Assalaamu'alaikum!

TERIMA KASIH BANYAK SAHABAT , KALIAN SUDAH BERKUNJUNG KE SINI ............BESOK BERKUNJUNG LAGI YA, SIAPA TAHU ADA INFORMASI YANG BERMANFAAT, ATAU FIKSI-FIKSI YANG BARU YANG BERISI PESAN ......

Selasa, 13 Februari 2018

Cerpen: Doa dari WA


Sebentar lagi SMA harus ditinggalkan. Ini rasanya seperti mimpi.
Dulu ketika kelas X Sintya merasa bahwa kelas XII adalah sesuatu yang masih sangat jauh. Gadis itu hampir tak pernah menyangka bahwa waktu itu akan datang juga. Semua ia rasakan mulai saat kegiatan pendataan PDSS untuk urusan SNMPTN. Setelah itu simulasi UNBK, tes uji coba UN, UAS, dan gong-nya adalah UN.
Siang di kos-an Sintya.
"Nanti jam dua siang adalah takdir." bisik Irma, sahabat Sintya.
"Takdir ... ya, benar .... sebuah hitungan yang mirip detak jantung."
"Kita hanya bisa berdoa."
"Kita bisa mengubah takdir. Aku ingin mengubah menjadi takdir yang membahagiakan." gumam Sintya perlahan.
"Manusia tidak bisa berurusan takdir. Bagaimana mungkin sesuatu yang akan datang, tidak kita ketahui akan kita ubah? Bahkan untuk satu menit ke depanpun kita tak tahu kita bakal seperti apa ...... Masa depan adalah misteri. Yang hanya akan terkuak melalui keikhlasan dan kepasrahan setelah berusaha dan menyandarkan hasil kepada Allah."
Sintya tersenyum melihat sahabatnya yang menasehati.
"Terima kasih nasehatnya Irma."
"Mmmm... maaf, nggak Tya, itu bukan nasehat. Aku lebih sedang bicara kepada diriku sendiri. Aku dengar kalimat itu dari radio. Aku ingat, dan aku ulang."
"Seperti filosofi belajar."
"Ya begitu, aku ingat, aku ulang, aku tawakkal. Yang gitu-gitu dan sejenisnya ...."
"Jadi untuk pengumuman SNMPTN?"
"Insya Allah."
"Insya Allah apa?"
"Insya Allah kuat, apapun hasilnya!" kata Irma.
Sintya menghela nafas dalam.
Ting!
Sebuah notifikasi WA masuk. Sintya membuka HP-nya. Fahri .... gumamnya.
"Priye kabarmu Mbak?"
"Eh Fahri! Nggak lucu tahu."
"Ojo nesu-nesu!"
"Nggak lucu!"
"Wong Jatitujuh ora ngerti tah?"
"Nggak lucu! Ada apa sih?"
"Aku jadi orang Yogya Tyaaaaa!"
"What?"
"UGM!"
Gadis itu baru tersadar. Kini pukul 14.16. Waktu pengumuman telah lewat lima menit. Sintya mengingatkan Irma. Yang diingatkan tampak cemas wajahnya. Buru-buru keduanya memasukkan password dan nomor peserta di laptop masing-masing.
"Alhamdulillaaaahh! Ya Allaaah....... Tyaaaaaa..... aku diterima!" Irma berteriak demi melihat bahwa dirinya diterima di UPI Prodi BK.
"Syukur lah Irma!" komentar Sintya singkat sambil tidak mempedulikan Irma yang telah kegirangan.
"Ayo cepet Sintyaaa....."
"Huuuhhh... error saja!"
"Sintya, konsen!"
"Ini sudah."
"Itu nomor peserta siapa Tya? Nomermu kalau nggak salah ujungnya 771 deh!"
"Astaghfirullaaaah....!" kata Sintya sambil menepok jidat sendiri.
Gadis itu menghela nafas. Ia menggeleng sejenak. Ia baru sadar
bahwa ia salah memasukkan nomor peserta dengan ujung 203.
"Tya..."
"Emm?"
"Itu nomor Fahri kan?"
"Iya, habisnya, tadi baru saja dia nge-WA, iiih mbuyarin konsen saja ah!"
"Bukan mbuyarin, itu kamu lagi ngumumin kalau kamu selalu mikirin Fahri."
"Iyaaa... eh bukaan, aku kepanasan dia bilang diterima di UGM."
"Woww keren. Dia nggak jadi ke Unsoed?"
"Nggak, kurang jauh katanya. Pengen ke Jawa  sih memang cita-citanya. Syukurlah dia kesampaian cita-citanya kuliah di Jawa nanti."
"Kita rayain dengan shalat sunah mutlak yok?"
"Irmaaa! Rayain apa? Aku belum lihat pengumuman!"
"Lho?"
"Iya habisnya kamu nanya mulu sih!"
"Astaghfirullaaah maafin aku Tyaaaa......." kata Irma baru sadar sambil menepok jidat sendiri.
"Mudah-mudahan aku diterima pilihan kedua." gumam Sintya. Irma menggeleng heran.
"Doamu kok aneh?"
"Anehnya?"
"Kenapa nggak berdoa diterima di pilihan pertama?"
"Biar aku diterima di UNY , Yogyaaaaaa....."
"Biar deket dengan Fahri gitu? Astaghfirullaaaah Tya.... tapi... ah terserah kamu lah!"
Sintya tak terlalu memperhatikan kata-kata Irma, ia kini konsen pada laptopnya. Beberapa saat kemudian ia berteriak.
"Kimiaaaa..... Banduuung! Alhamdulillaaaaah....."
"Tya? Unpad?"
Kedua gadis itu berpelukan. Perjuangan yang didoakan sejak kelas X hari itu dirasakan telah berbuah dengan sebenar-benarnya buah. SNMPTN benar-benar kini menjadi miliknya. Sesuatu yang tak banyak dimiliki oleh teman yang lain. Tentu masing-masing membawa garis nasib sendiri-sendiri.
Bandung, keduanya sama-sama Bandung.
Satunya afiliasi Dipati Ukur untuk Unpad, satunya Setiabudhi untuk UPI. Dua-duanya berasal dari Jatitujuh, dua-duanya akan berjuang dengan start yang sama.
"Ir, sebaiknya aku kontak sama Fahri sekarang nggak?" tanya Sintya sambil bersandar di kursi.
"Nggak usah. Mudah-mudahan kita sebentar lagi bertemu."
"Nggak baik ya cewek ngontak duluan?"
"Bukan itu masalahnya ....."
"Lalu apa?"
"Itu yang duduk di teras depan siapa?" tanya Irma sambil tertawa. Sintya kaget.
"Irma? Siapa?" tanya Sintya sambil berdiri berlari menyibak gordin ruang tamu kos-kosan.
Demi melihat sosok yang sedang duduk terpekur di kursi teras, wajah Sintya memerah. Gadis itu menoleh ke arah sahabatnya. Irma terkekeh melihat Sintya salah tingkah.
"Ayo temui....." Irma memanasi-manasi.
"Tapi Ir."
"Aku temani. Nggak boleh berdua-duaan tanpa ada saksi lain. Takutnya ntar ...."
"Ntar ngapain?"
"Ntar ada yang ngegombal."
"Emang kenapa kalau ngegombal?"
"Ngegombal ya berbohong. Itu dosa! Kalau serius oke!"
"Oke bu ustadzah! Ayo Bu ...." ajak Sintya kepada Irma.
Sore menjelang 'Ashar ketiganya duduk bersama di teras. Wajah ketiganya ceria. Penghujung SMA diukir dengan kesuksesan. Ketiganya menaiki anak tangga menuju bangku perkuliahan tanpa harus menempuh SBMPTN. Usaha belajar keras selama tiga tahun di SMA tidak sia-sia. Persahabatan ketiganya berujung manis. Upaya untuk saling motivasi telah terbukti hasilnya.
"Wajahmu sudah wajah Yogya Fahri ..... kayak turunan Jawa..." kata Sintya sambil tertawa.
"Malah turunan nabi kok!"
"Maksudnya?"
"Turunan nabi Adam!"
"Aaah kamu mah!"
"Tya-nya sih, baru beberapa jam yang lewat, masak sih wajahku sudah berubah jadi style Dab?"
"Apalagi itu?"
