Pagi pukul 06.30.
Revita menyeberangi jalan di depan gerbang
sekolah. Bersama-sama dengan yang lain, gadis itu merasakan sebuah kekuatan
korps putih abu-abu. Sebuah korps yang telah dijalani hampir dua tahun. Sejak
kelas X hingga sekarang kelas XI hampir kenaikan kelas, ia merasakan bersama
teman-temannya memiliki sebuah sinergi yang sangat menyenangkan. Bersama-sama
dengan teman anggota kelompok belajar begitu pula, ada kerjasama dalam
kegembiraan. Bukan perkara sukses membahas sesuatu atau menemui jalan buntu,
tetapi proses bersama itulah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Ketika melewati gerbang dalam tengah,
kelompok anak-anak mulai terpecah. Anak-anak kelas X ke arah barat, kelas XI
lurus kemudian ke arah timur, sementara anak-anak kelas XII ke arah timur
langsung. Berjalan sendiri ada rasa yang beda. Apalagi arah timur, seminggu
lagi kakak-kakak kelasnya telah tertakdir menjadi limited edition. Even USBN telah menanti, disusul Try Out UNBK dan
UNBK itu sendiri.
Sebelum mengarahkan langkahnya ke sebelah
timur aula sekolah, Revita menoleh ke arah timur. Jantungnya berdetak lebih
dibanding beberapa sekon tadi.
Itu
yang tadi malam chat sama aku .....gumam gadis itu demi melihat anak
laki-laki kelas XII bernama Azis. Kakak kelasnya itu
ssedang melintas jalan
aspal menuju kantin. Mungkin ia belum sarapan. Dalam hati kecil ia ingin
mengirim WA dengan pertanyaan sederhana "Aa belum sarapan ya?".
Namun ia berfikir itu terlalu lancang. Tak baik buat aku .... kata gadis itu
dalam hati. Padahal jika dirancang-rancang, ini adalah sebuah kesempatan baik.
Sebuah pertanyaan sederhana yang akan bermakna sangat besar. Pertanyaan yang
mengandung sebuah perhatian.
Perpustakaan. Pukul 10.07.
Revita berlari sendirian, Ia bermaksud
untuk meminjam buku Biologi Peminatan sebab buku miliknya ketinggalan.
Perpustakaan seperti biasanya tidak terlalu ramai. Jargon-jargon tentang
literasi tampaknya belum menjadi jiwa para siswa. Mereka lebih banyak asyik
dengan android di genggamannya.
Usai dengan keperluannya, ia menuju ke
deretan buku-buku motivasi dan agama.
Di saat-saat luang memang ia lebih suka
membaca buku-buku sebagai salah satu sumber belajar tentang hidup dan
kehidupan. Satu kalimat motivasi bagi dirinya lebih berharga dibanding sebuah
informasi. Sungguh, memang secara tek sengaja ia pernah mengunjungi akun IG
gurunya www.instagram.com/didik.sedyadi/, ia menemukan sebuah kalimat "Kemanapun kaki melangkah, harapkanlah
di situ ada hikmah ." Sebuah
pesan sederhana, tetapi ia telah mencobanya untuk menjadi sebuah acara rutin
meresapi apa yang ia jalankan sehari-hari.
Gerakan jemari gadis itu menyusuri judul
buku-buku. Mencari secara cepat dari judul yang terpampang. Jari Revita
berhenti di salah satu judul buku. Buku itu ia ambil, ia baca judulnya.
Perlahan buku itu ia dekap beberapa saat. Sesaat kemudian ia baca lagi.
"Vitaaa....." ada suara
mengagetkan di selelah kanannya.
"Yah?" kata gadis itu seraya
menoleh.
Mendadak jarinya bergetar demi melihat
siapa yang bertanya di dekatnya. Azis.
"Vita?" tanya Azis mengulangi.
Bruk!
Buku yang dipegang gadis itu jatuh. Suara
buku jatuh itu cukup jelas terdengar berisik di perpustakaan yang cukup sepi.
"Oh maaf-maaf ..." Revita kaget,
dengan terburu-buru ia mengambil buku yang jatuh.
