Tirta Asri dan sebagainya. Yang lebih legendaris tentunya lokawisata yang hanya berjarak lima kilometer dari kampus, Baturraden, sebuah lokawisata dengan mata air belerang dan kebun rayanya.
Di kota inilah keakraban dengan sesama rekan yang berasal dari Majalengka semakin terasa. Himaka merupakan wadah yang sangat berarti. Kerinduan untuk tetap menggunakan bahasa ibu akan tetap terobati. Dalam waktu yang disebut singkat, bahasa Banyumas Ngapak hanyalah pengetahuan sepintas. Tak akan banyak dibawa sebagai sebuah ilmu.
Pun demikian dengan persahabatan. Kadang semakin terasa. Beda dengan rekan yang dulu akrab ketika SMA, ketika terpisah kota maka menjadi semakin sedikit terkurangi. Evi Fazriati, sahabatnya dulu di SMA, telah menekuni pendidikannya di Unpad. Intensitas kontak tentu tak seperti jaman di SMA. Demikian pula dengan yang sedikit bernada sahabat bagi Eva. Ahmad Eren, yang oleh Evi dulu dipanggil dengan sebutan Eren Jaeger, menempuh pendidikan di peternakan IPB. Hampir tak kontak. Memang waktu SMA juga ia pernah menolak untuk memberikan nomor kontak kepada Ahmad. Kepada sahabat lainnya ia pun melarang memberikan kontaknya. Di dalam grup WA, Eva absen. Ia ingin agar kegiatan menuntut ilmu di Purwokerto tak ada yang membebani pikirannya.
Yang paling sering ketemu adalah Armin. Teman sekelasnya inilah yang sekarang masih intens mengontak dirinya. Jika tidak dengan WA, maka ia kadang datang langsung ke kampus gadis itu untuk bertemu. Ia hampir sering ingat usaha Armin.
"Sampai kapanpun terbukanya hatimu akan Armin nantikan Va. Aku sudah wisuda September kemarin."
"Syukurlah sudah wisuda Ar, biar aku yang lambat.... biar aku ambil Desember."
"Bukan itu masalahnya Va, maksudnya aku sudah siap banget menanti jawabanmu Va."
"Jangan mengantang asap ... langit nggak usah diukir."
"Batu, Eva, batu. Tahu batu? Ingat nggak pepatah sunda, cikaracak ninggang batu, lila-lila jadi legok. Ingat Va?"
"Ingat laah..."
"Aku akan terus menjadi cikaracak-nya."
"Tapi aku bukan batu."
"Mangsa ya, wong ngganthenge kaya kiye koh emoh si?" kata Armin mencoba membanyol dengan bicara bahasa Banyumas.
"Banyak yang suka Ar,"
"Tapi tidak seperti Eva."
"Apanya?"
"Semuanya."
"Kalau Embun seperti siapa Ar?"
Diingatkan dengan nama Embun pemuda itu tertegun sejenak. Dipandanginya Eva sambil secara reflek menggaruk-garuk kepalanya.
"Embun siapa?" tanya Armin sambil mengenyitkan dahi.
"Hehe.... sama anak IPS 4 masa lupa."
"Maksudnya?"
"Sama anak UPI lupa ya? Lupa atau melupakan?"
"Nggak paham Va."
"Ingat Tari nggak?"
"Tari yang mana?"
"Kelas sebelah kita waktu SMA. Dia sepupu Embun lho Ar!"
"Maksudnya?"
"Tari sobat ku lho Ar, sobat dalit, sobat deket. Suka curhat ....."
"Mmmm...... "
"Embun itu menyejukkan lho Ar .... aku sangat suka ketika Tari bercerita tentang Embun dan sahabat dekatnya, yang anak Unsoed itu."
"Tapi ....."
"Selamat ya Ar ...... jagalah Embun menjadi penyejuk abadi."
"Eva.... tapi....."
Hmh!
Eva mendesah.
Ia ingat pertengahan bulan lalu kejadian itu menjadikan dirinya sadar sedang ditolong Allah dengan mengirim Tari sahabatnya. Namun ia sebenarnya maklum juga. Jika dalam hubungan bukan status suami istri, siapapun boleh melakukan manuver apapun dalam rangka memilih pasangan. Termasuk mempersiapkan beberapa alternatif. Makanya Eva juga menyadari, ketika Armin berlaku demikian, ia tak men-jugde-nya sebagai pemuda playboy atau sejenisnya.