"Aku banyak belajar tentang Yogya, tentang Jawa. Juga tentang dab."
"Uwaaah ... terprogram banget ya Ri?" kata Sintya memuji.
"Sesuatu harus diyakini. Dulu aku yakin banget kalau aku bakal kuliah di Jawa." Fahri berkata dengan penuh semangat.
"Kok nggak pernah cerita?"
"Malu, takut nggak terkabul. Tapi bukan itu sih alasanku."
"Apa alasanmu?"
"Karena nggak ada yang nanya."
"Hehehee........ itu namanya tahu diri."
"Tapi aku yakin kalian berdua mendoakan aku. Iya kan?"
"Ge-er." kata Sintya sambil tertawa menoleh ke arah Irma.
"Fahri...." Irma menyela.
"Ya?"
"Tahu nggak apa yang didoakan Tya beberapa saat lalu?" tanya Irma sambil tertawa.
"Irma jangaaaan.....!" kata Sintya sambil beranjak menempelkan telunjuk di bibir Irma.
"Apa doanya?"
"Yaaah.... biarlah aku jawab sendiri deh." kata Sintya akhirnya pasrah.
"Apa doanya Tya?"
"Aku pengen diterima di pilihan kedua."
"Waduh?" Fahri kaget.
"Ya, begitulah."
"Kenapa?"
"Kalau aku diterima di UNY, aku bakal sering main ke Malioboro, Parangtritis, Kaliurang, Kotagede, dan lain-lain ...."
"Aku temanin!" sergah Fahri sambil tertawa.
"Yaaaa itulah yang diinginkan Tya!" kata Irma.
"Ke Malioboronya atau ditemeninnya?" tanya Fahri sambil melihat ke Sintya.
"Hehe!"
"Yaaa sudahlah, kayaknya doa Sintya memang belum terkabul. Bandung menjadi takdirnya. Mungkin dia sekarang hanya bisa berdoa, semoga Fahri menjadi mahasiswa Yogya, dengan Jawa-nya, dan mungkin akan kecantol gadis Yogya...." kata Irma sambil tertawa.
"Jangaaaan... ups!" teriak Sintya namun kaget sendiri. Gadis itu menutup bibirnya. Mukanya memerah. Wajahnya ditutup kedua tangannya. Fahri hanya geleng-geleng kepala. Irma dan Fahri saling lihat mengkode. Irma menunjukkan jempolnya. Anak laki-laki itu hanya mengangkat alisnya.
"Aku pulang dulu Tya ...." kata Fahri demi melihat gadis itu masih salting belum bisa menguasai diri.
"Iya, nanti juga sadar sendiri ...." kata Irma mencandai sahabatnya.
Hingga Fahri meninggalkan halaman rumah kos, Sintya masih belum bisa menguasai diri. Irma masuk. Dia menepuk pundak sahabatnya.
"Sudah Tya, dia sudah pergi kok ..."
"Aku malu banget, maluuuu....."
"Nggak apa-apa lah."
"Kenapa kok tiba-tiba aku refleks teriak jangaaan  gitu ya?"
"Kamu suka sama dia kan?"
"Hehehe.... dikit."
"Dikit? Dikit tapi berulang-ulang ya?"
"Aaah Irma! Menggunung dong nantinya!"
Setelah beberapa saat Sintya enjoy lagi, tiba-tiba dia terhenyak kaget. Irma mengernyitkan dahi.
"Irma?"
"Ya?"
"Jadi tadi Fahri ke sini mau apa sih?"
"Lah iya ya? Dia mau apa sih? Kok malah kita jadi nggak tahu ada keperluan apa? Astaghfirullaaaah...... kamu si tadi salting banget. Dia malah pilih meninggalkan kita biar kamunya enakan."
"Terus Ir?"
"Tanyakan laaah!"
"Enggak ah, maluuuu...."
Sepeninggal Fahri, keduanya kini asyik dengan grup WA. Yang menjadi topik tentu saja tentang hasil SNMPTN sore itu. Namun bagi Sintya, justru konsennya ke masalah Fahri datang dan pergi tanpa maksud yang jelas. Namun yang membuat ia menyalahkan dirinya sendiri, adalah ketika ia melarang Fari untuk kecantol gadis Yogya.
Hingga saat kelulusan tiba, Sintya tak banyak kontak dengan Fahri. Seingat Sintya, hanya satu kali ketika acara perpisahan, Fari lewat di depannya sambil mengacungkan jempol kepada dirinya. Ia sendiri tak tahu apa maksudnya.
***
Bandung. Tiga tahun lewat. Di tengah malam.
Alarm berbunyi. Sintya membuka matanya perlahan. Terasa berat. Ia pejamkan beberapa saat lagi. Ia menengok jam dinding. Pukul 02.00 dini hari. Gadis itu mengucap syukur. Mengerjakan tugas hingga pukul 23.05, bisa bangun tengah malam. Perlahan ia bangkit, membereskan selimut dan merapikan dipannya. Sesaat kemudian ia menuju ke kamar mandi untuk bebersih dan mengambil air wudhu.
Malam sepi. Tempat kos yang jauh dari jalan raya membuat suasana benar-benar hening. Detak jam dinding terdengar sangat jelas. Detak-
detak sangat terasa menghitung mundur batas waktu umur dunia, umur alam, umur dari segala yang fana. Namun juga menghitung maju bagi sebuah harapan bagi tunas-tunas yang tumbuh. Kecambah yang berjuang untuk survival di atas tanah liar, binatang yang berjuang untuk mempertahankan komunitas atau koloninya, manusia yang berjuang untuk meraih kebaikan dan kualitas dirinya, termasuk berjuang untuk memperkuat fisik dalam mendukung apa yang diupayakan.
Malam sepi, detak jarum jam, desah nafas, titik air mata, lantunan doa dalam tengadah tangan, dalam upaya membuka celah sebesar zarah untuk mencari ridho dari dzat yang Maha Qorib. Semua jadi satu .....
"..... wa-nahnu aqrobu ilaihi min khablil waridl ...... , dan aku lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya ...."
Dalam sepi Sintya meyakinkan doanya. Dalam sepi ia merenda keyakinan yang kadang hilang selembar benang tak teranyam. Dalam sepi ia meyakinkan semangat yang diingatkan sahabatnya, Irma : "Yakinlah kepada pertolongan Allah dengan skala 100%, jangan pernah ragukan pertolongan Allah dengan menjadi 99%."
Ia lupa apa saja yang ia doakan. Namun ia yakin bahwa ujung semua doanya adalah agar diri, keluarga, kerabat, dan saudara seiman, bisa meraih kebahagiaan hakiki di khoiru-manzil yang hakiki.
"Robbi anzilni mubarokan wa anta khoirul munziliin ......Tuhanku, tempatkan aku di tempat yang berkah dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat"
Hmhhhhh......, gadis itu menghela nafas dalam sambil menyaputkan kedua telapak tangannya di wajahnya. Ia mengakhiri sebelas raka'at shalat malam yang tak pernah diketahui orang lain. Melepas mukena perlahan, melipatnya, kemudian menyimpannya.
Usai shalat ia merencanakan untuk mengecek kembali tugas laporan yang harus dikumpulkan nanti siang. Ketika matanya melihat HP, ada keinginan untuk iseng melihat WA.
Deg! Gadis itu merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Namun kemudian detaknya menjadi tak teratur. Ia melihat kiriman WA dari seseorang.
Fahriiii........, gumamnya. Jarinya bergetar menekan tombol buka. Bibirnya bergetar demi melihat isi kiriman WA dari Fahri, sahabatnya yang telah lama tak pernah hadir semenjak perpisahan di SMA.