"Buku apa Vit?"
"Iniiii!" secara tak sadar ia
menunjukkan cover buku di depan mukanya sambil melindungi rona wajahnya yang
memerah karena malu.
“Masya Allaaah Viiit ...."
"Kenapa?"
"Judulnya dalem banget ..... "
"Kenapa?"
"Vita lagi jatuh cinta ya?"
"Emm ...enggg...enggaak ....
cumaaaa..."
"Cuma apa?"
"Mau berpisah ...." kata Revita
sambil berbalik badan. Azis kaget.
"Vita tunggu!" kata Azis
kemudian.
"Ya?" tak urung gadis itu
menghentikan langkahnya. Perlahan ia menoleh.
"Vita..."
"Ya?"
"Hari ini nggak shalat dhuha
ya?"
"Astaghfirullaah .... ini karena jam
ke lima wajib bawa buku biologi, jadi tadi buru-buru ke sini."
"Oooo...."
"Aa juga nggak shalat dhuha ya?"
"Mungkin imanku tipis."
"Jangan katakan itu..."
"Kapan kita shalat dhuha bareng Vit?
Rasanya sebentar lagi Aa harus merelakan SMA ini. Minggu depan USBN, TUC, terus
UNBK. Waktunya hanya tinggal hitungan sekian kali dua puluh empat jam!"
Gadis itu diam.
Azis adalah anak laki-laki yang baru
dikenalnya sejak menjelang UAS semester kemarin. Masih dalam hitungan beberapa
bulan. Ia juga tidak mengerti mengapa harus mengenal Azis ketika kakak kelasnya
itu sebentar lagi lulus. Ada perasaan menyesal kenapa tidak sejak dulu. Ada
beberapa sifat, kondisi dan kebiasaan kakak kelasnya itu yang menarik
perhatian. Shalat dhuha rutin.
Kadang Revita suka ingin tertawa sendiri.
Pernah suatu ketika usai shalat dhuha, ia
keluar kemudian menalikan tali sepatu. Tak disangka, tak jauh darinya, Azis
juga baru saja keluar masjid, juga sedang menalikan sepatu. Ia ingin mendahului
bertanya, tetapi malu. Mengharap ditanya terlebih dulu, juga kadang ia
berfikir, memangnya aku siapa? Sempat sekilas pandangannya bertemu, namun hanya
seperepta sekon. Setelah itu masing-masing pulang ke kelas tanpa terdapat
sesuatu yang bersejarah seperti angan-angannya.
Tetapi harapan-harapan kadang muncul
ketiha suatu akhirnya menjadi kenal. Aneh. Kenal-kenal hambar. Kenal-kenal
malu, walau akhirnya pernah sekali ia menerima chat.Namun ketika bertemu di
halaman sekolah, atau di kantin, tetap saja seperti orang yang tidak kenal.
"Aa aku duluan ya, hampir
masuk!"
"Vita belum menjawab pertanyaan
saya."
"Yang mana?"
"Kapan kita shalat dhuha
bareng?"
"Kan nggak boleh dhuha berjamaah
...." kata Revita mengingatkan.
"Hehe...."
"Tapi kalau mau jadi imam, nanti sore
pas 'Ashar pulang sekolah...
eh....emmm... maaf, maaaf...." kalimat itu begitu saja terluncur dari
bibir Revita tanpa disadari. Rona wajah gadis itu tampak memerah.
"Aku jadi imam Revita?
Alhamdulillaaah...."
"Och ..... maaaaf ...."
Gadis itu bergegas keluar perpustakaan
setelah memberi salam. Sementara itu Azis masih mematung. Mengatubkan bibir,
kemudian menggeleng. Anak laki-laki itu tersenyum. Ia ingat judul buku yang
baru saja dipinjam Revita, "Ya
Allah, Izinkan Dia Untukku!"
Jangan-jangan
"dia"-nya adalah aku..... gumam Azis sambil tersenyum beranjak
meninggalkan perpustakaan.
Jam dinding berdentang satu kali.