Kisah Armin sesaat menghilang. Kini ia ingat akan rencana yang masih abu-abu. Dulu sebenarnya ia bisa mengambil wisuda September jika diperbolehkan oleh Bu Maya, dosen pembimbing skripsinya. Bu Maya mengambil program S3. Hal yang tak pernah terpikir oleh Eva adalah, bahwa dosennya itu memintanya untuk membantu menyelesaikan desertasinya. Memang, tak seberapa. Dirinya hanya diminta untuk melakukan pengolahan data dengan statistikanya. Di awal, gadis itu menyanggupinya dengan terpaksa. Namun ketika sudah dijalani, ia merasakan bahwa tak ada beda yang signifikan antara wisuda September dengan wisuda Desember. Bahkan ia semakin merasakan berpengalaman untuk mengolah data untuk ukuran desertasi.
Ya dulu ia punya rencana abu-abu, setengah yakin setengah tidak. S2, ya program pascasarjana, menjadi magister. Ia ingin melanjutkan, namun hati kecilnya kadang berfikir jika akhirnya ia menghabiskan waktu, maka akan menjadi tua di kampus. Inginnya ada yang melamar, mengajaknya menikah. Mungkin, nanti di tengah membangun dan mengarungi bahtera rumah tangga, ada kesempatan untuk kembali mengembangkan ilmu di S2. Jika ada tugas dosen, bisa dibantu suami, berbagi dengan penuh kasih sayang.
Aaaaaaaah! Ngaco! Gumamnya.
Gadis itu menghilangkan angan-angannya. Namun tak urung siang itu mencoba untuk iseng bermain di kampus program pascasarjana. Beberapa pengumuman telah ia baca. Beberapa leaflet yang ada telah ia potret dengan HP-nya. Pembukaan bulan Februari hingga Juni.
Usai melihat pengumuman Eva bergegas meninggalkan halaman kampus.
"Evaaa.... eehh... maaf salah orang." tiba-tiba dari arah yang berlawanan ada yang memanggil. Gadis itu menoleh. Jantungnya berdetak lebih kencang.
"Mmmm....."
"Maaf, salah orang. Mbak mirip sekali dengan teman saya." kata pemuda itu seraya bergegas menuju ke prodi pasca.
"Kak Ahmad?" kata Eva hampir tidak terdengar.
Mendengar kata-kata melemah menyebut nama Ahmad, pemuda itu berhenti sejenak, kemudian berjalan mendekat. Pemuda aitu menggeleng.
"Pipit?"
"Kak Ahmad? Kak Eren?"
"Masya Allaaaaah Pipiiiit, Evaaaa....."
Keduanya bersalaman erat.
Keduanya tampak tak percaya bahwa mereka dipertemukan. Bibir Eva terkatub. Hingga beberapa lama keduanya diam. Ahmad Eren menunjuk bangku di taman. Keduanya berjalan.
"Aku tidak mimpi kan?" tanya Ahmad setelah agak menguasai keadaan.
"Insya Allah kita sedang sadar Kak."
"Sehat Eva?"
"Alhamdulillah. Kak Ahmad?"
"Sama, Alhamdulillah sehat juga. Emmm..... ceritanya Eva mau daftar S2 ?"
"Enggak, hanya lihat-lihat."
"Sudah lulus kan?"
"Desember baru wisuda, bulan depan."
"Oooo....."
"Evi nggak pernah cerita ke Eva kalau pernah bertemu bareng pas sosialisasi di almamater?"
"Enggak."
"Jadi bener kata Evi. Eva mau mengubur dalam-dalam semua yang mengganggu konsntrasi belajar."
"Hehehe...."
"Itu yang aku suka."
"Apa Kak?"
"Kangen ketawanya."
"Aaah.... "
"Emmmm ....   wisuda nanti keluarga mau datang semua?"
"Insya Allah."
"Pendamping?"
"Pengganggu konsentrasi?"
"Aku serius Va."
"Ngga perlu."
"Ngga perlu apa belum ada?"
"Aaaah jangan nanya gitu ah Kak!"
"Armin?"
"Ooo sahabat anime Eren Jaeger?"
"Aaah masih inget saja tentang tokoh game. Padahal aku sudah lama berhenti main game. Aku sekarang mikir format hidup dengan serius."
"Baguslah kalau begitu Kak, aku suka mendengarnya."
"Armin?"
"Dia kuliah di sini, di Unsoed sini."
"Sering ketemu dong..."
"Dia mau nikah sama Embun, angkatan kita dulu."