Bibir gadis itu bergetar. Jari tangannya bergetar.
Ia lihat kiriman Fahri pukul 02.07. Berarti japri itu masuk ketika ia berada di kamar mandi. Ia menjawab salam dengan bergumam. Yang membuat gadis itu tak mampu menguasai diri adalah kiriman gambar di bawahnya. Ka'bah. Dengan sebuah tulisan untuk dirinya "Sintya, berdoalah agar suatu saat baitullah dapat menjadi persinggahanmu di dunia. Insya Allah. 230817."
Perlahan memori di otaknya bergolak. Satu, dua, tiga empat dan seterusnya kenangan demi kenangan silih berganti bermunculan. Fahri yang ia kenal, Fahri yang memotivasi, Fahri yang suka marah ketika ia salah, Fahri yang suka tak dimengerti apa maunya. Fahri yang suka bercanda, Fahri yang lucu, Fahri yang ...... ya, gadis itu baru sadar bahwa ia pernah memiliki rasa kangen. Bahkan, kadang ia memiliki harapan untuk bisa memupuk persahabatan antara dirinya dengan Fahri. Persahabatan berdua. Bukan bertiga bersama Irma waktu itu.
Sintya ingat kata-kata Fahri ketika masih SMA "aku bukan temanmu, aku bukan musuhmu, tetapi aku adalah sahabatmu.". Itu sebuah pernyataan yang sulit diterjemahkan. Ada semacam paradoks di dalamnya. Tapi dia maklum, yang bicara waktu bukanlah anak SMP. Tapi anak SMA yang menurutnya memang sudah mulai bisa berfilsafat.
Sintya menghela nafas dalam.
WA Fahri ia eja kembali. Pertanyaan tentang tahajud. Ia mendesah. Dalam urusan yang sangat tipis antara bersyukur dan riya, ia justru tidak terlalu antusias dengan pertanyaan Fahri. Jika mengiyakan, ia takut Fahri akan memuji, dan jika ia suka, maka tunai sudah ganjarannya dari pujian. Tak ada lagi balasan karena keikhlasannya. Manusia memang seperti itu. Sering berjalan di atas pematang setajam belati yang mampu menggelincirkan nilai keikhlasan.
Hmh..... ia menghela nafas dalam.
Kini matanya melihat gambar kiriman. Fahri menyebut nama dirinya. Latar belakang adalah gambar Ka'bah sisi timur. Ada pintu Ka'bah, dan tentu multazam. Tempat mustajabah doa. Melihat itu bibir Sintya terkatub. Bulu-bulu halus di kedua lengan tangannya meremang. Merinding. Perlahan air mata gadis itu menitik.

Baitullaaah........ Aamiiin....., gumamnya.  Fahri di sanakah? Pikirnya seraya membulatkan niat untuk membalas WA Fahri.
"Wa'alaikumussalam ....."
"Tya?" tak sampai dua puluh sekon WA gadis itu dibalas.
"Ya."
"Ini nomor masih aktif?"
"Alhamdulillah masih."
"Maaf tengah malam aku kirim WA."
"Nggak apa-apa..... di Makkah masih sore ya?"
"Iya, baru jam sepuluhan. Bandung dini hari kan? Masih ngantuk ya?"
"Nggak lagi."
"Tahajud?"
"Nggak tahu, tahajud atau apa ..... tolong jangan bahas shalat Ri."
"Maaf Tya."
"Fahri di Makkah
 acara apa?"
"Alhamdulillah. Umroh Tya. Maaf jika kiriman gambarku tidak berkenan."
"Terima kasih banget Fahri, aku justru kamu ingatkan akan kesempurnaan syariah muslim bagi yang mampu untuk berhaji. Betapa bahagianya....."
"Aku belum haji. Tapi aku pasti ada semangat. Ada kerinduan yang dalam, bersujud di haribaan Ka'bah yang suci...."
"Dari dulu kamu nggak berubah Fahri."
"Apanya?"
"Kamu selalu memanas-manasi aku."
"Aaaah ..... betapa kalimat itu dulu sering aku dengar Tya ...."
"Kamu selalu memotivasi aku."
"Hanya Tya yang bukan teman, bukan musuh, tapi sahabat!"
"Hehe ... kalimat itu lagi .... kamu salah kirim Fahri...."
"Nggak..."
"Banyak nama Sintya di dunia. Apalagi di Yogya..."
"Aku pengennya mau kecantol gadis Yogya."
"Oooo..."
"Tapi dulu sama Sintya nggak boleh."
"Aaaaahhh Fahri... maluuu...."

"Ingat nggak?"
"Iya, iya, .... nggak sengaja ngomong itu."
"Cermin kejujuran."
"Ah! Sudahlah Fahri."
"Tya ..... yang melarangku harus bertanggung jawab."

Sejenak Sintya tertegun. Hingga lama ia tak lagi membalas kata-kata Fahri. Ia bingung harus menjawab. Tak bertatap mata, tak berdekatan, hanya media HP, namun ia merasa bahwa Fahri ada di depannya. Maka ketika ada pernyataan Fahri seperti itu, ia bingung.
"Maaf Tya ..... hampir jam tiga pagi. Aku pamit dulu." Fahri mendahului. Sintya mendesah. Ia mengetik.
"Yah."
"Kita bertemu di tanah air hehe....Majalengka."
"Sekarang Fahri masih kuliah di Yogya?"
"Ya masih laaah."
"Jauh banget Yogya Majalengka."
"Yogya Jeddah cuma sepuluh jam. Yogya Majalengka apa artinya? Berapa lama?"
"Ada perlu apa Fahri?"

"Enggak, cuma kangen Majalengka, kangen suasana Majalengka."
"Enakan juga Yogya. Majalengka sepi."
"Sepi apa? Kan ada bandara."
"Nanti. Masih lama."
"Mudah-mudahan ada Embarkasi Kertajati Tya..."
"Insya Allah ..... Aamiin."
"Kita bersama naik haji Tya ..."