Sunyi. Revita melipat kertas kecil yang
sejak seminggu lalu selalu menemani shalat lail. Ada perasaan terenyuhsetiap
kali ia menyebut padang Arafah, Muzdalifah dan
Jamarat. Ibu muda itu telah beberapa kali mecoba meresapi malam dengan
kesendirian. Namun selalu gagal. Selalu saja ada suara berdeham dari mushola
kecil di sisi utara rumah.
"Kapan aku bisa tahajud sendirian
Pah? Ketika aku bangun, terpekur, selalu saja Papah juga bangun. Shalat. Juga
terpekur." tanya Revita kepada suaminya, Azis.
"Tahajud sendirian? Tentu jika aku
tak ada di rumah. Aku juga bertanya yang sama."
"Aku ingin menangis. Tapi aku
khawatir Papah akan berdiri di belakangku untuk meyakinkan bahwa aku tak
apa-apa."
"Malam kita akhir-akhir ini seperti
tak menjadi malam lagi."
"Ehem...."
"Kita akan merasakannya minggu depan.
Bersimpuh di depan Ka'bah, tak ada lagi arti malam karena kita merasakan bahwa
hidup ini terlalu singkat untuk tidak tahajud di baitullah."
"Dejavu
...." kata Revita hampir tak terdengar.
"Jika hati kita bahagia, rasanya kita
seperti telah mengenal kebahagiaan itu. Ya, dejavu,
semua seperti pernah ditunjukkan oleh Allah bahwa kita pernah mengalami."
Revita menoleh memandang mata suaminya. Ia
tersenyum sedikit. Azis tersenyum pula.
"Sudah shalat berapa rakaat?"
"Delapan. Witir juga sudah. Cukup
laah. Tinggal nunggu shubuh, kalau kuat. Kalau nggak kuat, ya tidur lagi dulu.
Ntar menjelang shubuh bangun lagi."
"Mhhh... Mah, boleh aku sentuh alismu
sedikit saja?'
"Kenapa harus minta ijin?"
"Nanti abdasnya batal."
"Nggak apa-apa. Batal satu, aku dapat
pahala berlipat."
Revita perlahan memejamkan mata ketika
jari suaminya menyaput alisnya perlahan. Ia merasakan kebahagiaan yang dalam.
Bagaimana tidak?
Hidup bersama Azis hingga dikaruniai anak
yang hampir masuk SMP ia merasakan sangat cepat. Rasanya baru kemarin-kemarin
ia mengenal Azis. Rasanya baru beberapa jam lewat ia merasakan sensasi ketika
dulu di SMA sering bertemu ketika istirahat shalat dhuha di masjid sekolah.
Kadang ia juga merasa sebal. Bagaimana
jika shalat dhuha yang dulu ia lakukan tak ada catatatn kebaikan bernilai
ibadah. Sebab sebagai manusia biasa, kadang sesekali ada sebersit rasa ingin
dipuji orang lain. Jangan-jangan dulu ia rajin shalat dhuha karena ada motivasi
lain.
"Jodoh
adalah hakekat, sedangkan jika syariatnya aku harus sering ketemu saat shalat
dhuha, ya bagaimana lagi?" begitulah dia pernah menulis kalimat itu di
buku harian. " ..... mungkin akan
lebih tidak bagus jika berjodoh, jodoh
adalah hakikat dari Allah, tapi jika syariatnya harus karena sering bertemu di
arena dugem? Iiih na'udzubillahi min dzalika" ingat itu kadang ia
tersenyum sendiri.
"Kenapa senyum sendiri?" kata
suaminya menyadarkan.
"Hehee..... gank dhuha."
"Nyindir?"
"Nggak, itu syariat Pah. Insya Allah
sebentar lagi kita akan dhuha bersama di Baitullah, Nabawi, Quba, Qiblatain,
Tan'im, Nabawi, Jironah, Hudabiyyah, Arofah, Mina ..... Ini seperti mimpi
....." kata Revita sambil membenankam wajahnya di dada suaminya. Ia
menangis.
Hari-hari menjelang keberangkatan haji
semakin dekat. Ibu muda itu merasakan hari-harinya semakin membahagiakan.