"Oooo......"
"Kakak dulu di Bogor kan?"
"Alhamdulillah ada angin bagus yang membawaku ke Purwokerto. Bulan Maret, keluargaku pindah ke Purbalingga. Aku putuskan mau lanjut S2 Peternakan di sini saja."
"Sayang aku harus kembali ke Majalengka." kata Eva hampir tak terdengar.
"Aku akan sering main ke Majalengka. Keluargaku yang lain semua masih di sana."
"Iya syukurlah, jangan lupakan tanah kelahiran."
"Kapan pulang Majalengka?"
"Dua hari lagi. Ini masih ngurus pendaftaran untuk wisuda. Juga aku masih berurusan dengan nilai-nilai mahasiswa yang harus aku serahkan rekapannya untuk dosenku."
"Nilai apa?"
"Ya nilai UTS ya UAS."
"Eva?"
"Aku membantu dosenku, bu Maya, pembimbing skripsiku."
"Asdos?"
"Bukan, tapi suka diminta untuk makili beliau sementara. Kadang-kadang. Hanya latihan. Entah kalau usai wisuda nanti ... mungkin udahan. Keterkaitan dengan kampus ini bakal berakhir."
"Masya Allaaah Eva.... bagian awal sangat mengagumkan. Tapi kalimat terakhir bikin aku sedih. S2 bisa kapan-kapan Va. Kalau sudah berkeluarga kan malah enak, kalau ada tugas, suami bisa membantu...."
"Hehehe...."
"Kamu selalu tampak semangat sejak dulu Va."
"Aku termotivasi buku kuning dari Kakakku."
"Buku apa?"
"Young on Top!"
"Oooh Evaaa..... benarkah?"
"Buku itu selalu ada di tasku. Sampai lecek. Tapi isinya masih tetap mampu membakar semangatku."
"Eva...."
"Terima kasih telah menjadi motivator bayangan buat Eva Kak...."
Ahmad terdiam. Bibirnya terkatub. Ia lihat Eva di depannya. Gadis itu tersenyum. Lesung pipit di pipinya membuat Ahmad dadanya berdebar. Perlahan pemuda itu menggeleng, kemudian memalingkan muka memandang tampat lain.
Setelah beberapa sekon keduanya diam, Ahmad menoleh ke arah Eva.
"Kalau berkenan, setelah urusan persiapan wisuda beres, Eva aku tunggu di Majalengka. Mau ya?"
"Di Majalengka?"
"Ya. Mau ya Pit?"
"Insya Allah."
"Kita ketemuan di Smansa, almamater kita. Hari  Minggu. Ya?"
"Insya Allah."
"Nanti di sana aku mau kasih hadiah untuk Eva...."
"Aaaahhh ... kalau mau ngasih hadiah aku, aku malah nggak mau datang."
"Ya sudah, aku nggak jadi ngasih hadiah."
"Iya baguuus, gitu kan enak."
***
Majalengka. Hari Minggu.
Taman sekolah benar-benar menjadi penggugah kenangan. Kelas-kelas yang dulu pernah disinggahi, seolah melambaikan tangan untuk disinggahi kembali.
"Aku pernah kecewa ketika acara perpisahan, Graduation 2018." kata Ahmad.
"Kenapa?"
"Aku nggak sempat bertemu khusus dengan Eva, padahal aku pengen banget lihat Eva pakai kebaya, kemudian ngobrol bareng. Foto bareng."
"Padahal tinggal ngajak saja."
"Bagaimana mungkin? Armin nempel Eva terus. Mau manggil ntar dikira ngrebut, malu atuuh!"
"Hehehee....."
"Ngetawain.... tapi suka kok dengar ketawanya."
"Berapa ratus kali bilang gitu Kak?"
"Nggak kehitung. Aku siap untuk selalu mendengar ketawanya Pipit."
"Aaaah Kak!"
Beberapa jenak keduanya diam ketika beberapa lewat di dekatnya. Kemudian pula beberapa penjaga memotong rumput, mengepel lorong dan sebagainya. Suatu kegiatan yang dulu selalu mereka lihat setiap saat.
"Eva... masih ingat nostalgia yang dulu nggak?"
"Yang mana ya?"
"Tuuuh .... di sana di kursi panjang depan ruang wakasek, dulu ada gadis sedang sendirian, terus ada yang nitipin tas."
"Aaaahh... yang nitipin saja nggak tahu perasaan orang. Belum juga diiyakan sudah ditinggal!"