Untuk kedua kalinya gadis itu tertegun. Diam. Dadanya berdetak cepat. Kata-kata Fahri menghujam dalam, mengusik serbuk-serbuk lembut di hamparan hatinya. Efeknya mampu membangkitkan rasa tak terkendali dalam hatinya. Buku kuduknya meremang. Bulu-bulu halus di lengannya meremang kembali, sama seperti ketika pertama ia melihat gambar kiriman Fahri beberapa saat lalu.
Bibir gadis itu terkatub. Ia menghela nafas dalam. Bayangan pemuda itu berkelebat. Ia ingat senyumnya. Candanya. Namun kali ini ia tidak tahu, apakah kalimat mengajak naik haji bersama adalah bercanda? Sintya menggelengkan kepala perlahan.
Hingga lama gadis itu tak menjawab WA. Dan Fahripun tak memulai lagi. Keduanya diam. Tak ada notifikasi. Hingga menjelang shubuh, tak ada lagi kontak. Semuanya berlalu begitu saja. Gadis itu hanya membayangkan suasana malam di Masjidil Harom, shalat bersama Fahri.
Aaaaah! Gadis itu menggeleng. Mengibaskan angan-angan yang belum tentu berujung dengan manis. Ia memilih untuk meletakkan HP kembali di atas meja. Ia mengambil Quran, kemudan membacanya perlahan untuk menanti manjing waktu shubuh.
***
Hari-hari berikutnya Sintya menapaki masa pendidikannya dengan penuh semangat.
Kata-kata Fahri di WA benar-benar menjadi sebuah harapan besar. Bahkan sangat besar. Mengajak berhaji bersama? Itu sebuah permintaan yang sangat dalam maknanya. Ada niat yang baik. Ada ajakan untuk meningkatkan kualitas diri. Ada harapan agar dirinya menjadi semakin pantas untuk hadir dan bersujud di Baitullah. Ada lagi sebuah ajakan rahasia. Mengajak hidup bersama. Hidup bersama? Menikah? Membina rumah tangga? Membesarkan dan mendidik anak-anak?
Gadis itu tersenyum setiap kali ingat itu. Setiap hari ia tak bosan-bosannya membaca WA Fahri yang mampu menjadi penyemangat hidupnya. Ya, Fahri, bukan teman, bukan musuh, tetapi sahabat. Tak ada tuntutan apapun dirinya terhadap Fahri. Tak ada hak untuk menanyakan sesuatu. Termasuk tak ada hak untuk menanyakan mengapa setelah tenggang waktu beberapa bulan setelah umroh, Fahri tak mengirim WA lagi. Bukannya ia pernah mengatakan ingin bertemu di Majalengka? Lupakah dia? Atau ia menyesal telah mengatakan hal itu dan tak berani untuk memulai mengontaknya lagi?
Astaghfirullaaaaahal-adziim......, Sintya beristighfar.
Ting-ting-tung! Ada notifikasi WA masuk. Itu suara khusus untuk WA Fahri.
Gadis itu buru-buru mengambil HP serta membukanya. Fahri .... gumamnya. Jantungnya terasa berdebar. Ketika jarinya yang sedikit bergetar menekan tombol buka ia melihat tulisan pemuda yang sudah lama tak ada kabar.
"Assww. Maaf Tya .... aku sibuk. Tak terduga banyak kegiatan di kampus. Maaf, aku belum bisa pulang ke Majalengka untuk menemuimu Tya ...."
"Wassalaamu'alaikum wr wb. Gpp Fahri, aku maklum." balas Sintya cepat.
"Sudah dulu ya ...."
"Ya."

Hingga beberapa menit selanjutnya tak ada kiriman WA lagi. Bahkan hingga setengah jam, tak ada apa-apa. Gadis itu menanti dengan penuh harap. Namun tampaknya ia memberanikan diri bahwa hati Fahri sedang hambar. WA yang singkat. Hampir tak mencerminkan ini adalah kata-kata lanjutan dari WA terdahlu ketika Fahri umroh.
Masya Allaaah...... rahasia-Mu ya Allah.
Gadis itu tertegun sejenak. Bibirnya terkatub. Ada rasa kecewa dalam hatinya. Rasa kecewa yang muncul ketika beberapa menit sebelum WA tadi masuk, ia masih sangat berbahagia membaca WA-WA pemuda itu ketika umroh.
Tangannya terasa lunglai. Ia melihat sosok Fahri yang jauh dari harapan. Yang mampu untuk melepas baud-baud ketegaran di tubuhnya. Ia mendesah. Beberapa saat kemudian gadis itu menelungkup di bantal. Hingga lama. Pula, hingga terdengar suara isak yang telah mencoba untuk dilawannya. Namun isak itu datang juga.