"Isti, anak kita Pah? Bagaimana jika
terjadi apa-apa sepeninggal perjalanan kita?"
"Apa kuasa kita? Alaa bidzikrillahi
that-mainul-quluub! Tenangkan hati kita,
demi janji Allah dalam Quran."
"Astaghfirullaaah .... iya Pah."
"Kita adalah makhluk Allah, anak kita
makhluk Allah yang dititipkan kepada kita. Isti, anak kita, Insya Allah selalu
dalam lindungan-Nya."
"Iya Pah."
"Satu lagi yang harus kita mohonkan
kepada Allah .... yakni mohon agar dilindungi keikhlasan ibadah kita."
"Iyah ...."
"Satu lagi nanti perjalanan haji kita
adalah perjalanan kita, aku dan kamu. Perjalanan kita berdua. Ijinkan Papah
memanggil Mamah dengan nama kecil, Revita. Nama yang mengenalkan Aa pada
kebahagiaan hanya dengan menyebut nama."
"Aa Azis .... nama motivatorku, kakak
kelasku yang aku kagumi."
"Revita ...."
"Aa ..."
***
Pesawat Saudi Arabian Airlines telah take-off.
Bandara Internasional Abdul Halim
Kertajati telah ditinggalkan. Ada rasa denyutan ke dada ketika pesawat mulai
menanjak. Revita yang duduk dekat jendela melihat ke luar. Area persawahan
lambat laun mulai tak tampak. Pesawat mulai meninggi. Hamparan bumi maya. Biru
kehijau-hijauan. Perempuan itu sama sekali tak percaya bahwa ia kini ada di
langit sekira sepuluh ribu kaki di atas tanah.
Seluruh
penumpang jamaah haji
Majalengka diam. Semua dengan doa. Semua dengan harapan. Selamat. Mabrur.
Menembus langit milik-Nya hanya ada satu jalur, tak ada yang lain. Satu tujuan,
sepuluh jam waktu di depan menembus langit adalah alat. Tujuan hanya satu,
menapakkan kaki di tanah Saudi. Bandara King Abdul Aziz Jeddah.
"Aa sssttt lihat, .... Masya Allaaah
... lihat pramugarinya itu ..." bisik Revita kepada suaminya.
"Kenapa?"
"Cantik bangeeet..... gadis
Arab."
"Tuh yang berdiri di depan sekat
kabin juga, pramugara...." kini suaminya menunjuk ke arah pramugara.
"Masya Allaaah ganteng banget. Putih
.... hidungnya mancung .... pemuda Arab ya."
"Nikmati makhluk Allah itu, tapi
sekali saja pandang dengan rasa hati kaya tadi ..... nggak boleh
dilanjut."
"Astaghfirullaaaah .... refleks
Aa...."
"Vita itu ya ... dari sejak SMA suka
nggak bisa menyembunyikan perasaan .... tapi itu yang Aa suka, jadi nggak ada
yang Revita sembunyiin di hati ...."
***
Bakal menjalani perjalanan sepuluh jam di
langit sangatlah membuat takjub.
Revita membayangkan mulai belajar di
sekolah pukul 07.00 hingga pukul 17.00 seperti saat SMA dulu. Tetapi ini di
langit dengan kecepatan rata-rata 900 km/jam. Dan lebih takjub lagi, ia sama
sekali tak merasakan gerakan apa-apa. Semua seperti duduk di ruangan di rumah.
Dari tadi matanya melihat permukaan air yang ada di gelas di tablesetdi
depannya. Air di gelas tenang. Diam tak bergoyang. Padahal ini dalam kecepatan
luar biasa.
"Masya Allaaah ......" ia mendapatkan
sebuah hikmah dari kebesaran Allah.
Attention!
Perhatian!
Suara pramugari terdengar melalui pengeras
suara mengabarkan bahwa pesawat segera melintas di atas Yalamlam. Yalamlam
berjarak sekitar 125 kilometer dari Kota Makkah, Arab Saudi, dan merupakan
lokasi miqat bagi jamaah haji asal Indonesia, juga negara-negara lain di
sebelah timur Makkah.
