Jantung Samboja berdetak keras. Jalan menuju desa kelahirannya
telah di depan mata. Angkutan pedesaan yang ditumpanginya berhenti untuk
menurunkannya. Setelah angkutan pedesaan melanjutkan perjalanan, laki-laki tua
itu sendirian di ujung desa Tretes, desa kelahirannya. Mata tuanya tiba-tiba terasa
panas, tanpa sadar ia menyeka dengan punggung tangannya. Beberapa jenak
kemudian ia memandang jauh di seberang persawahan , mulutnya terkatub. Dari
jauh sebatas mata memandang, Tretes tampak tak berubah. Laki-laki itu kini benar-benar menangis. Lutut tuanya
tak sanggup menahan rasa harubiru di dadanya. Tubuhnya jongkok, lututnya
bertelekan tanah.
“Tretes….. !” Samboja bergumam menyebut nama desanya. Air matanya
semakin deras.
Tiga puluh tahun silam laki-laki itu meninggalkan desanya. Tepat
sekarang seperti janjinya terhadap dirinya sendiri, ia akan datang lagi.
Benar-benar Tuhan mengabulkan keinginannya dengan diberinya umur panjang.
Di desa itu Samboja sebenarnya sudah tak punya siapa-siapa. Sanak
saudara tak ada. Dialah orang terakhir dari keluarganya yang meninggalkan
Tretes setelah rumah warisan orang tuanya dijual untuk bekal merantau ke
kota. Kedatangannya ke Tretes hanya satu tujuan, ingin memberikan kujang
perak bergagang kayu pinang kepada Lentik
“Tapi ….. apakah kujang itu masih ada?” pertanyaan itulah yang
muncul dalam hatinya.
Samboja ingat benar ketika benda itu ia kubur bersamaan waktunya
dengan pemakaman Narada, suami Lentik. Tiga puluh tahun lalu baginya seterang
bayangan kemarin sore. Saat-saat hatinya menjadi remuk redam dengan dinikahkannya
Lentik dengan laki-laki teman sepermainannya waktu kecil.
Lentik bukanlah nama sesungguhnya. Nama gadis itu Lestari. Nama
Lentik adalah panggilan sayang Samboja pada gadis itu, sebab bulu mata Lestari
memang lentik indah .
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Lentik menyadarkan Samboja.
“Aaa… anu…. kagum saja, pada bulu matamu.” Samboja tergagap.
“Kan tiap hari Akang melihatnya.”
“Justru itulah aku sedang bingung, kenapa aku tak pernah jemu
melihat bulu matamu yang indah. Kau tampak begitu mempesona… anggun…. hmhhhh….. bikin gemas……”
“Huh! Rayuan gombal!” kata Lentik namun tak urung tawanya pecah
juga sambil mencubit lengan Samboja. Dada Samboja berdetak kencang.
“Yaaaa… memang aku rasanya hanya bisa merayu. Untuk mengharapkanmu
lebih jauh rasanya sulit, ayahmu tidak setuju, buktinya kalau melihat aku
mukanya gelap. Tak enak dilihat. Jadinya aku segan, bahkan takut.”
“Sebenarnya itu kan alasanmu untuk menjauh dariku ya Kang?”
“Ooo tidak, tidak…. tidak. Aku benar-benar takut pada ayahmu. Aku
tahu diri, aku minder pada ayahmu. Ayahmu orang kaya. Aku hanya seorang
pedagang barang souvenir, batu akik, cincin, replika senjata tradisionil,
gelang akar bahar….. “
“Yaaa.. aku tahu, sebenarnya yang dibenci ayahku itu bukang Akang,
tapi ya barang-barang jualanmu itu Kang. Barang-barang jualan Akang itu berbau mistis, klenik,
berbau-bau aliran hitam, dan sejenisnya.”
“Ya menurut aku itu biasa saja. Aku ambil barang-barang itu dengan
cara biasa, bukan dari bertapa , tetugur, pati geni atau sejenisnya. Aku beli barang-barang itu dari
pasar batu akik Jatinegara. Apa itu berbau mistis? Paling juga itu alasan
ayahmu yang memang tidak suka padaku atau mungkin pada keluargaku. Atau karena
di sini sebatang kara, tak ada sanak keluarga, tak ada yang membuat kebanggaan
keluarga besarmu. Iya kan?”
“Hmh…. tak tahu lah Kang. Tapi Akang serius suka sama aku kan?”
“Ya serius.”
“Kalau
serius, lamar aku Kang! Bagaimana jawaban ayah nanti saja urusan
belakang. Aku tidak ingin pacaran
… malu Kang.”
“Lah kita ini sekarang di pinggir kali berduaan. Pacaran bukan?”
“Ya iyalah, mungkin ini yang namanya pacaran. Ya kebersamaan
seperti inilah yang membuat aku malu. Ini desa Kang, bukan kota ……”
“Kenapa harus malu, aku tidak pernah ngapa-ngapain kamu.
Lentik adalah gadis terhormat yang harus aku jaga. Aku tahu diri, walaupun aku
tidak pandai, tapi aku mengerti agama.”
“Syukurlah kalau Akang mengaku mengerti agama.”
Beberapa jenak keduanya diam. Semilir angin sepoi-sepoi membelai
persawahan desa Tretes sore itu. Hawa sejuk begitu meresap ke hati Samboja.
Kehadiran Lentik dalam hidupnya membawa rasa bahagia. Ia membayangkan betapa
bahagianya jika bisa hidup berumah tangga dengan gadis itu. Punya anak-anak
yang lucu, menggarap sawah di desa. Makan di dangau berdua, sementara
anak-