***

Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa (KKNM) di desa Cipasir.
Gerimis lembut masih turun sejak pagi. Acara hari ini adalah melakukan sosialisasi tentang kesehatan kepada masyarakat di desa yang cukup jauh dari kota. Kelompok mahasiswa yang terdiri dari berbagai jurusan kini telah berbaur dengan warga sejak sebulan lalu. Dharma ketiga "Pengabdian Pada Masyarakat" dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tengah dilakukan. Dulu, Sintya begitu takut membayangkan kegiatan semacam itu. Sebagai gadis dengan type tak banyak bicara, tentu acara berbaur dengan masyarakat merupakan sebuah kegiatan yang kontradiksi di awal. Namun kali ini, setelah satu bulan, ia tak lagi merasakan ketakutan itu. Berbaur dengan masyarakat, berceramah, melakukan aksi nyata sudah merupakan kebiasaan.
Program-program pemanfaatan air bersih, budidaya ikan, pembinaan kerajinan daun pandan, industri rumah untuk camilan sehat, kesehatan diri dan lingkungan, keolahragaan, pemeliharaan mesin motor, pembinaan mental generasi muda, sekolah dasar dengan wawasan global, merupakan bagian dari program utama yang ada di Cipasir. Mahasiswa dari berbagai jurusan, Kimia, Teknik, Akuntansi, Perikanan, dan lainnya telah menggalang sebuah sinergi untuk kemajuan desa.
"Kita berangkat sekarang?" kata Teguh yang keluar dari rumah kepala desa.
"Iya... boleh. Yang lain mana?" kata Sintya sambil melihat sekeliling.
Tempat menginap antara mahasiswa laki-laki dan perempuan di dua tempat yang berbeda. Mahasiswa laki-laki di rumah kepala desa, mahasiswa putri ada di rumah salah satu penduduk, berdampingan dengan rumah kepala desa.
"Yang lain sudah berangkat."
"Aduuuuh ..... kenapa nggak pamitan sih?" keluh Sintya sambil bangkit dari duduk.
"Hehe..."
"Masih gerimis."
"Ini ada payung." kata Teguh sambil mengulurkan payung lipat. Gadis itu menerimanya kemudian membukanya.
"Punyamu mana?"
"Aku biar pakai ponco ini saja. Payung itu buat kamu."
"Ntar masuk angin."
"Heheee.... Nggak ah!" kata Teguh sambil duduk kemudian melipat ujung celananya untuk mengurangi efek cipratan air hujan.
Akhirnya keduanya meninggalkan pelataran rumah kepala desa menuju ke tempat acara diadakan. Udara dingin menerpa tubuh mereka. Tiris air tetap saja membasahi tubuh mereka, apalagi Teguh yang hanya memakai ponco sebatas pinggang. Celananya lebih tampak basah. Juga wajahnya. Beberapa kali pemuda itu menyeka mukanya dengan tangannya.
"Kita berteduh dulu?" kata Sintya demi melihat Teguh basah kuyup.
"Kenapa?"
"Kamu basah gitu."
"Sudah terlanjur."
"Ini payungmu."
"Biar kamu yang pegang saja Tya."
"Nanti kamu sakit."
"Nggak apa-apa, daripada Tya yang sakit ...."
"Bener nih ...."
"Iya .... aku anak laki-laki, kuat!"
"Jangan takabur!"
"Heheee....."
Akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan. Sebenarnya gadis itu ingin menawarkan untuk berpayung berdua, namun ketika ia memancing dengan kata-kata itu Teguh memilih menjawab lain. Gadis itu hanya tersenyum ditahan ketika sesekali melihat pemuda itu memasukkan ujung jarinya ke sakunya untuk dihangatkan. Juga beberapa kali kedengaran giginya gemeretak.
Besok hari pagi-pagi ketika matahari sepenggalah.
Rombongan mahasiswa telah bersiap untuk mengikuti kegiatan evaluasi pertama di kecamatan. Hari itu wilayah kabupaten kedatangan para pejabat universitas untuk memantau serta memberi masukan-masukan kepada para mahasiswa KKN.
"Kalian duluan saja!" kata Sintya kepada rombongan yang telah bersiap. Gadis itu bersiap  masuk ke rumah lagi ketika merasa mahwa ada barang yang ketinggalan.
"Ntar kamu naik ojek, langsung ke kecamatan!"
"Oke!" jawab gadis itu singkat.
Sekitar dua puluh menit ia mencari barang yang akan dibawa, akhirnya ketemu. Ketika melihat ke luar, ia berhenti sejenak. Dahinya mengernyit. Ia ingat sesuatu. Setelah itu ia bergegas masuk rumah kepala desa.
"Assalaamu'alaikum Bu Kades!" kata gadis itu sambil melewati ruangan melalui pintu samping.
Memang seluruh mahasiswa telah menganggap dan diijinkan untuk menganggap rumah kepala desa dan rumah sebelahnya adalah rumah sendiri.
"Wa'aalaikumussalaam.... eh Nak Tya .... belum sarapan ya?" kata Bu Kades dari arah dapur.
"Aaaah ibu tahu saja! Ada yang belum matang Bu?"
"Ada dikit. Itu melengkapi kesukaan Pak Kades."
"Oooo..... biar Tya bantu Bu."
"Nggak usah. Katanya ada tamu dari kampus?"
"Iya ada Bu, tapi nanti jam sepuluh. Masih agak nyantai."
"Itu Nak Teguh juga kayaknya nggak berangkat."
"Hah? Iya ya .... maaf Bu, saya malah baru ingat ke sini ini mau cari Teguh. Kenapa dia?"
"Nambru. Badannya panas."
"Astaghfirullaaaah...... ini pasti gara-gara kemarin hujan-hujanan."
"Iya gitu... bareng Nang Tya bukan?"
"Ya bareng Bu. Emh.... Sekarang Teguh di mana Bu? Di kamarnya?"
"Enggak. Di balai depan sana, tiduran di dipan."
Sintya bergegas ke ruang balai. Sebuah ruangan yang ada di bagian depan rumah kepala desa yang biasa untuk ruang pertemuan.
"Assalaamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaaaam.... eehh.... aaa kamu Tya?" kata Teguh seraya tertatih bangkit dari tidurannya. Pemuda itu berjaket tebal. Kepalanya diikat dengan syal bertuliskan Persib.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa...."
"Jawab."
"Badan nggak enak, panas dingin, kepala pusing, berat."
"Makanya jangan ta-kaaa-buuur! Kemarin kamu takabur Guh, bilang anak laki-laki kuat!" kata Sintya sambil memelankan suaranya.
"Kamu nggak bakat jadi dokter Tya."
"Kenapa?"
"Pasien nggak punya sugesti untuk sembuh."
"Kenapa?"
"Pasien malah disalahkan!"
"Aku hanya mengingatkan ketakaburanmu saja! Lagian juga siapa yang mau jadi dokter. Aku mau jadi analis kimia!"
"Iya, iya .... aku nyerah." kata Teguh sambil merebahkan kembali tubuhnya.
"Aaah ... kalau sudah kalah debat ya gitu ...."
"Iya.. iyaaaa.... Nyerah Tya. Sudah siang, berangkat sana!"
"Iya sebentar lagi juga berangkat."
"Jangan lupa sarapan dulu Tya."
"Iya, ini juga mau sarapan bareng Bu Kades di dapur."
"Sudah sana ....."
"Iya. Eh Guh, ngomong-ngomong mana sarapanmu?" tanya Sintya sambil melihat sekeliling. Meja tamu kosong. Meja pojok juga kosong. Ia berlari iseng melihat sepintas kamar yang terbuka. Ia kembali lagi.
"Kamu belum makan?" tanya Sintya serius.
"E-nek."
"Minum?"
"Malas........"
"Jadi perut belum terisi apa-apa?"
"Belum."
"Astaghfirullaaaahhh........ kamu keterlaluan Guh!"
Gadis itu bergegas ke dapur.
Sekira seperempat jam kemudian Sintya datang dengan membawa  mampan berisi nasi, sayur, telur ceplok dan teh panas. Melihat itu Teguh terhenyak kemudian bangkit dari rebahannya. Ia duduk.
"Buat siapa Tya?"
"Buat yang belum makan, buat yang belum minum, buat yang merasa hebat menantang hujan...."
"Masya Allaaah Tyaaa......"
"Kenapa?"
"Buat aku?"
"Iya. Kasihan perutmu. Lagi pula kalau kamu tidak sehat, bagian tugas KKN yang kewajibanmu mau diselesaikan siapa? Ya kan?"
"Tya ...."
"Ya?"
"Makasih... "
"Dimakan, harus sampai habis."
"Nggak tahu nanti,  kalau nek-nya sudah reda."
"Nggak boleh gitu. Rasa e-nek harus dilawan, makan ya?"
"Ya, iya ...."
"Minumnya teh, atau ganti kopi?"
"Teh saja."
"Kasih gula nggak?"
"Nggak usah."
"Aku berangkat dulu ... "
Sintya meninggalkan Teguh yang masih duduk. Ia bergegas menuju pintu pendopo.
"Sintya!" tiba-tiba ia mendengar Teguh memanggil namanya. Ia berhenti kemudian menoleh.
"Oooo ..... ada apa?"
"Sini sebentar ...."
"Ada apa?" tanya Sintya setelah dekat.
"Makasih ya ....."
"Terus?"
"Cuma mau bilang gitu saja .... makasih Sintya ....."
Mendengar itu Sintya mengangkat bahu. Menghela nafas dalam kemudian berbalik meninggalkan Teguh yang memandangi kepergiannya dengan tersenyum.
***
KKN hampir berakhir. Tinggal satu minggu lagi.
Semua anggota KKN tengah sibuk mempersiapkan laporan masing-masing untuk dipadu menjadi laporan lengkap. Semua berkumpul di rumah Pak Kades dengan kegiatan masing-masing. Setelah itu masih ada satu lagi yakni acara perpisahan dengan warga Cikunir. Biasanya dengan pagelaran seni, yang disajikan oleh mahasiswa juga para pemuda setempat. Tentu yang paling menarik adalah penampilan anak-anak seusia SD di panggung.
Di saat yang lain sibuk dengan persiapan laporan di dalam pendopo, Sintya tampak selesai menyapu halaman. Badannya terasa sedikit hangat. Ia meletakkan sapu lidi bersandar di tlundagan teras, kemudian duduk.
"Aduuuh .... capek Tya?" tanya Teguh yang mendatangi kemudian duduk di sampingnya.
"Nggak laah... nyapu saja capek."
"Kok kaya mengulur kaki gitu."
"Iseng tahu! Hehee...."
"Di rumah suka menyapu halaman Tya?"
"Kadang-kadang."
"Kamu rajin ya?"
"Kadang-kadang."
"Kamu pinter masak ya?"
"Yaaah masak mie instan!"
"Tya, tahu nggak, kemarin malam aku makan balado terong dengan aroma sarawung. Apalagi ada potongan daging kecil-kecil wuiiiiihhh......"
"Kenapa?"
"Ada yang salah di masakan itu."
"Apanya yang salah?" tanya Sintya terhenyak. Dipandangnya Teguh dengan serius.
"Di image-nya!"
"Maksudnya?"
"Nggak biasanya masakan bu Kades kaya gitu."
"Ooooooh...... kirain salah bumbu." kata Sintya sambil menghela nafas. Ketegangan di wajahnya hilang.
"Makanya aku langsung ke Bu Kades menanyakan sesuatu."
"Menanyakan apa?"
"Tya, masakan itu enak banget. Enaaaaak.... banget! Tahu nggak tadi malam aku makan sampai nambah satu piring!"
"Dasar perut karet!"
"Heheeee.... Iya, tapi biasanya nggak begitu kok. Makanku normal-normal saja."
"Syukur kalau sayurnya enak."
"Kapan-kapan aku dimasakin ya Tya?"
"Apa maksudnya?"
"Dimasakin ..... iya ini serius, kapan-kapan dimasakin.  Sebab aku tahu itu yang masak Tya. Iya kan?"
"Teguh! Tahu dari mana kamu?"
"Ya itu tadi, tanya ke Bu Kades. Katanya yang masak Tya."
"Waduuuh.... Biasa saja kali Guh!"
"Biasa apa maksudnya?"
"Biasa masak enak hehe..."
"Astaghfirullaaaah..... narsis Tya!"
"Heheee...."
"Sayang sekali.... Tya masak kaya gitu di hari-hari akhir kita KKN."
"Kenapa?"
"Kalau dari awal tahu Tya masakannya enak, lengkap sudah kebahagiaanku Tya heheee...."
"Kebagahiaan apa?"
"Dulu aku pernah diurus waktu sakit, dianterin makan dan minum. Terus diancam harus makan!"
"Aaaah... lupakan itu Guh."
"Justru nggak bisa lupa Tya."
"Dibisa-bisakan Guh.... "
"Tya, aku mau request boleh nggak?"
"Request apa?"
"Ntar sore Tya masak, aku mau ambil videonya."
"Buat apa?"
"Buat kenang-kenangan suatu saat ..... suatu saat bisa masak di dapur yang satu, sambil memutar video ....."
"Teguuuuh! Norak!" kata Sintya sambil menahan tawa lalu pergi meninggalkan Teguh.
"Sintya seriuuus...."
Gadis itu tahu, sejak kejadian ia mengantarkan makanan ketika Teguh sakit, pemuda itu seperti menaruh perhatian khusus. Ia sama sekali juga tak bakal mengira jika kejadian itu mungin menjadi sebuah sentuhan halus tersendiri bagi hati Teguh. Ia sama sekali tidak berhitung yang lain. Jika yang sakit yang lainpun, ia akan memperlakukannya demikian. Bukan karena yang sakit Teguh.
Namun semuanya sudah terlanjur. Sikap Teguh terhadap dirinya beda. Bahkan baru saja ia mendengar pemuda itu ingin mengambil video ketika dirinya masak. Mau distel ketika memasak di dapur yang satu? Aah, ia rasakan itu sebuah kode yang sangat jelas.
Sinyta masuk pendopo. Ia berbaur dengan teman-teman yang lain, sementara Teguh juga perlahan bangkit dari duduknya untk melanjutkan tugas bagiannya sendiri. Sesekali pemuda itu menoleh ke arah Sintya. Mungkin ia ingin melihat gadis itu menoleh terhadap dirinya, dan tersenyum.
Pukul satu siang.
Usai shalat dzuhur Sintya bersiap-siap melanjutkan kegiatan di rumah Pak Kades. Namun belum lagi keluar rumah, ada telephon masuk.
Bu Kades...... , gumamnya sambil menggeser icon telephon.
"Nak Sintya .... kalau sudah selesai shalat dan makan segera ke sini."
"Iya Bu.. ada perlu apa bu, kok tumben nelpon."
"Ada tamu di ndalem pendopo."
"Ayah ya Bu?"
"Bukan! Ayahmu ibu mah hafal.... Ini orang asing!"
"Orang asing?"
"Temui saja ... hati-hati ...."
"Aduuuh ibu ... jangan nakut-nakutin dong!"
"Bukan gitu Neng, hati-hati kalau-kalau kecantol. Orangnya ganteng sih!"
"Aaaah... Ibu, iya.. iya saya ke pendopo!"