Beberapa calon jamaah haji mulai mengantri
di depan toilet pesawat untuk bersuci dan berihram. Sementara Azis dan Revita
berniat melakukan miqat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Laki-laki menengok
ke arah istrinya. Yang ditengok tengah memandangi dirinya.
"Kita segera sampai di Jeddah
...."
"Je... Jeddah?" tanya Revita
terbata.
"Iya sayang. Jeddah."
"Vita tidak sedang bermimpi kan
A?"
"Tidak Vita, Vita sedang mendapatkan
kenikmatan yang tiada tara. Kenikmatan untuk kesempurnaan ibadah, rukun Islam
kita."
"Masya Allaaah ..... Alhamdulillah ya Allah ya Rabbi..."
"Teguhkan niat kita berhaji Vit.
Bersihkan pikiran kita segala sesuatu selain berhaji ...."
"Isti anak kita ?"
"Dulu aku sudah bilang, percayakan
kepada Allah, pemeliharaan anak kita hanya Allah yang wajib kita mintai tolong
melalui orang tua kita. Insya Allah. Tenangkan hati Vita, fokus pada ibadah
.... Beberapa saat lagi dalam kurun empat puluh hari haromain akan berbaur
dengan kita .... "
Di penghujung pagi, para jamaah haji
menginjakkan kaki di atas tanah Saudi Arabia.
Revita dan Azis bersujud begitu turun dari
tangga pesawat.
Begitu pula yang lain. Isak tangis sebab
rasa haru menjadi begitu kentara. Sesuatu yang dulu hanya menjadi mimpi, kini
telah dialami dan dirasakan. Menjelang shubuh antrian begtu panjang di bagian
pemeriksaan dokumen imigrasi. Hingga saat-saat adzan terdengar.
"Kita shalat di mana Aa?"
"Ssst ini darurat. Kita masih punya
abdas. Shalat saja di sini ..."
Akhirnya jamaah yang masih mengantre di
pemeriksaaan dokumen banyak yang keluar dari antrean. Mereka mendirikan shalat
sekelompok-sekelompok. Barangkali bagi mereka ini merupakan pengalaman pertama,
shalat di sekitar lalu lalang orang-orang.
Satu jam setelah shalat shubuh dan
pemeriksaan dokumen di kantor imigrasi, semua jamaah bersiap dari Jeddah. Semua
siap dalam pakaian ihram. Niat umroh. Diringi talbiyah yang tak terputus,
menuju ke satu titik yang menjadi pusat peribadatan umat Islam. Ka'bah yang
agung. Di Makkah Al Mukaromah.
Memasuki gerbang kota Makkah, hati Revita
serasa teraduk-aduk. Makkah .....
gumamnya. Sepuluh menit berikutnya ia telah berada di antara ribuan orang yang
menuju ke arah Masjidil Harom. Ibu muda itu terus menggandeng lengan suaminya.
Lima ratus langkah berikutnya keduanya
sampai di depan pintu utama King Abdul Aziz Gate. Keduanya melafalkan doa dan
penghormatan " .... Allahumma
anta-salam wa minka-salam, wa ilaika ya'udussalam... wa hayyina robbana
bi-salam ... wa adhilnal jannata daros-salam ... tabarokta robbana wata'alaita
yadzaljalaali wal ikrom. Allahummaf-tahli abwaba rohmatika , bismillahi wal
hamdu lillaahi wash-sholatu was-salaamu 'ala rosuulillah.
Keduanya melepas sandal. Kemudian
menapakkan telapak kaki di lantai masjidil harom. Dada Revita berdetak keras.
Beberapa langkah kemudian ia mulai melihat kain penutup Ka'bah dari kejauhan,
Semakin dekat, dan semakin dekat.
Allahu Akbar. Alhamdulillah...... Masya
Allah!
Tak henti-henti ia mengucap syukur. Ka'bah
yang agung, yang selama ini hanya menjadi bayangan ketika shalat, kini ada di
depan matanya dalam jarak beberapa meter. Ia menangis. Begitu pula anggota regu
yang lain pun tak kuasa untuk menahan air mata haru.
Satu dua kali thowaf umroh ia lalui,
hingga akhir.