"Aku terima kasih ya Va..."
"Iya. Kan dulu juga sudah bilang."
"Aku juga berterima kasih atas pemberianmu ya Va."
"Pemberian apa?"
"Masya Allah .... Eva, waktu itu aku bahagia banget." kata Ahmad sambil tersenyum.
"Nggak ngerti."
"Barang yang Eva berikan ke Ahmad, yang Eva simpan di tasku .... terima kasih. Aku suka banget. Bangeeetttt!"
Mendengar kata-kata Ahmad Eva terhenyak.
"Di tas Kakak?"
"Iya, di tasku."
"Apaan Kak?"
Perlahan pemuda itu mengambil bungkusan. Eva mengikuti dengan penasaran.
"Bukalah Eva, benda inilah yang tempo hari aku katakan sebagai hadiah. Bukan hadiah sih, aku hanya ingin Eva tahu ... agar Eva  tahu bahwa Ahmad sangat suka."
Eva menerima bungkusan kertas emas. Beberapa saat kemudian gadis itu membuka bungkusan.
"Och!" Eva menutup bibirnya demi melihat isi bungkusan itu.
"Terima kasih Eva .... benda inilah yang menemani aku selama di Bogor."
"Ssss... ssss ... sapu.. ss.. sapu tangan, ini , iniii sapu tanganku kan?"
"Iya. Dulu Eva menyimpannya di tasku."
"Kak...."
"Ketika aku pulang Va, aku mendapati sapu tangan ini di dalam tas. Wangiiii banget Va. Aku merasa bahagia  banget waktu itu. Sejak itu rasanya Ahmad nggak bisa menghilangkan senyum Eva dari pikiran. Terima kasih banget Evaaa..."
"Tapi ... aku, aku tak pernah menyimpannya di tas Kakak."
"Apapun itu Va, mungkin ketika itu refleks, atau setengah sadar, siapa tahu. Eva masukkan saputangan ke tasku. Ahmad lah yang beruntung .... selama hidup, kayaknya  aku belum pernah sebahagia  waktu itu Va."
Eva terpekur. Dipandanginya sapu tangan dari bahan sutera berwarna crem dengan bordiran lembut daun hijau muda dan bunga-bunga kecil warna merah jambu. Perlahan gadis itu menoleh ke arah Ahmad.
"Maafkan aku Va ..."
"Nggak ada yang salah Kak."
"Sapu tangan ini telah menemaniku lima tahun, satu tahun di SMA hingga kelas XII, empat tahun kemudian di Bogor. Hari ini sapu tangan itu aku kembalikan ke Eva, kalau memang Eva tak pernah merasa menyimpan di tas-ku."
"Kalau Kakak suka, simpanlah ....... Ini untuk Kakak, milik Kakak." kata Eva seraya mengulurkan sapu tangan itu ke Ahmad. Mata pemuda itu berbinar-binar.
"Benarkah Eva?"
"Yaaa ....."
"Terima kasih Evaaa....." kata Ahmad sambil menerima saputangan dengan tangan bergetar.
Perlahan ia cium sapu tangan pemberian Eva dengan penuh perasaan. Eva memalingkan wajahnya. Ia tak mampu menahan gejolak hatinya melihat pemuda itu mencium saputangan miliknya.
"Eva ....." panggil Ahmad.
"Ya Kak."
"Biarkan sapu tangan ini aku simpan, bersama harapan besarku hingga suatu saat. Biarkan lesung pipit Eva juga menjadi keindahan harapanku pula .... harapan yang pernah aku awali ketika kita bertemu di kelas XI MIPA 3."
"Kakak ... maafkan Eva selama ini ...."
"Maafkan apa Va? Nggak ada salah sedikitpun kok. Eva, wisuda Eva nanti akan menjadi momen penting bagi Ahmad. Ijinkan aku bilang ke orang tua .. aku serius Eva...."
Suara pemuda yang serak hampir hilang itu terdengar di telingan gadis itu. Eva menunduk semakin dalam. Ia tak berani menatap pemuda yang ada di sampingnya. Pemuda yang pernah memotivasinya menjadi anak muda yang sukses, melalui hadiah bukunya.
***
Islamic Centre, suatu pagi. Selang satu bulan setelah Ahmad lulus menjadi magister.
Gedung megah yang berada di sebelah selatan taman Dirgantara tampak  semarak. Hari itu perhelatan pernikahan antara Eva Permata dengan Ahmad Eren dilangsungkan. Akad nikah yang akan berlangsung beberapa menit lagi menjadi fokus perhatian para kerabat dan tetamu.