Berbenah sedikit, kemudian mematut-matut diri sebentar, Sintya keluar rumah. Sekira dua puluh meter ia berjalan menuju rumah Pak Kades, dari arah masuk ia melihat ada yang duduk ke arah dalam. Ia hanya melihat dari arah punggung. Di depannya ada Bu Kades.
"Itu Neng Sintya!" teriak Bu Kades yang sedang duduk menemui tamu. Tamu itu menoleh.
Mata Sintya terbelalak. Bibirnya bergetar. Dadanya berdebar tak teratur. Pemuda yang semula menoleh kemudian berdiri. Ia menatap Sintya tak berkedip.
"Fff.... Faaah...."
"Sintya? Sehat Tya? Apa kabarnya?" kata Fahri sambil mengulurkan tangan. Perlahan Sintya menyambut uluran tangan Fahri. Hati Sintya berdesir, kemudian jantungnya berdetak cepat ketika tangannya berada di genggaman Fahri. Perlahan gadis itu mencium tangan pemuda itu. Ia tak sadar melalukan itu. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan sama sekali terhadap laki-laki selain ayahnya, kakek, paman, uwak dan guru-gurunya.
"Seh....sehat .... oh maaf!" kata buru-buru menarik tangannya.
"Syukurlah Tya sehat...."
"Emhm... maaf .... maaf... Sintya, ini siapa?" tiba-tiba dari dalam muncul Teguh menyela. Sementara itu Bu Kades bangkit kemudian masuk ke dalam rumah.
"Oh iya ... Teguh, kenalkan, ini Kakakku... Fahri..." kata Sintya sambil melihat ke arah Fahri.
"Fahri! Kenalkan!" kata Fahri mendahului mengulurkan tangan ke arah Teguh.
"Teguh. Ketua kelompok KKN di sini."
"Ooo iya... iya, terima kasih A Teguh. Tentu Anda mahasiswa yang hebat. Bisa menjadi ketua kelompok di sini."
"Hehee... iya, terima kasih pujiannya."
"Sintya nggak nakal kan?"
"Nggak laah. Dia mahasiswi paling super, paling disegani di antara teman-teman yang lain."
"Betul begitu Tya?"
"Hehehe ... bisa saja Teguh."
"Betul Kak Fahri ... eh kok manggil Kak sih .... Kakaknya Sintya inih!"
"Ya gak apa-apa."
"Dia pinter masak lho."
"Betul Tya?"
"Hehehe ... bisa saja Teguh."
"Pinter ....  bener, aku suka masakannya. Katanya kapan-kapan juga mau masakin untuk aku haha!"
"Oooo gitu ya?"
"Jangan percaya omongannya Kak, Teguh itu suka bercanda heheehee..."
"Iya nggak apa-apa juga kok!"
"Ntar akan dibuat video masaknya heheee...."
Sintya tersenyum kecut. Ia tahu, Teguh tengah menunjukkan kepada Fahri bahwa ia sangat respek kepada dirinya. Ia melihat Fahri tenang-tenang saja menghadapi kata-kata Teguh.
"Emmm Kak Fahri sudah lulus kuliah?"
"Alhamdulillah sudah lulus dong Guh ...." kata Sintya menyela. Memang Fahri sudah lulus satu semester yang lalu, lulus cepat tiga setengah tahun. Sintya menoleh ke arah Fahri. Fahri memahami apa yang diinginkan Sintya.
"Dari?"
"UGM."
"Wow... UGM .... setelah lulus tentu .... emmm.... mau nikah kapan Kak?" tanya Teguh serius.
"Sebentar lagi." kata Fahri tenang.
"Hebat! Harus begitu!"
"Iya, setuju."
"Naah begitu Kak... nanti setelah nikah, terus honeymoon. Biar afdhol, sekalian umroh bareng... berdoa di jabal Rahmah, katanya gunung cinta. Bakal abadi cintanya heheee....."
"Aamiin." kata Sintya.
"Eh Tya, ini saran buat kakakmu itu! Ya Kak? Kerja dulu, ngumpulin uang dulu ... terus umroh!" kata Teguh berapi-api.
"Kak Fahri sudah umroh kok Guh!" kata Sintya sambil tersenyum.
"Hah? Jaaa... jadi Kak Fahri sudah umroh?"
"Alhamdulillah beberapa bulan yang lalu."
"Oooo......"
"Kamu cepet lulus Guh, cari kerja, ngumpulin uang, nikah, terus umroh berdua." kata Sintya menasehati sambil tersenyum.
"Iya... iya .... tapi tunggu aku ya Tya?"
Sintya memerah mukanya. Ia menoleh ke arah Fahri. Teguh benar-benar sudah tak bisa menyembunyikan perasaannya. Gadis itu mencoba tersenyum. Antara berat dan tidak, ia melihat tatapan mata Fahri sekilas memintanya untuk melakukan sesuatu.
"Guh ..... usai KKN, fokuslah pada skripsi. Teruslah fokus pada lulus, pada wisuda. Nggak perlu mikirin aku ..... "
"Justru aku mau lulus bareng."
"Tapi aku mungkin mau duluan."
"Apanya yang duluan?"
"Nikah."
"Nikah?"
"Ya."
"Tya? Kamu serius?"
"Serius."
"Bukannya kamu belum punya pacar?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Belum punya pacar kok mau nikah."
"Emmm gini A Teguh ", Fahri menyela "..... Tya, mau nikah dengan calon suaminya. Memang dia nggak punya pacar."
"Kak, katanya kakaknya yang mau nikah dulu."
"Iya, kakak adik nikahanya mau di hari yang sama."
"Waduuuh....... biar ngirit biaya ya? Heheee....." kata Teguh sambil tertawa.
"Bukan itu masalahnya ......" kata Fahri menjadi perlahan.
"Lalu apa masalahnya?"
"Teguhhh......" kata Sintya perlahan. Teguh menoleh.
"Iya?"
"Maafkan Tya... maafkan aku Guh."
"Kenapa?"
"Kaaak..... Kak Fahri ... Kak Fahri adalah calon suamiku..." kata Sintya perlahan. Biarpun perlahan, namun bagi Teguh, itu adalah kata-kata yang suaranya  mirip sebuah letusan gunung.
"Hah?!"
***