Azis
mengarahkan jalannya yang cukup padat mengarah di belakang maqom
Ibrahim. Keduanya mengambil shalat dua raka'at. Di depannya tampak sudut hajar
aswad dan pintu Ka'bah. Multazam. Itu bukan mimpi. Tempat mustajabah doa. Usai
menjalankan shalat, kedua bersama rombongan di belakang pemandu langsung menuju
ke bukit Shofa dan Marwa untuk melakukan Sa'i. Hingga akhirnya proses umroh
diakhiri proses tahalul di atas bukit Marwa.
Alhamdullah ...... keduanya mengucap
syukur.
Prosesi umroh di awal musim haji telah
dilampaui. Usai sa'i di lantai dua, keduanya ingin kembali ke sekitar Ka'bah.
Mereka diberi waktu dua jam untuk kembali ke bis rombongan di terminal.
"Aa .... Apa yang ada di depanku
A?" tanya Revita dengan mata sembab.
"Ka'bah..."
"Aa..."
"Cubit aku!"
"Kenapa?"
"Cubit aku yang keras ...."
"Iya tapi kenapa?"
"Untuk meyakinkan bahwa ini bukan
mimpi Aa, ini bukan mimpi kan?"
"Bukan ... ini bukan mimpi. Dulu kita
telah merajut keinginan ini sejak lama, sejak kita menjadi halal. Bahkan aku
sejak SMP telah berdoa untuk bisa diridloi Allah berziarah ke sini ...."
Hari itu merupakan hari yang paling
membahagiakan. Tak ada kebahagiaan yang pernah keduanya rasakan kecuali saai
ini, Bersimpuh di depan Ka'bah, lurus dengan multazam.
Setiap detik keduanya lewati dengan doa.
Doa untuk semuanya.
***
Kota Ka'kiyah. Suatu pagi.
Dari kloter Majalengka hanya sekitar tiga
pasang yang memilih haji ifrad. Sisanya mengambil haji tamatu', haji yang
paling nyaman. Mendahulukan yang sunah sebelum haji. Konsekuensi harus
menyembelih dam atau denda berupa menyembelih kambing atau binatang ternak
lain. Di kota kecil Ka'kiyah inilah jamaah yang mengambil haji tamatu'
melaksanakan kewajiban menyembelih dam.
"Dari sini ke mana Aa?" tanya Revita usai mengikuti acara
penyembelihan hewan dam.
"Tempat yang indah..."
"Jabal Rahmah?"
"Benar. Bukit rahmah, bukit kasih
sayang, tempat bertemunya Nabi Adam dan ibu Hawa."
"Oooo...... kita ke sana?"
"Ya sebentar lagi ...."
Dari pemandu perjalanan penyembelihan dan wisata
para jamaah diberi informasi tentang berbagai tempat yang menarik di sekitar
padang Arafah, tempat untuk awal untuk prosesi haji. Di wilayah bagian timur
Arafah inilah Jabal Rahmah berada.
Lima belas menit perjalanan, sampailah
rombongan di sisi timur padang Arafah. Jabal Rahmah. Gunung kasih sayang.
Banyak sekali para haji berziarah ke tempat ini. Biarpun tak ada tuntunan
tentang sunah berziarah, atau bahkan mewajibkan ke bukit itu, namun jamaah haji
dari seluruh pelosok dunia tak akan melewatkan.
Revita menatap gunung itu tanpa kedip.
Demikian pula Azis. Laki-laki itu mendesah usai beberapa saat melihat ke arah
yang sama.
"Aa ingin mendaki ke puncak?"
tanya Revita seraya melepas kaca mata hitamnya. Tapi kemudian dipakainya lagi.
Sinar matahari yang terik membuatnya terasa sangat silau.
"Kita di sini saja. Ini juga wilayah
Jabal Rahmah." kata Azis mengajak isitrinya mendekati sebuah gundukan batu
. Keduanya duduk di balik batu, menghindari panas yang menyengat. Jarak ke
gunung itu sekira seratus meter lagi di depannya.
"Ada mitos Aa ..... rasanya aku ingin
menuliskan nama kita di atas sana."