Kedua sejoli itu telah memutusakan untuk mengarungi hidup bersama, yang dilandasi rasa suka, rasa kagum, dan cinta. Semenjak memasuki meja pernikahan, keduanya tampak tak bisa menahan senyum bahagia mereka. Hingga akhirnya detik-detik yang menegangkan bakal dilalui.
"Mas kawinnya apa?" tanya ayah Eva sebagai wali kepada Ahmad.
"Nanti ayah bacakan kalimatnya, hingga kata-kata dengan mas kawin ...., ananda akan menyampaikannya langsung. Ananda sudah siapkan tulisan."
"Boleh begitu pak Naib?"
"Boleh saja..... silakan"
"............... ananda Ahmad Eren, aku nikahkan engkau dengan anakku Eva Permataningtyas dengan mas kawin .... " ketika sampai kalimat ini Ahmad menyodorkan tulisan ke hadapan calon mertuanya. Sang calon mertua membacakan tulisan. Eva terhenyak.
"Saya terima nikahnya putri bapak, barnama Eva Permataningtyas, dengan maskawin sebentuk cincn emas seberat sepuluh gram dan sebuah saputangan sutera berbordir bunga, dibayar tunai!" kata Ahmad dengan lancarnya.
"Bagaimana?"
Sah, saaah, saaaaah!!!
Alhamdulillaaaaah, terdengar gumam orang-orang di sekitarnya. Semuanya mengucapkan syukur. Ahmad menutup wajahnya hingga lama, sementara Eva menunduk dalam. Beberapa sekon yang baru lewat, ia baru saja menjadi nyonya Ahmad.
Ketika di pelaminan, ada waktu-waktu selang dari kedatangan tamu, Eva mencubit lengan Ahmad.
"Kak, kakak itu aneh, masa maskawin kok saputangan?"
"Hehehee..."
"Biasanya seperangkat alat sholat."
"Saputangan juga benda. Sah kan? Dengan maskawin cincin dan saputangan, Eva menjadi nyonya Ahmad Eren, iya kan?"
"Hehehe..."
"Sebenarnya aku yakin bahwa Eva sengaja menyimpan samputangan di tasku waktu itu."
"Iiih ...."
"Aku tahu, Eva juga mencintai aku sejak dulu kan?"
"Hehehe.... maskawin yang anti mainstream."
"Benar sayang, aku memang ingin antimainstream, tidak ingin sama dengan orang kebanyakan, sebab cintaku pada Eva juga tidak seperti orang kebanyakan."
"Kenapa?"
"Empat tahun di S1 tanpa kontak. Tetapi sekarang Ahmad yakin..... hari ini adalah cinta, pernikahan adalah makna cinta yang sesungguhnya .... cintaku untuk Eva ...... ya sayang?"
"Iya sama Kaaak......"
"Eva, aku mencintaimu ..... Insya Allah sampai akhir hayatku...."
"Aamiin Kak, Eva juga demikian, kagum sejak dulu, hanya tak pernah ngomong. Dan hari ini, Eva mengatakan mencintai Kak Ahmad ..... forever! Insya Allah forever Kak!"
"Terimakasih  Evaaa........"
Keduanya saling tersenyum. Matanya saling tatap sejenak.
"Hmhhhhhhhh......................... "
"Kenapa mendesah?"tanya Eva berbisik.
"Eva ..... aku ingin memelukmu ..... pengeeeeen banget.... lesung pipitmu ya Allah Evaa....tapi malu banyak orang....." bisik Ahmad.
"Iiiiiihhhhhh..... " Eva mencubit pinggang suaminya. Ahmad menyeringai.
Menjelang siang tetamu semakin banyak. Mereka berbagi kebahagiaan dan doa untuk kedua mempelai yang mulai menapaki masa-masa bahagia. ***

                                           Majalengka, 21 Januari 2018      

* Request  : Eva Permata
                        Kelas XII MIPA 3 Tahun Pelajaran 2017/2018
                        SMA Negeri 1 Majalengka
* Cerpen ini adalah fiksi murni

Keterangan bahasa asing:
1) Cicing! = diam!
2) cikaracak ninggang batu, lila-lila jadi legok = air menetes menimpa batu. lama kelamaan jadi cekung
3) Mangsa ya, wong ngganthenge kaya kiye koh emoh si? = Masa, orang gantengnya kayak gini kok nggak mau sih?