Siang itu desa Cikunir menjadi sejarah bagi Sintya.
Ada Teguh yang kecewa. Sintya maklum ketika tiba-tiba selang dua jam pemuda minta ijin untuk pulang ke Bandung dulu, padahal masa KKN masih tersisa beberapa hari. Melihat itu sebenarnya hati Sintya tidak tega, namun apa mau dikata? Sama sekali ia tak memiliki rasa atau semacam getar simpati. Selama di KKN ia anggap semua sikap baiknya kepada semua temannya adalah wajar. Mungkin bagi Teguh yang diawali ketika ia sakit kemudian diurusnya, itu yang  berbekas di hati Teguh.
Sepeninggal Teguh, keduanya duduk di ruang tamu. Bu Kades yang telah menyuguhkan air dan camilan ikut ngobrol sebentar, kemudian masuk ke dalam.
"Kenapa Kakak datang ke sini?"
"Tya panggil aku Kakak?"
"Sudah terlanjur dari tadi waktu Kakak datang. Rasanya sesuatu yang sudah terjadi, dan itu baik dan nyaman, memang lebih baik diteruskan."
"Iya ... aku juga senang Tya panggil Kakak ke aku."
"Kenapa Kakak datang ke sini?" tanya Sintya mengulangi.
"Kangen."
"Oooh.... sama siapa?"
"Sama yang akan aku ajak hajian bareng ...."
Sampai kalimat ini nafas Sintya serasa terhenti. Ia dengar kalimat itu di hadapannya. Bukan di WA. Fahri telah mengatakannya. Dan ia dengar dengan jelas. Ia tertunduk. Sama sekali ia tak berani menatap wajah Fahri.
"Tya......" kata Fahri setelah beberapa lama diam.
"Maafkan aku lancang mengatakan Kakak calon suamiku."
"Siapa yang lancang?"
"Aku."
"Mengapa mengatakan hal yang benar dianggap lancang?"
"Apa maksudnya Kak?"
"Kita akan menikah di hari yang sama ....." kata Fahri mengulang kata-kata beberapa saat ketika di hadapan Teguh.
"Kak..."
"Jauh-jauh dari Yogya ... aku ke sini memang untuk ini."
"Kak..."
"Aku melacak, tanya-tanya hingga akhirnya aku sampai di pelosok yang jauh dari keramaian. Di desa yang sepi, desa yang sejuk, yang nyaman, dengan anak-anak KKN yang ceria, yang semangat, yang berdedikasi .... Juga ada satu, gadis yang cantik, yang ngangenin, yang aku tahan rasa kangenku bertahun-tahun, karena aku takut pacaran. Banyak maksiat. Aku kangen, dan aku yakinkan ketenangan penjagaan gadis itu kepada Allah. Dia gadis yang pinter .... yang pinter menerjemahkan kedipan mataku di hadapan pengagum lain, di hadapan Teguh, dengan mengatakan ..... Kak Fahri adalah calon suamiku ....... "
Hari itu adalah hari yang membahagiakan Sintya. Fahri dengan sungguh-sungguh telah menyatakan keinginannya untuk diterima ajakannya untuk menikah. Andai saja Fahri tahu, bahwa selama bersahabat di SMA ia telah mencintai, mungkin kisahnya tak akan seperti ini. Keduanya saling diam. Tak ada kata sanjung, kata cinta atau sejenisnya. Semua hanya dipendam, semua keinginan hanya diadukan kepada Allah. Tempat meminta yang terbaik.
***


Di ketinggaian langit.
Suara pramugari Saudi Arabian Airlines flight Kertajati - Jeddah yang terdengar melalui pengeras suara mengabarkan bahwa pesawat segera melintas di atas Yalamlam. Yalamlam berjarak sekitar 125 kilometer dari Kota Makkah, Arab Saudi, dan merupakan lokasi miqat bagi jamaah haji asal Indonesia, juga negara-negara lain di sebelah timur Makkah.
Beberapa calon jamaah haji mulai mengantri di depan toilet pesawat untuk bersuci dan berihram. Sementara Fahri dan Sintya berniat melakukan miqat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Fahri menengok ke arah istrinya, Sintya, kebetulan juga sedang memandangi dirinya.
"Kita segera sampai di Jeddah ...."
"Paah.... Je... Jeddah?" kata Sintya terbata.
"Iya sayang. Jeddah."
"Mamah tidak sedang bermimpi kan Pah?"
"Tidak Mah .... Mamah sedang mendapatkan kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan untuk kesempurnaan ibadah, rukun Islam kita."
"Masya Allaaah .....  Alhamdulillah ya Allah ya Rabbi..."
"Teguhkan niat kita berhaji Mah. Bersihkan pikiran kita segala sesuatu selain berhaji ...."
"Anak kita Pah?"
"Percayakan kepada Allah, pemeliharaan anak kita hanya Allah yang wajib kita mintai tolong melalui orang tua kita. Insya Allah. Tenangkan hati Mamah, fokus pada ibadah .... Beberapa saat lagi dalam kurun empat puluh hari haromain akan berbaur dengan kita .... "

Sintya terkatub bibirnya. Matanya terasa panas. Ibu muda itu merasakan matanya panas. Ia terharu. Ia sama sekali hampir tak percaya bahwa dalam hitungan tak lebih dari setengah jam lagi kakinya akan menginjak tanah Saudi Arabia. Setelah itu Jeddah, Makkah, Madinah, Tan'im, Ji'ronah, Hudaibiyyah. Pula tentu tempat untuk menjabarkan rukun haji, Arafah, Muzdzalihah dan Mina. Terbayang pula bagaimana ia akan bersatu bersejiwa dengan Masjidil Harom, Masjid Nabawi, Masjid Quba, Masjid Qiblatain. Air mata ibu muda itu semakin deras ketika menjelang landing di bandara, semakin nyata terdengar lantunan talbiyah yang tak putus-putus.
Malam itu adalah malam yang paling membahagiakan Sintya.
Di penghujung pagi, ia menginjakkan kaki di atas tanah Saudi Arabia. Ia bersujud begitu turun dari tangga pesawat. Begitu pula yang lain. Isak tangis sebab rasa haru menjadi begitu kentara. Sesuatu yang dulu hanya menjadi mimpi, kini telah dialami dan dirasakan.
Satu jam setelah shalat shubuh dan pemeriksaan dokumen di kantor imigrasi, semua jamaah bersiap dari Jeddah. Semua siap dalam pakaian ihram. Niat umroh. Diringi talbiyah yang tak terputus, menuju ke satu titik yang menjadi pusat peribadatan umat Islam. Ka'bah yang agung. Di Makkah Al Mukaromah.
Memasuki gerbang kota Makkah, hati Sintya serasa teraduk-aduk. Makkah ..... gumamnya.
Sepuluh berikutnya ia telah berada di antara ribuan orang yang menuju ke arah Masjidil Harom. Ibu muda itu terus menggandeng lengan suaminya.