"Mitos apa?"
"Kelanggengan cinta."
"Apalagi ada kata mitos. Ini
aneh."
"Aku salah A?"
"Kita tak boleh menyebut mitos.
Tempat ini memang mengandung sejarah, tetapi tak mengandung mitos. Dalam ajaran
agama kita tak ada mitos. Kelangengan cinta ada di keikhlasan yang selalu
dipadu dengan harapan memiliki cinta dan saling cinta yang diridhoi."
"Mmmh..."
"Apa yang membuat Vita berkata
begitu?"
"Aku iri dengan mereka yang berjalan
mendaki berdua, menyusuri, menapaki, keterjalan Jabal Rahmah. Mesra.... Mereka
akan tuliskan nama mereka di atas bebatuan."
"Kenapa iri?"
"Mumpung di sini Aa, kita jauh-jauh
dari tanah air ke sini, jarak tinggal seratus meteran."
"Tapi keyakinan tentang mitos itu,
apakah mampu Vita hilangkan dalam sekejap ini?"
"Nggak tahu. tapi aku telah
memimpikannya cukup lama."
"Baiklah .... Jika itu yang Vita mau.
Tapi ingat, jika dalam hati Vita masih sebersit keyakinan tentang mitos,
berarti itu bidah. Rasulullah tak pernah mengajarkan yang sunah semacam itu
...."
Agak lama Revita terdiam. Rupanya
kepercayaan tentang aura Jabal Rahmah masih melingkupi isi pikirannya, bahkan
mungkin hatinya. Azis membiarkan isitrinya diam untuk memilih dan memutuskan.
"Hmhh..... " Revita mendesah.
Ibu muda itu mengeluarkan kantung plastik dari tas pinggangnya.
"Untuk apa plastik itu?"
"Aku akan ambil beberapa kerikil.
Untuk kenangan dari sini."
"Mau dibawa pulang ke tanah
air?"
"Iyah..."
"Vita...."
"Hanya tujuh butir ..... " kata
Revita seraya mulai memasukkan kerikil.
"Vita ...." kata Azis sambil
memegang tangan istrinya yang telah menggenggam kerikil.
"Kenapa."
"Taruh lagi sayang ...."
"Untuk kenangan kita."
"Kita tak boleh mengambil sesuatu
yang bukan hak kita. Kita harus minta ijin kepada pemerintah kerajaan Arab
Saudi ...."
"Benarkah?"
"Bercanda hehe...."
"Aaah Aa mah gituuu!" kata
Revita seraya mencubit lengan suaminya.
"Naaah seperti inilah .... mesra.
Mencubit suami. Tak harus menorehkan nama di Jabal Rahmah. Tak harus pulang
menyelundupkan kerikil atau tanah dari sini. Apalagi jika niatnya untuk
kekuatran, azimat dan sebagainya ......"
"Iya ... iya ..... ini aku
kembalikan."
"Naaahhh gitu istri cantikku
....."
"Iiih...."
"Tanpa aura Jabal Rahmah pun Azis
akan selalu mencintai Vita kecilku ... adik kelasku .... Tak perlu kerikil
Jabal Rahmah. Gantungkan keinginan hanya kepada Allah, yang memiliki Jabal
Rahmah, yang memiliki haromain, yang memiliki seluruh permukaan bumi dan langit
.... "
Mendengar kata Vita kecilku rona wajah ibu muda itu memerah. Senyumnya
tertahan.
Dua jam telah lewat. Semua telah siap di
bis untuk kembali pulang menuju penginapan di Makkah. Di dekat jendela Revita
memandang Jabal Rahmah dengan bibir terkatub. Tangannya diangkat, kemudian ia
lambaikan ketika perlahan bis mulai bergerak meinggalkan wilayah Arafah.
"Nanti prosesi ibadah haji kami akan
ke sini lagi, Arafah ....." gumam Revita. Azis melihat air mata istrinya
mengembang, kemudian turun menyusuri pipi.
"Insya Allah. Arafah, Muzdalifah,
Mina, Jamarat sebentar lagi ...."
"Iya Aa...."
