Tulisan ini salinan dari kompasiana :
http://www.kompasiana.com/didik_sedyadi/ojo-adigang-adigung-adiguno_574ebd5bd07a615007611dc7
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kalimat di atas sebenarnya adalah bahasa Jawa lisan. Sumber bahasa
tulisannya adalah “Aja Adigang, Adigung,
Adiguna”, tidak menggunakan huruf “o” tetapi “a”.
Kalimat tersebut merupakan petuah dari leluhur kepada anak
keturunannya. Sebuah petuah (yang umumnya) baik bagi generasi berikutnya.
Karena kearifan orang tua adalah berfikir apa yang terbaik bagi keturunannya.
Hanya orang-orang yang telah sesatlah yang berfikir agar keturunannya menjadi
orang jahat secara terprogram.
Dalam kamus Bahasa Jawa “Bausastra Jawa-Indonesia” susunan
S.Prawiroatmojo (1980) dijelaskan bahwa:
1. Adigang : Membanggakan kekuatannya
2.
Adigung
: Membanggakan kebesarannya
3. Adiguna : Membanggakan kepandaiannya
Kata “Aja” berarti jangan. Rangkaian kata petuah menjadi semakin dalam
ketika kita mau merenungkannya.
Aja Adigang , jangan membanggakan kekuatan
Kekuatan bisa berbentuk kekuatan fisik, bisa berbentuk kekuatan secara
bersama-sama, atau koalisi. Kekuatan fisik pada jaman dimunculkannya petuah ini
ketika jaman kerajaan jaman dulu. Hukum rimba menentukan siapa yang punya fisik
yang kuat, dialah yang akan menjadi pemenang, menduduki jabatan tertentu di
kerajaan. Siapa yang punya persatuan besar, maka ia yang akan menjadi pemenang.
Kekuatan fisik di jaman sekarang tampaknya bukanlah sesuatu yang
populer. Tapi mungkin pula di kantong-kantong masyarakat tertentu masih ada
segelintir orang yang mengandalkan kekuatan fisik. Gambaran mudahnya misalnya
preman, dan geliat premanismenya.
Kekuatan koalisi lebih kepada arti yang abstrak. Model nyatanya semacam
koalisi rakyat yang turun ke jalan di jaman gegeran 1998. Jika demikian maka
secara perhitungan angka akan memperoleh hasil yang diinginkan. Jika model
turun ke jalan hanya dikerjakan oleh perwakilan, ya tentu tan akan menghasilkan
apa-apa.
Jangan membanggakan kekuatan. Energi “membanggakan” bagi sebagian orang
justru akan menjadi energi negatif. Orang-orang tua jaman dulu telah belajar,
telah merenung dan menyimpulkan dari berbagai macam kasus pembanggaan terhadap
kekuatan ini justru menjadi sebuah kontraproduktif.
Aja Adigung, jangan membanggakan kebesaran
Kebesaran memiliki berbagai macam jenis. Terutama sekali kebesaran
seseorang dengan indikator jabatan. Jabatan bisa dalam lingkup pemerintahan,
maupun non pemerintahan. Kebesaran ini melekat dalam diri pemimpin, yang
mempunyai bawahan. Presiden, gubernur, bupati, camat, lurah / kepala desa,
ketua RT, kepala bagian, kepala seksi, boss, mandor dan sejenisnya.
Jika tidak didasari niat baik, maka dalam diri mereka ada perasaan
bangga (dan sombong) terhadap apa yang telah mereka capai. Kesombongan
(umumnya) akan menghilangkan kewaspadaan terhadap apa yang menjadi tugas dan
tanggungjawab mereka. Jika kewaspadaan hilang, maka konsekueunsi minus yang
seharusnya tidak terjadi, malah akan datang.
Sayangnya sudah menjadi semacam kebiasaan (dan mungkin budaya) bagi
mereka yang mempunyai kebesaran. Melihat orang lain menjadi kecil. Bahkan dalam
taraf yang lebih mengembang, kadang-kadang anak dan istrinya ikut-ikutan
membanggakan kebesaran ayah dan suaminya. Dalam satu contoh kecil ada ucapan :
“Awas, jangan main-main, dia anak pejabat”.
Jangan membanggakan kebesaran. Kebesaran itu nisbi. Kebesaran itu hanya
sementara. Dibatasi waktu. Betapa hidup ini bagi sebagian orang akan menjadi
semacam neraka dini, bagi yang mengalami “post
power syndrome”. Sekarang disanjung (walaupun sebagian semu), suatu saat
akan ditinggalkan.
Aja Adiguna, jangan membanggakan kepandaian
Tolok ukur kepandaian sebenarnya tidaklah tunggal. Orang yang sukses
dalam bisnis, ia dianggap pandai dalam terapan bisnis. Belum tentu itu
diperoleh oleh orang-orang yang punya gelar sarjana dalam ilmu ekonomi. Tetapi
masyarakat saat ini masih tetap melihat kepandaian seseorang dari apa yang
diterakan dalam rapor, nilai rapor, transkrip nilai dan sejenisnya.
Gelar akademik demikian pula, orang akan jeri ketika melihat gelar
seseorang demikian mentereng. Jika kompetensi asli seperti apa yang tertera
dalam ijazah, memang itu yang diharapkan. Kompetensi yang dimiliki diamalkan
untuk kemaslahatan orang banyak, itu memang yang seharusnya.
Membanggakan kepandaian, menurut petuah tersebut, tidaklah perlu.
Kepandaian seseorang tak harus dibanggakan dan diomongkan. Biarlah orang lain
yang menilai. Yang memiliki ilmu tinggi, luas dan dalam (mana yang benar ini?)
akan lebih bermakna jika ia mendapatkan pujian orang lain karena manfaatnya,
tanpa terdengar oleh dirinya.
Anda tidak setuju? Seharusnya memang demikian. Ini adalah sekedar
tafsiran. Saat ini, hampir seluruh warga negara ini memiliki keberanian untuk
menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan sesuatu. Dan ini sangat potensial
untuk dijadikan ajang diskusi.
Jangan bangga dengan kekuatan.
Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Jangan bangga dengan kebesaran.
Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Jangan bangga dengan kepandaian.
Itu nasehat leluhur. Ternyata anda bangga! Ya tidak apa-apa.
Yang penting, bangga tidak menggiring kita menjadi sombong. Tetapi bangga untuk bersyukur. ***
Majalengka,
01 Juni 2016