"Mereka semua adalah saudara kita ....."
"Ya.."
"Saudara yang hakiki. Saudara seiman. Berbagai ras, namun hanya diikat dengan satu tali, satu tuhan, Allah SWT."
"Indahnya persaudaraan Paah...."
Lima ratus langkah berikutnya keduanya sampai di depan pintu utama King Abdul Aziz Gate. Keduanya melafalkan doa dan penghormatan " .... Allahumma anta-salam wa minka-salam, wa ilaika ya'udussalam... wa hayyina robbana bi-salam ... wa adhilnal jannata daros-salam ... tabarokta robbana wata'alaita yadzaljalaali wal ikrom. Allahummaf-tahli abwaba rohmatika , bismillahi wal hamdu lillaahi wash-sholatu was-salaamu 'ala rosuulillah.
Keduanya melepas sandal. Kemudian menapakkan telapak kaki di lantai masjidil harom. Dada Sintya berdetak keras. Beberapa langkah kemudian ia mulai melihat kain penutup Ka'bah dari kejauhan, Semakin dekat, dan semakin dekat.
Allahu Akbar. Alhamdulillah...... Masya Allah!
Tak henti-henti ia mengucap syukur. Ka'bah yang agung, yang selama ini hanya menjadi bayangan ketika shalat, kini ada di depan matanya dalam jarak beberapa meter. Ia menangis. Begitu pula anggota regu yang lain pun tak kuasa untuk menahan air mata haru.
Satu dua kali thowaf umroh ia lalui, hingga akhir.
Fahri mengarahkan jalannya yang cukup padat mengarah di belakang maqom Ibrahim. Keduanya mengambil shalat dua raka'at. Di depannya tampak sudut hajar aswad dan pintu Ka'bah. Multazam. Itu bukan mimpi. Tempat mustajabah doa. Usai menjalankan shalat, kedua bersama rombongan di belakang pemandu langsung menuju ke bukit Shofa dan Marwa untuk melakukan Sa'i. Hingga akhirnya proses umroh diakhiri proses tahalul di atas bukit Marwa.
Alhamdullah ...... keduanya mengucap syukur.Prosesi umroh di awal musim haji telah dilampaui. Usai sa'I di lantai dua, keduanya ingin kembali ke sekitar Ka'bah. Fahri yang dulu pernah menjalani umroh ketika masih kuliah, rupanya tidak terlalu asing unuk berjalan menuju ke tempat yang diminta istrinya.
Keduanya duduk bersimpuh dari arah pintu keluar Sa'i, kembali ke depan Ka'bah.
"Mah..... aku minta ijin ya?"
"Ijin apa?"
"Mau manggil Mamah dengan nama kecil lagi , Sintya."
"Ah Papah suka gitu ..... iya ada apa Kak Fahri?"
"Sintya... lihatlah itu .... Multazam, diapit oleh hajar aswad dan pintu Ka'bah."
"Iya Kak...."
"Sintya ingat sesuatu?"
"Mmmm...  iya ...."

"Sintya, dulu ... dulu, lima belas tahun lalu, aku memanggil nama Sintya di sini. Ya, lima belas tahun lalu, di sini di arah Multazam dan talang emas."
"Iii... iya .... Aku ingat banget Kak, aku tak akan pernah melupakan kiriman WA Kakak di tengah malam. Tak pernah aku lupakan. Terima kasih telah memotivasi aku ...."
Sintya mengatubkan bibirnya. Ia terkenang benar atas apa yang telah putuskan Fahri memberikan gambar di WA, meminta agar dirinya berdoa bisa datang ke Baitullah. Dan doa itu kini telah terkabul. Doa Fahri, juga doa Sintya.
"Sintya ..... di depan tempat mustajabah ini, apa doa Sintya?"
"Emmh...."
"Sesekali Fahri ingin dengar doa Sintya."
"Eeemmm... Kak Fahri .... " Sintya belum juga berkata. Namun air matanya telah menitik kemudian turun menyusuri pipinya. Ia melihat ke arah suaminya dengan senyum, dalam keharuan.
"Ayolah sayang..."
"Semoga Allah ... semo... semoga Allah mengumpulkan kita berdua ... diii... di ...."
"Kita telah berkumpul di sini sayang, di  Baitullah ..... "
"Kak Fahri, suamiku .... imamku .... semoga ... semoga Allah kelak mengumpulkan kita berdua di ... diii ....surgaaa.....hhhh......"
Sintya menutup wajahnya. Air matanya semakin deras. Ia mengambil sajadah yang digelarnya untuk menutup wajahnya. Hanya ada satu harapan dalam diri Sintya. Kebahagiaan hakiki  di surga bersama laki-laki yang telah mendoakannya sejak dulu.
"Insya Allah Sintya .... kita akan bersama-sama ke surga, bersama keluarga kita .... juga bersama-sama saudara yang seiman. Insya Allah ..... Aamiin."
Hingga lama Sintya masih menutup wajahnya.
Fahri tampak lebih tegar, walaupun sebenarnya juga terharu. Bersimpuh bersama dengan orang yang dicintai adalah kebahagiaan. Hingga beberapa lama laki-laki itu berdoa dengan mata setengah terpejam. Ia bahkan sama sekali tidak sadar bahwa Sintya telah beberapa detik berlalu, melihat lekat ke arah wajahnya. Fahri mendesah. Perlahan ia menoleh.
"Kaak..."
"Ya?"
"Aku .... aku mencintai Kakak .... un ... untuk selamanya...."
"Aku telah merasakannya sejak dulu .... aku juga mencintaimu Sintyaa.. istri shalihahku."
Hari pertama ada kebahagian yang tak bisa dikatakan. Hari berikutnya adalah harapan. Meningkat ketebalan iman, juga cinta Sintya kepada suaminya. Pula, kualitas doa, ia lantunkan di tempat mustajabah untuk buah hatinya yang ditinggalkan di tanah air. Ya, tentu. Agar orang-orang yang dicintainya juga diberi jalan oleh Allah, untuk bersimpuh dan bersujud. Tanpa penghalang di depan Ka'bah.***
                                                         Majalengka, 12 Februari 2018
* Request Sintya Sri Indriani
   Alumnus SMAN 1 Majalengka Tahun Pelajaran 2015/2016
* Sekarang Mahasiswa Prodi Kimia
   Universitas Padjadjaran Bandung

​Keterangan kata asing :
​1. Nambru : tumbang
​2. Manjing : masuk
​3. Dab : Mas
4. Priye kabarmu Mbak? : Bagaimana kabarmu Mbak?
5. Ojo nesu-nesu! : Jangan marah-marah
6. Wong Jatitujuh ora ngerti tah? : Orang Jatitujuh nggak tahu to?

Foto wajah oleh Sintya Sri Indriani.
Foto lain hasil jepretena pribadi.


 Disalin dari kompasiana.com/diudik_sedyadi (atas nama sendiri) dengan link https://www.kompasiana.com/didik_sedyadi/5a81c95dbde5750e331d4f62/cerpen-doa-dari-wa