"Mana kerikil Jabal Rahmahnya sayang?
Katanya mau dibawa pulang."
"Nggak. Sudah aku ikhlaskan."
"Kenapa?"
"Ada yang jauh lebih indah dan
mengagumkan dibanding kerikil Jabal Rahmah."
"Apa itu?"
"Suamiku ....."
"Ooooh..... Alhamdulillah ......
" bisik Azis hampir tidak kedengaran.
"Suamiku yang akan aku bawa pulang ke
tanah air ...."
"Heheee....."
"Suami yang shalih, yang aku harapkan
tetap menjadi imamku. Yang bisa selalu mengingatkan kesalahan-kesalahan
langkahku ... kesalahan pemahamanku ..... juga... juga ...."
"Juga apa sayang?"
"Juga ... juga yang akan bisa menjadi
syariat, membimbing tanganku bersama-sama ke surgaaa...."
Speechless. Kali ini Azis
tersekat tenggorokannya demi mendengar bisikan Revita.
"Insya Allah .... Kita saling
mengingatkan untuk kebaikan dan peningkatan mutu keihlasan ibadah kita Vita
..... aamiin.... aamiin... ya rabbal'alamiin."
Padang Arafah yang panas. Suhu 47 derajat Celcius.
Azis dan Revita saling menemukan oasis
yang memberikan kesejukan dalam hati masing-masing.
***
Revitaaaa.....!
Ada suara lembut di sebelahnya. Gadis itu
tergagap. Ia kaget. Mukena masih ia pakai. Ia menoleh. Icha, sahabatnya.
"Vita, ayooo..... lima menit lagi bel
masuk jam ke-5."
"Astaghfirulaaaah ..... kita sudah
sampai di Jabal Rahmah Cha?"
"Vita! Vitaaa .... Ini Majalengka,
ini sekolah kita. Smansa! Kamu terlalau banyak merenung."
"Aku terlalu dalam berobsesi
ya."
"Asal positif nggak apa-apa..."
Buru-buru gadis kelas XI itu membereskan
mukena. Keluar dari masjid keduanya memakai sepatu. Revita mendengar ada
notifikasi WA masuk. Ia membukanya.
Aa
Azis....
gumamnya.
"Vita,
hari ini aku tahu Vita shalat dhuha. Dua hari lagi aku mau menempuh UNBK...
doakan aku lulus dengan nilai yang memuaskan ya...."
"Insya
Allah doa vita untuk Aa ...."
"Terima
kasih adik kecilku .... Seperti yang pernah Vita pesankan dulu, Vita hanya akan
menjawab chat yang penting-penting saja..."
"Iya,
harus begitu Aa."
"Sayangnya,
setiap chat dengan Vita, bagi Aa adalah penting. Apapun isinya. Terima kasih
atas bantuannya mempersiapkan bahan-bahan rangkuman untuk USBN kemarin."
"Aa,
biasa saja A Azis."
"Vita,
ijinkan aku menulis nama lengkapmu ya?"
"Kenapa
harus minta ijin?"
"Revita
Nur Istiqomah Muslim."
"Iiih
... gitu amat."
"Aku
boleh meminta sesuatu?"
"Asal
bisa aku penuhi, boleh."
"Nanti
hari terakhir UNBK, Vita aku tunggu shalat 'Ashar berjamaah berdua.
Sungguh!"
"Aa?"
"Ya
Vita ya?"
Bibir Vita bergetar.
Ia sama sekali tak menyangka jika Azis
akan memintanya mengajak shalat bareng. Dirinya menjadi makmum, Azis menjadi
imam. Aaah..... gadis itu mendesah dalam. HP-nya didekapkan ke dadanya. Ia
tampak bahagia sekali. Ia teringat ketika di perpustakaan beberapa waktu lalu,
buku yang judulnya telah dibaca pula oleh Azis. "Ya Allah, Izinkan Dia Untukku!" ***
Majalengka, 08 April 2018
* Request Revita Nur
Istiqomah M
Kelas XI MIPA 7 SMAN 1 Majalengka
Tahun Pelajaran
2017/2018
Dialihkan dari kompasiana.com dengan link :